tirto.id - Dulu pernah ada daerah bernama Pejongkoran di Jakarta Utara. Nama itu berasal dari seorang pemimpin serdadu VOC asal Ambon bernama Kapiten Jonker alias Yongker atau Jongker. Sang kapiten sohor karena ia dan pasukannya selalu pulang membawa kemenangan untuk VOC di banyak pertempuran, misalnya di Timor, Srilangka, Padang, Jambi, Palembang, Banten, Makassar, dan Jawa Timur.
Jonker yang beragama Islam adalah sosok yang begitu dihormati oleh orang Maluku, termasuk bagi serdadu-serdadu KNIL asal Ambon yang umumnya beragama Kristen.
“Dia adalah spiritual hero mereka. Dia mendjadi tjontoh bagi mereka dan dia adalah impian keberanian dan kesetiaan seorang militer Ambon. Kapitan itu pelindung mereka dalam marabahaja. Bagi mereka, tete dan nene tidak mati,” tulis I.O. Nanulaitta, dalam Timbulnja Militerisme Ambon: Sebagai Suatu Persoalan Politik Sosial–Ekonomis (1966).
Pasukan Mantan Budak
Menurut I.O. Nanulaitta, nama asli Jonker adalah Ahmad Sangaji. Ayahnya, Kawasa, adalah penguasa negeri yang dihormati sebelum dikalahkan VOC. Keluarga Kawasa berasal dari Tumaleho, Manipa, Seram Barat, tak jauh dari pulau Buru. J.A. van der Chijs dalam Kaptain Jonker 1630-1689 (1885) memperkirakan Jonker lahir sekitar tahun 1630an. Sementara I.O Nanulaitta, menyebutnya lahir sekitar 1620an.
Kampungnya merupakan penghasil cengkeh yang menggiurkan VOC, kongsi dagang yang terkenal sebagai pelaku monopoli rempah-rempah. Meski kalah jumlah, pihak VOC Maluku yang dipimpin Gubernur Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn punya militer dan bedil yang mampu menghabisi pemberontak pribumi. Saat berperang, Kawasa dan keluarganya dikalahkan dan menjadi budak VOC di Ambon.
Rupanya tak hanya keluarga Kawasa yang ditawan. Seorang raja bernama Tahalele bersama pengikutnya pun jadi budak VOC juga. Cara terbebas dari perbudakan itu adalah jadi serdadu, dan jalan itulah diambil Ahmad Sangaji dan Raja Tahalele. Di masa-masa inilah dirinya mulai dipanggil Jonker. Di Eropa, Jonker adalah sebutan untuk anak bangsawan yang jadi perwira militer. Nama Ahmad Sangaji tak dipakai lagi. Pada 1656, pangkatnya adalah vandrig (letnan muda), sedangkan Raja Tahalele bergelar kapiten (kapten).
Tugas pertama pasukan bekas budak Ambon itu adalah ke Timor, di mana mereka menang melawan Portugis. Setelah perang, pasukan Ambon ini dikirim ke Batavia. Malam 14 Agustus 1656, untuk pertama kalinya Jonker melihat kota Batavia. Bersama pasukan Ambon lainnya, ia ditempatkan di daerah Marunda, Cilincing. Kawasan inilah yang kemudian sohor dengan nama Pajongkoran.
Jonker dan laskar Ambon sering bentrok dengan orang-orang Banten yang melawan VOC. Juni 1658, pasukan Ambon dikirim lagi ke Srilangka, ekspedisi yang membuat Raja Tahalele terluka. Pasukan itu baru kembali dari Srilangka pada 1659. Posisi Tahalele sebagai kapiten kemudian digantikan oleh Jonker yang masih muda.
Dalam akta kuno keluaran VOC 1664, namanya tertulis sebagai Joncker Jouwa de Manipa. Jonker pun jadi orang terpandang dan dihadiahi tanah luas di daerah Marunda oleh VOC, tempat yang kemudian jadi tempat tinggalnya dan pengikutnya. Selama di Marunda, dia tak berperang dari 1660 hingga 1665, meski diaktifkan kembali dengan bayaran 20 ringgit sebulan untuknya sejak 1665. Mulai 1672, bayarannya naik lagi menjadi 40 ringgit sebulan.
“Pasukan-pasukan Jonker biasanja bersenjata parang atau pedang dengan Salawaku (perisai). Hanya dalam ekspedisi-ekspedisi, mereka diberi bedil. Pakaian mereka baju dan celana pendek. Opsir-opsir mereka memakai topi perang dari tembaga (stormhead),” tulis I.O. Nanulaitta.
Pada 1666, Jonker dan pasukannya dilibatkan dalam perang di Minangkabau. Selain pasukan Ambon, terdapat juga pasukan Bugis yang dipimpin oleh Arung Palakka di pihak VOC. Dalam ekspedisi militer itu VOC dengan bantuan pasukan Ambon dan Bugis berhasil menang di Minangkabau.
Sukses di Minangkabau dan adanya perang VOC dengan Gowa-Tallo di Makassar membuat Jonker dilibatkan lagi dalam Perang Makassar, 1667. Pasukan Bugis pimpinan Arung Palakka tentu juga dilibatkan. Arung Palakka sudah lama menunggu-nunggu perang tersebut. Ada urusan harga diri dan kemerdekaan yang harus ditegakkan Arung Palakka. Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, dianggap telah menjajah Bone, kerajaan Arung Palakka.
Menurut Leonard Andaya dalam Warisan Arung Palakka (2004), pasukan pimpinan Jonker dan Arung Palakka yang dikomandoi Laksamana Speelman itu tiba 17 Desember 1666 di Tana Keke, dan dua hari kemudian di Makassar. Awalnya perang itu agak sulit bagi Jonker dan Arung Palakka, namun banyak sekutu Gowa mundur yang membuat mereka berhasil dikalahkan. Perjanjian Bongaya pun ditandatangani, yang membuat Arung Palakka menjadi penguasa terkuat di Sulawesi Selatan.
Setelah Perang Makassar, Speelman jadi Gubernur Jenderal VOC, dan Jonker menjadi orang kepercayaannya. Tak semua tugas VOC diselesaikan dengan kekerasan ala militer. Jonker masih bisa memilih jalan damai. Ketika ada Pemberontakan Tronojoyo di Jawa Timur yang melibatkan keluarga Raja Mataram, Jonker dikirim. Ketika Trunojoyo terdesak, Trunojoyo tak menyerah pada pihak Mataram, melainkan menyerahkan diri pada Jonker dan pasukannya. Namun setelah menyerah pada Jonker, Trunojoyo diserahkan oleh VOC kepada pihak Mataram, dan akhirnya Trunojoyo dihabisi pangeran Mataram.
Jonker juga dikirim ke Palembang dan Jambi pada 1680, di mana dua kesultanan di sana nyaris berperang. Jonker dikomandoi oleh Kapten Tack yang belakangan tewas di tangan Untung Suropati. Dalam ekspedisi ini, ikut juga Zacharias Swarga alias Zacharias Bintang, sepupu Jonker. Gejala awal pertumpahan darah tidak meluas karena Jonker berhasil membujuk orang-orang Bugis dan Makassar, sementara Kapten Tack melobi dua sultan agar tidak berperang. Lobi licin mereka sukses.
Beres urusan di Sumatera, Jonker terlibat perang lagi dengan Banten. Semula, dalam perang itu, Kapten Tack terluka, dan VOC mengerahkan pasukan berkekuatan lebih besar. Sebanyak 2000 serdadu dikapalkan dibawah komando Mayor Isaac de St Martin pada 1682.
Manurut W.L. Ritter, dalam cerita bersambungnya tentang Jonker, Kapitan Jongker atawa Asalnja Kampong Pajongkoran yang terbit di Bintang Betawi (1901), Isaac de St Martin dikenal dengan tubuhnya yang besar dan tabiat kasar. Namun, di mata Jonker dia terlalu lembek. Jonker yang tak puas dengan cara kerja Isaac de St Martin akhirnya melapor pada Speelman. Dari sinilah rivalitas mereka bermula.
Dituduh Makar
Tahun 1689 harusnya dijalani Jonker dengan tenang, apalagi setelah kematian Gubernur Jenderal Speelman. Tapi, Isaac de St. Martin yang membenci Jonker makin berpengaruh di VOC. Bahkan pada 1688, atas permintaan St. Martin dan van Hoorn, VOC mengeluarkan aturan bahwa suku-suku di daerah Marunda harus tinggal dengan kelompok sukunya masing-masing. Pengikut Jonker terdiri dari berbagai macam suku dan tak suka dikotak-kotakan. Bahkan dua istri Jonker pun bukan orang Ambon.
Setelahnya, muncul laporan bahwa Jonker bersama orang-orang Banten akan menyerang Batavia. Diduga, Jonker bersekutu dengan Ratu Bagus Abdul Kamal (keturunan Ratu Bagus dari Banten). Laporan itu diterima St. Martin dari Sersan Mathijs Jansen. Sersan ini tadinya bagian dari pasukan Jonker, namun dia juga mata-mata St. Martin. Nama Jonker pun segera hitam di mata VOC.
Marunda memanas. Jonker dan pengikutnya sudah dianggap membahayakan bagi orang-orang Belanda di sekitar Marunda. Orang-orang yang tak suka perang memilih angkat kaki. Rapat membahas nasib Jonker diadakan VOC, 3 Agustus 1689. Dalam rapat itu, tak ada Gubernur Jenderal Camphuys dan anggota Raad van Indie lain. Rapat dibawah pengaruh St Martin itu sepakat menghabisi Jonker, apapun caranya.
Setelah rapat, Kapten Ruys melaporkan bahwa Jonker memang menyiapkan pasukan. Tapi pasukan itu bukan untuk menyerang VOC, melainkan untuk menghalau pasukan Kapiten Buleleng. Setelah itu, terjadi bentrokan antara pengikut Jonker dengan orang-orang Melayu di bawah pimpinan Wan Abdul Bagus. Dalam bentrokan itu, Wan Abdul Bagus terluka.
Pada 23 Agustus, sebuah pasukan campuran yang dipimpin Kapten Sloot bergerak ke Marunda. Ditambah pasukan Letnan Holscher dan Kapitan Buleleng yang membawahi orang-orang Bali, juga pasukan campuran komando Kapten Herman Dirkson Wanderpoel. Hampir 2.000 pasukan campuran VOC, terdiri dari orang-orang Belanda dan Indonesia, memburu Jonker.
Di sekitar Sungai Marunda, terjadilah pertempuran antara pasukan VOC dengan pengikut Jonker. Jonker dan pengikutnya terkepung dan ditembaki pasukan VOC. Letnan Holscher yang belia begitu bernafsu memburu Jonker. Menghabisi kapitan yang dianggap musuh paling sohor itu tentu akan menaikkan reputasinya sebagai perwira. Letnan Holscher pun membacok leher Jonker dengan pedangnya. Setelah tak bernyawa, kepala Jonker dibawa ke Benteng VOC.
Setelah pertempuran, semua anggota keluarga Jonker ditawan dan dibawa ke Benteng, termasuk dua istri Jonker: Daeng Singra dan Karaeng Kouta. Begitupun para pengikutnya. Mereka dijadikan budak VOC. Akhirnya, ada dua putra Jonker dibuang ke Srilangka, sedangkan dua anak perempuannya dititipkan pada Zacharias Bintang.
Dua putra Jonker yang lain, Pattisiwa Lima dan Sjakon, dijadikan serdadu oleh Belanda. Namun Sjakon kemudian melarikan diri di Jatnafatnam, dan Pattisiwa Lima pernah pulang ke Batavia namun dikirim kembali ke Malabar. Sementara itu, tanah Jonker di Marunda, yang sempat dikenal sebagai Pajongkoran, kemudian dikuasai St. Martin dan kawan-kawannya.
Jauh setelah kematiannya, Jonker menjadi mitos yang begitu dihormati serdadu-serdadu KNIL Ambon. Banyak dari mereka yang percaya satu mitos: jika pasukan yang sedang di perjalanan menuju pertempuran dilintasi sepasang merpati, maka pasukan tersebut akan menang. Mereka percaya sepasang merpati itu adalah jelmaan Tete dan Nene Jonker.
Kini, petilasan Jonker yang sudah jadi areal peti kemas di Marunda kerap diziarahi orang-orang. Menurut penuturan penduduk yang tinggal di sekitar sana, banyak orang—terutama orang Ambon—datang berziarah dengan harapan akan mendapat kekuatan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani