Menuju konten utama
Mozaik

Program Siswa Belajar di Barak Kodim Dihentikan Brigjen SBY

Akar masalah siswa bangor terletak pada kondisi masyarakat secara keseluruhan, termasuk isu kemiskinan, kebodohan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan.

Program Siswa Belajar di Barak Kodim Dihentikan Brigjen SBY
Anggota TNI merazia barang bawaan siswa sebelum memasuki barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar

tirto.id - Mengirim siswa yang dianggap bermasalah ke barak militer untuk pembinaan disiplin bukanlah hal baru. Jauh sebelum program yang digagas Dedi Mulyadi viral, gagasan serupa pernah direalisasikan di Jakarta pada era 1990-an.

Saat itu, Jakarta mengalami periode kelam saat jalanan ibu kota kerap berubah menjadi arena pertarungan antarpelajar. Tawuran menebar teror dan mengganggu sendi kehidupan masyarakat.

Skala kekerasan yang kian meningkat dan para pelajar yang semakin beringas dari hari ke hari, mendorong lahirnya sebuah solusi tak lazim dan sarat kontroversi: Sekolah Khusus Kodim.

Tawuran yang Meresahkan Ibu Kota

Tawuran pelajar bukanlah barang baru di Jakarta. Studi Universitas Indraprasta PGRI menunjukkan bahwa tawuran pelajar di Jakarta setidaknya telah terjadi sejak tahun 1968.

Seiring waktu, bentuknya mengalami eskalasi, terutama dengan meluasnya penggunaan senjata tajam yang dimulai sekitar tahun 1980, serta munculnya kelompok-kelompok pelajar yang dikenal sebagai Barisan Siswa (Basis).

Mereka memilik julukan dan singkatan sesuai rute angkutan umum. Misalnya Boedoet 806, yang merujuk pada SMAN 1 Jakarta di Jl. Budi Utomo, Sawah Besar. Sedangkan angka 806 merupakan simbol angkutan umum yang melintasi jalur sekolah mereka.

Keberadaan Basis menandakan adanya tingkat organisasi yang lebih tinggi, bukan sekadar perkelahian spontan. Lingkungan pergaulan yang mendukung tawuran membuat remaja mempelajari perilaku kekerasan ini.

Siswa kerap berkelahi tanpa sebab, yang penting bertarung. Motif tersebut menunjukkan betapa kekerasan telah ternormalisasi dan menjadi semacam ritual bagi sebagian pelajar. Biasanya terkait dengan pencarian identitas, status, atau pembuktian teritorial.

Keresahan masyarakat dan pemerintah pun memuncak. Kekerasan pelajar tidak hanya terjadi antarmereka, tetapi juga merembet pada perusakan fasilitas umum seperti bus kota, pembajakan angkutan, hingga melukai awak bus.

Tindakan ini menimbulkan ketakutan di kalangan pengguna kendaraan umum dan masyarakat luas. Lebih jauh, para pelajar ini dilaporkan semakin kurang ajar dan berani, bahkan hingga melecehkan guru, orang tua, dan aparat keamanan.

Pada era 1990-an, frekuensi dan tingkat kebrutalannya mencapai titik yang mengkhawatirkan. Jalanan menjadi saksi bisu bagaimana para siswa sering kali tanpa alasan yang jelas, terlibat dalam perkelahian massal yang tak jarang berujung maut.

Situasi tersebut pada akhirnya mendorong pihak berwenang untuk mencari solusi drastis.

Program pendidikan karakter dan kedisiplinan bagi siswa

Sejumlah siswa berjalan memasuki barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025).ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar

Kelahiran Sekolah Kodim

Di tengah kegelisahan publik dan eskalasi kekerasan pelajar yang meningkat, muncullah gagasan Sekolah Khusus Kodim. Inisiatif ini tak lepas dari peran sentral Mayor Jenderal TNI A.M. Hendropriyono yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya (Pangdam Jaya) dan juga Ketua Bakorstansda (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah).

Dengan latar belakang militer yang kental, pendekatannya dalam menangani masalah sosial mencerminkan disiplin dan ketegasan khas korpsnya. Gagasan Sekolah Kodim secara resmi mulai diujicobakan pada awal Agustus 1993.

"Anak yang badung-badung, yang jadi biang kerok, yang selalu ngaco. Itulah sasaran untuk disekolahkan di situ. Dan guru-gurunya sendiri yang mengajar, cuma tempatnya di Kodim," ujar Hendropriyono, dikutip dari majalah Jakarta Jakarta No.371 14-20 Agustus 1993.

Tujuannya ialah menekan angka keributan antarpelajar yang semakin sulit dikendalikan dan kian berani. Program ini merupakan upaya bersama yang melibatkan Bakorstranasda, Kanwil Depdikbud DKI, Depsos, Pemda DKI, Bakolak Inpres, dan Polda Metro Jaya, dengan Kodam Jaya sebagai pelaksana di lapangan melalui Kodim-Kodim.

Letnan Kolonel (Kav) Imam Basuki, Komandan Distrik Militer (Dandim) 0501 Kwitang, merinci kriteria siswa yang dikirim ke sekolah khusus ini adalah pelajar yang sudah menyimpang jauh dari kode etiknya sebagai pelajar, seperti mengembang pada hal-hal yang bersifat kriminalitas, mengganggu kepentingan umum, minum BK (diduga jenis narkoba) dan membawa senjata tajam.

Program ini juga tidak membatasi gender, siswi-siswi yang dianggap sebagai provokator atau "tukang bakar-bakar" yang memicu perkelahian juga bisa dikirim ke sekolah ini.

Durasi program dirancang secara singkat. Hendropriyono menyatakan bahwa para siswa akan dikembalikan ke sekolah asal mereka paling lama satu bulan. Namun, angkatan pertama dilaporkan hanya menjalani program selama empat hari. Mereka dianggap tidak lagi berpotensi menjadi biang keladi tawuran.

Pada awalnya, selain di Kodim 0501, Sekolah Khusus Kodim juga dilakukan di Resimen Induk Daerah Militer Jayakarta (Rindam Jaya), Condet, Jakarta Timur.

Satu bulan kemudian, program ini dipraktikkan di Kodim Tangerang dan dibuka Dandim Tangerang kala itu, Letkol (Inf) Darizal Basir, pada 16 September 1993. Terdapat 11 pelajar yang terazia saat itu yang siap dididik antara satu minggu hingga satu bulan.

Ketika Barak Militer Jadi Ruang Kelas

Program Sekolah Khusus Kodim mengubah barak militer menjadi ruang belajar yang tak biasa. Di Kodim 0501 Kwitang, Jakarta Pusat, yang berlokasi di Jalan Prapatan, misalnya, ruang tata usaha dan ruang data Kodim disulap menjadi asrama berukuran 8x8 meter dan ruang kelas berpendingin seluas 8x9 meter.

Kodim Kwitang memiliki dua ruang kelas, masing-masing berkapasitas 10-20 siswa, yang dilengkapi tidak hanya dengan perlengkapan standar, tetapi juga televisi, kipas angin, bahkan alat kebugaran seperti treadmill dan sepeda statis.

Angkatan pertama di Kodim ini terdiri dari empat siswa: dua dari STM PGRI 8 jurusan mesin, satu dari SMAN 25, dan satu dari SMA Ksatriya, semuanya berusia 17 tahun. "Penerimaan siswa baru" dari SMA 7 Jakarta Pusat juga sudah direncanakan.

Suasana sekolah ini tentu sangat berbeda dengan sekolah formal. Disiplin militer menjadi napas utama, menggantikan bel sekolah dan suasana kelas yang lebih santai. Para siswa didampingi oleh seorang perwira penuntun dan seorang bintara pembina.

Selain itu, mereka juga mendapat pendampingan dari psikolog, tenaga kesehatan, psikiater, dan seorang "pawang", semacam ahli spiritual atau penjinak yang ditugaskan untuk setiap siswa.

Hendropriyono menegaskan perlunya pawang ini, "Biar aja ada manusia dipawangin, habis susah diatur, bangor bener."

Meskipun berada di lingkungan militer, seorang siswa bernama Beno B.M. dari STM 8 PGRI Rawasari mengaku tidak tertekan. Dilansir dari majalah Tempo (21/08/1993), ia dikirim ke sekolah khusus karena kedapatan membawa belati yang ditemukan di tasnya.

Beberapa siswa lain secara anonim juga memberikan testimoni positif, seperti ketenangan saat belajar atau dalam hal penyerapan materi pelajaran yang lebih gampang dicerna.

Jadwal harian para siswa ini sangat padat dan terstruktur, dimulai pukul 04.30 pagi wajib bangun tidur dan berakhir pukul 21.30 saat mereka harus istirahat. Waktu sekolah formal, dengan guru yang didatangkan dari sekolah asal, berlangsung dari pukul 07.30 hingga 13.30.

Di luar jam pelajaran, mereka diwajibkan mengikuti senam pagi serta melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mengepel lantai. Kunjungan orang tua dibatasi hanya satu jam per hari.

Materi pelajaran yang diberikan merupakan perpaduan antara kurikulum akademis dari sekolah asal siswa, yang diajarkan oleh guru-guru mereka sendiri yang datang ke Kodim. Lalu dipadukan dengan latihan disiplin ala militer, seperti olahraga, baris-berbaris, dan materi Bela Negara.

Pro dan Kontra di Balik Kawat Berduri

Kehadiran Sekolah Khusus Kodim memicu beragam reaksi di tengah masyarakat. Sejak awal, rencana ini menuai keberatan karena dinilai tidak jauh berbeda dengan praktik penahanan siswa yang terlibat tawuran.

Di sisi lain, tak sedikit pula yang menyambut baik inisiatif ini. Dalam sebuah acara coffee morning yang diadakan Pangdam Jaya pada 10 Agustus 1993, program ini mendapat pujian dari para orang tua pelajar.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Wardiman Djojonegoro, juga tidak keberatan dan memuji langkah Pangdam Jaya sebagai sebuah cara pendidikan alternatif.

A.M. Hendropriyono menanggapi kritik dengan menyatakan bahwa program tersebut bersifat terbuka dan bertujuan mulia untuk mengurangi kekacauan di ibu kota. Tajuk Rencana harian Kompas (13/08/1993) berjudul "Menempatkan Kehadiran Sekolah Khusus yang Diselenggarakan Kodam Jaya" juga menyiratkan isu ini menjadi perbincangan hangat di ruang publik.

Dari kalangan pakar pendidikan dan psikologi, muncul pandangan yang lebih kritis. Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Dadang Hawari, menilai tindakan represif seperti razia pelajar atau Sekolah Kodim tidaklah cukup.

Menurutnya, akar masalah tawuran sesungguhnya terletak pada kondisi masyarakat secara keseluruhan, termasuk isu kemiskinan, kebodohan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan yang menyebabkan anak-anak pelajar kehilangan pegangan hidup.

"Anak-anak remaja kita bukan anak-anak bodoh yang tidak tahu apa-apa,” tukas Dadang kepada Republika.

Pandangan serupa juga diutarakan oleh Binsar Situmorang, Kepala Sekolah STM Penerbangan, yang meskipun mendukung program, mengingatkan, "Kalau anak yang sering ngompas karena nggak punya duit, begitu keluar dari SK (Sekolah Khusus) itu ya kembali lagi. Tetap saja begitu. Karena masalahnya kemiskinan, ya itu yang harus ditanggulangi."

Program pendidikan karakter dan kedisiplinan bagi siswa

Siswa berada di barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar

Sebaliknya, Isrin Candra, Kepala Sekolah SMA Purnama, berpendapat bahwa program tersebut setidaknya memiliki dampak psikologis, "Paling tidak secara psikologis murid-murid sudah mulai takut."

Wacana publik saat itu juga mencatat berbagai pendekatan lain dalam menangani kenakalan remaja, termasuk pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menunjukkan adanya diskusi mengenai model intervensi yang lebih komprehensif.

Meredam Tawuran atau Sekadar Ilusi?

Pertanyaan krusial yang muncul kemudian adalah mengenai efektivitas Sekolah Khusus Kodim. Apakah program terapi kejut ini berhasil meredam gelombang tawuran pelajar di Jakarta? Sayangnya, bukti-bukti yang tersedia justru menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan.

Pemerintah Provinsi Jakarta mencatat lonjakan jumlah sekolah yang tergolong bermasalah karena pelajarnya kerap tawuran, dari semula delapan sekolah menjadi sekitar 50 sekolah pada tahun 1995.

Selama tahun itu saja, pelajar dari 50 sekolah tersebut dilaporkan melakukan tawuran minimal dua kali, dengan mayoritas pelaku berasal dari Sekolah Teknik Menengah (STM). Data statistik korban jiwa yang tetap tinggi di akhir dekade 1990-an juga mengindikasikan Sekolah Khusus Kodim belum mampu memberantas masalah hingga ke akarnya.

Sebagai contoh, tawuran dapat mengakibatkan cedera serius bahkan kematian. Pada tahun ajaran 1999/2000 saja, Kanwil Depdiknas DKI Jakarta mencatat 1.369 pelajar terlibat tawuran, dengan 26 di antaranya tewas, 56 luka berat, dan 109 luka ringan.

Angka ini mengindikasikan persistensi dan skala masalah yang coba diatasi. Bahkan, laporan mencatat 67 kematian akibat tawuran pada tahun 1999, dan angka ini terus meningkat hingga mencapai 297 kematian dari tahun 2000 hingga akhir 2005.

Pada 1996, Brigjen Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya (Kasdam) mengakui Sekolah Khusus Kodim tidak efektif dan menghentikannya pada Juli 1997.

Menurut SBY, penanganan kenakalan remaja membutuhkan pendekatan holistik yang tidak hanya pada pendisiplinan individu, tetapi juga perbaikan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan pendidikan yang melingkupinya.

Baca juga artikel terkait KENAKALAN REMAJA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi