tirto.id - Pada akhir dekade 1980-an Abdullah Mahmud Hendropriyono masih berpangat kolonel. Ketika Benny Moerdani masih jadi Panglima ABRI, orang baret merah ini dijadikan Komandan Korem 043/Garuda Hitam Lampung. Ini bukan kawasan sembarangan. Di daerah yang dulunya tujuan transmigrasi ini, pendatang dari bermacam latar belakang mencari hidup dan menetap.
Menurut Fenty Effendi dan Retno Kustiati dalam biografi Agum Gumelar, Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani (2004), Lampung di masa itu dianggap “daerah pelarian bagi orang-orang garis keras yang berseberangan sikap dengan pemerintah. Di antaranya mereka yang terlibat peristiwa DI/TII” (hlm. 41).
Di salah satu daerahnya, yang bernama Talangsari, pernah terjadi pertumpahan darah pada 7 Februari 1989. Dalam peristiwa tersebut, perwira TNI dan orang-orang Islam dari kelompok Warsidi terbunuh. Nama Hendropriyono pun selalu diingat dalam peristiwa yang terjadi di zaman Orde Baru sedang kuat-kuatnya itu.
Meski terjadi kekerasan aparat di daerahnya, Hendro tidak langsung dicopot dari posisi Danrem. Dia tetap di Lampung hingga 1991. Sampai kemudian orang baret merah lain, Kolonel Agum Gumelar, menggantikannya.
Mengaku Bung Karno adalah Idolanya
Setelah Talangsari berlalu, Hendro pun ditarik ke Jakarta. Dia dijadikan Direktur D Badan Intelijen Strategis (BAIS) BAIS dari 1991 sampai 1993, lalu Direkur A BAIS ABRI. Hendro kemudian menjadi Panglima Kodam Jakarta Raya (Jaya).
Di masa dia jadi panglima, yang bertanggungjawab atas keamanan ibu kota itu, Hendro adalah orang yang membiarkan berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di mana Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi ketua umumnya.
Anak didik Benny Moerdani ini, seperti dicatat Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), mengaku tidak mendapat perintah khusus apapun dari Moerdani untuk memenangkan Megawati. “Saya sendiri memang bersimpati kepada Megawati karena Bung Karno idola saya,” kata Hendro (hlm. 137).
Sementara Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru (2014) menyebut Agum Gumelar dan Hendropriyono adalah dua jenderal yang punya simpati dengan Megawati. Kepada dua jenderal itu, Benny Moerdani berpesan, “Kita tidak boleh membiarkannya tersingkir. Saya tahu orang tua itu [Soeharto] ingin terbebas dari Mega. Tapi, itu tidak fair” (hlm. 374).
Di tahun-tahun terakhir kepresidenan Soeharto, Hendropriyono bukan jenderal dengan pos penting dalam militer. Sebagai perwira ABRI, Hendro tak bisa dibilang berjaya. Jabatan paling menterengnya adalah Panglima Kodam Jaya. Dia tidak bisa segemilang juniornya yang bernama Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Hendro justru makin menanjak ketika berkarier di luar militer.
Sejak 1996, Hendro sudah diberi jabatan non-militer yang sering diisi jenderal, yaitu Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan (Sekdalopbang). Di akhir kabinet Soeharto, Hendro dijadikan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Setelah Soeharto lengser dia merangkap jabatan Menteri Tenaga Kerja.
Dari 2001 hingga 2004 dia dijadikan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Di masa Hendro menjadi Kepala BIN itulah aktivis HAM Munir terbunuh. "Hendropriyono, salah satu figur terkuat di Indonesia telah mengaku 'bertanggungjawab secara komando' dalam pembunuhan Munir,” kata jurnalis investigasi Allan Nairn pada 2014, seperti dikutip portal berita KBR.
Seperti kasus Talangsari, kasus Munir pun tidak jelas penyelesaiannya. Namun Hendropriyono sulit dilupakan kelompok Islam Politik—yang kini berseberangan dengan dirinya, karena Hendro dikenal sebagai pendukung Presiden Joko Widodo.
Cemerlang Waktu Muda
Setelah pergantian tahun 1967-1968, ketika belum genap tiga bulan lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Letnan Dua A.M. Hendropriyono dikirim ke rimba raya Kalimantan. Bukan sekadar tugas survei, tapi tugas tempur menghadapi gerilyawan PGRS/Paraku yang kenal sebagai komunis Kalimantan. Seperti pesan Komandan Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD) Brigadir Jenderal Widjojo Soedjono yang begitu diingatnya, “kalian pergi untuk belajar bertempur.” Itulah yang harus dilalui para perwira muda yang akan diberi latihan komando di korps baret merah.
Bukan sekali Hendro dikirim ke Kalimantan untuk PGRS/Paraku. “Tanggal 12 November 1972, dengan pangkat Kapten, saya tergabung lagi dalam satuan tugas 42 dibawah pimpinan Mayor Sintong Panjaitan ke Kalimantan Barat,” aku Hendro dalam bukunya, Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2013: 93).
Pada 1973-1974 Hendro memburu dengan gemilang gerombolan PGRS/Paraku pimpinan Ah San. Ketika menyergap Ah San dan kawan-kawan, Hendro dan belasan anak buahnya hanya bermodal pisau lempar dan pistol yang macet. Aksinya ini dapat pujian dan namanya masuk koran Aneka Berita—yang masih ada hubungan dengan koran Angkatan Bersenjata.
Bukan cuma di Kalimantan, di Timor Timur pun Hendro hadir. “Hendropriyono sendiri berangkat [ke Timor Timur] pada akhir Agustus 1976,” tulis Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (2003: 267).
Dia ditugasi membuat persiapan masuk ke pedalaman Timor Timur. Kala itu dia mengajak dua bekas sersan dalam tentara kolonial Timor-Portugis (Tropaz), Fransisco Osorio Soarez dan Vidal Sarmento.
Hendro tak mendapat kegemilangan di Timor Timur. Tak seperti Prabowo yang dapat kawan hebat bernama Hercules. Belakangan hari, soal Timor Timur, seperti dicatat Salim Said, Hendro menyebut bahwa kesalahan strategis dalam Operasi Seroja adalah menyerbu langsung kota-kota besar tanpa terlebih dahulu mengepungnya dari pedalaman atau desa-desa (hlm. 141).
Sepanjang di baret merah, Hendro pernah menjadi komandan peleton, komandan kompi, dan komandan detasemen tempur. Orang macam Hendro seharusnya ada peluang untuk menjadi orang nomor satu di baret merah, namun itu semua tidak terjadi.
Karier Hendro memang tak bisa seperti Prabowo Subianto, yang bisa jadi Komandan Jenderal Kopassus dan Panglima Kostrad, meski Hendro berhasil menjadi jenderal bintang empat.
Tapi sekarang Hendro boleh sedikit berbangga. Dia punya menantu yang karier dan pangkatnya melampaui Prabowo Subianto: Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan