tirto.id - Pada 2 Juli 1948, Divisi Panembahan Senopati kehilangan komandannya, Letnan Kolonel Soetarto.
Komandan Brigade VIII divisi tersebut, yakni Letnan Kolonel Soejoto, lalu mengirim beberapa perwira—yang salah satunya Mayor Esmara Sugeng—untuk mencari komandannya. Namun, berdasarkan penelitian Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 110), Esmara Sugeng terbunuh oleh anggota Divisi Siliwangi atas tuduhan menculik istri prajurit Siliwangi, sementara perwira lainnya hilang.
Kejadian itu membuat Mayor Soetarno komandan batalyon dari Brigade TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) yang berada di bawah Divisi Panembahan Senopati mendatangi markas Siliwangi di Srambatan, Solo.
Dikawal oleh anggotanya dalam satu truk, Mayor Soetarno hendak meminta penjelasan. Namun, begitu ia dan pasukannya turun dari kendaraan, mereka diberondong tembakan. Ia dan beberapa anggotanya tewas. Peristiwa tersebut membuat Letnan Kolonel Jadau, salah satu komandan Brigade TLRI di Divisi Penembahan Senopati, marah dan bersumpah akan mengusir Divisi Siliwangi dari Solo.
Sebagai catatan, karena saat itu armada perang laut ALRI terbatas, maka serdadu angkatan laut ikut bergerilya bersama angkatan darat di pergunungan. Mereka kemudian dijuluki sebagai ALRI Gunung. Selain itu, banyaknya pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville, membuat wilayah tersebut memanas dan kerap diwarnai kontak senjata antara Divisi Siliwangi dengan Divisi Panembahan Senopati.
Menurut Poeze, peristiwa "perang saudara" itu membuat Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman memanggil Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima Komando Jawa, dan Letnan Kolonel Abimanju selaku komandan Brigade dalam Divisi Siliwangi.
Soedirman memerintahkan kepada mereka berdua agar Divisi Siliwangi angkat kaki dari Solo. Namun, pasukan dari Jawa Barat itu bergeming. Panglima Besar kemudian menemui komandan Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Sadikin. Hasilnya sama, Siliwangi menolak angkat kaki, dan susana pun kian memanas.
“Ketika di Solo dalam keresahan Slamet Rijadi, Soeadi dan Jadau sudah pergi ke Madiun untuk minta bantuan Soemarsono,” tulis Poeze.
Soemarsono yang bekas pemimpin laskar dan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) memang punya sisa kekuatan untuk membantu mereka. Namun, imbuh Poeze, “Soemarsono mendapat perintah keras dari pimpinan PKI untuk melokalisasi konflik. Madiun harus tetap netral.”
Puncak perseteruan antara Divisi Siliwangi dengan Divisi Panembahan Senopati terjadi di pekan-pekan awal setelah terjadi Peristiwa Madiun 1948. Jadau dan sejumlah tentara dari divisi yang bermarkas di Jawa Tengah itu memang condong ke barisan orang-orang Kiri sehingga digempur oleh Siliwangi. Jadau berperang di sekitar Gunung Lawu.
Siliwangi berhasil melumat PKI dan orang-orang Kiri lainnya di Madiun serta sejumlah tokoh pentingnya seperti Musso dan Amir Sjarifuddin.
Setelah peristiwa itu, Jadau kabur dan dipecat dari TNI. Anak buahnya diajak Gubernur Militer di Solo, Kolonel Gatot Subroto untuk meninggalkannya. Orde Baru menyebut Jadau dan tentara dari TLRi yang terlibat Peristiwa Madiun sebagai “bekas dari tentara laut jang dibubarkan, karena tak ada gunanja”. Mereka juga disebut sebagai elemen pengacau di Divisi Penembahan Senopati.
Serdadu Kesayangan Bung Tomo dan Musso
Kiprah Jadau di dunia militer jauh sebelum ia bertempur melawan pasukan Divisi Siliwangi. Ia pernah berperang melawan Inggris dan Jepang di beberapa front sekitar Semarang.
Sebagai seorang petempur, Jadau pernah terluka dalam akibat terkena ledakan mortir hingga muntah darah. Namun setelah dirawat di rumah sakit di Salatiga ia maju lagi ke front pertempuran.
Di Semarang, ia pernah menjadi anggota Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo alias Sutomo. Di laskar tersebut, ia menjadi bawahan Mardjoeki, seorang bekas supir dan tukang catut yang dulunya buta huruf.
Ketika laskar ditentarakan, Bung Tomo selaku Jenderal Mayor mengusulkan Jadau dijadikan letnan kolonel dan Mardjoeki jadi kolonel. Karena Semarang adalah kawasan dekat pelabuhan, maka banyak anggota laskar yang bergabung dengan tentara itu masuk masuk ALRI, termasuk Jadau.
Setelah Agresi Militer pertama para Juli 1947, pasukan Mardjoeki dan Jadau berada di Solo. Pada saat itu, seperti dilaporkan Sin Po, Mardjoeki menajdi garong yang menyusahkan rakyat sehingga disikat oleh TNI, ia ditangkap dan dibunuh. Sementara Jadau menjadi pimpinan tertinggi komandan Brigade TLRI yang dimasukkan ke Divisi Penembahan Senopati.
“Bung Tomo (pimpinan BPRI 10 November 1945) dulunya amat sayang kepadanya, dan sekarang Musso yang sayang padanya,” tulis Sin Po saat terjadi Peristiwa Madiun 1948.
Si Pemilik Suara Tarzan
Jadau adalah anak seorang Digulis bernama Raden Markam Markoto yang masih kerabat Keraton Mangkunegara. Pada masa pendudukan Jepang, ia aktif di dunia kesenian, khususnya di dunia tarik suara. Ia Dia tahu teknik jadolen (menurunkan dan menaikan suara) seperti tengah menirukan suara Tarzan.
Menurut koran Sin Po (30/10/1948), ia seorang yang menggemari musik, pandai memetik gitar, dan suaranya merdu.
“Di zaman Jepang, Jadau seringkali memperdengarkan suaranya yang istimewa ini di atas panggung,” tulis Sin Po.
Nama asli Jadau adalah Ahmad. Karena pandai jadolen, ia pun dikenal sebagai Ahmad Jadolen dan orang-orang Jepang menyebutnya Ahmad Jadao.
Usai masa Revolusi, Jadau sempat terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota Konstituante wakil dari PKI. setelah itu, ia akhirnya kembali ke dunia seni seperti yang dilakukannya pada zaman pendudukan Jepang. Namun, kali ini ia tak lagi bernyanyi, melainkan menjadi sutradara film.
Film-film yang digarapnya, seperti dicatat JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005), antara lain: Badai Selatan (1961) dan Malam Tak Berembun (1963). Di masa-masa itu, ia tak lagi memakai nama Jadau, tapi Ahmad Wiro Sardjono alias AW Sardjono dan pernah menjadi bos CV Ibukota.
Pasca 1965, rumahnya di Jalan Oto Iskandar Di Nata dirampas tentara dan ia menjadi tahanan politik. Setelah dibebaskan, ia pernah sebentar jadi pemegang saham di PT Mondial Motion Pictures sebelum akhirnya mundur karena banyak tekanan.
Kemampuan Jadau tak hanya bertempur, bernyanyi, dan membuat film, ia juga mampu menulis esai kebudayaan yang dibukukan dalam Ismaya Tiwikrama (1965) dan Wayang Purwa (1977).
Editor: Irfan Teguh