tirto.id - Setelah mengetahui latar belakang saya sebagai sejarawan, seorang supir taksi online mengajukan sebuah pertanyaan: Apa yang terjadi dalam kasus pembunuhan Munir dan mengapa ia dibunuh?
Pak supir menyatakan bahwa pertanyaan serupa telah diajukan keponakannya yang duduk di bangku SMP. Ia merasa tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan dan membutuhkan kepastian terhadap pertanyaan tersebut.
Sampai sekarang, ada sejumlah pembahasan terkait persoalan hukum dan politik terkait kasus pembunuhan Munir. Namun, bagaimanakah tempatnya dalam sejarah?
Kematian Munir tidak dapat disangkal telah menjadi bagian dari kisah-kisah drama pembunuhan politik abad ke-20 di dunia seperti Stephen Biko di Afrika Selatan, Benigno Aquino di Filipina, Martin Luther King dan John F. Kennedy di Amerika.
Ada satu kesamaan dalam drama-drama tersebut: mereka menyisakan pertanyaan tak terjawab mengapa orang-orang itu dibunuh? Siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan itu?
Pertanyaan serupa pun sepertinya mengisi benak generasi baru saat ini: Siapa Munir? Mengapa ia dibunuh dan siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut?
Memilih Jadi Aktivis, Bukan Pengacara
Sekarang ini Munir telah menjadi buku terbuka bagi konsumsi publik yang mengisi satu lembar kisah tentang perjalanan sejarah penegakan HAM di Indonesia. Munir Said Thalib lahir di Malang pada 8 Desember 1965, beberapa bulan saja setelah huru-hara politik di Indonesia yang melahirkan rezim Orde Baru. Masa kecilnya dihabiskan di kota Batu, Jawa Timur. Di kota itu, di bekas rumah pribadi Munir, didirikan sebuah museum kecil bernama Omah Munir pada 2013. Museum itu menjadi rekaman atas perjalanan sejarah HAM di Indonesia.
Orang-orang di kota kelahirannya mengingat sosok Munir yang kerempeng dengan tubuh kecil, tetapi gesit dan mudah bergaul dengan banyak orang. Pergulatan di dunia hukum menjadi bagian terbesar hidupnya sejak kuliah sampai akhir hayat. Ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Brawijaya pada 1990. Ketika berada di puncak karier, Munir berencana melanjutkan studi hukum di Belanda pada 2004. Rencana itu berhenti di awal perjalanan. Kematian keburu mengadangnya.
Alih-alih meniti karier sebagai pengacara profesional—seperti harapan keluarga dan kebiasaan umum soal karier masa depan seseorang—sepanjang hidup dewasanya Munir mencurahkan diri dalam aktivisme terkait nilai-nilai pribadi yang dianutnya: konsep demokrasi, keadilan, dan perbaikan martabat individu di hadapan hukum.
“Di masa depan [...] kita harus mempertimbangkan kembali kemungkinan dunia yang satu berdasarkan kemanusiaan dan solidaritas,” demikian pernyataannya saat menerima anugerah Rights Livelihood Award tahun 2000 di Stockholm, Swedia.
Dalam pidato itu ia mengutip ucapan Kanselir Jerman, Willy Brandt, yang juga merupakan pemimpin Partai Sosial Demokrat Jerman dan peraih Nobel Perdamaian atas upayanya mempersatukan Jerman Barat dan Timur. Munir menggulirkan nilai-nilai itu dalam kiprahnya sebagai pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dari kota kecilnya di Malang, lalu Surabaya, dan kemudian Yayasan LBH Indonesia (YLBHI).
Hukum memang menjadi bagian yang lekat dalam kiprah hidupnya. Namun, secara pribadi ia memiliki keraguan bahwa hukum adalah jawaban atas segalanya.
Hukum secara matematis bukan persamaan absolut untuk mencapai keadilan. Ia adalah sejumlah pernyataan dan naskah yang lekat dengan waktu dan dapat diubah sekehendak penciptanya. Dalam periode revolusi, ia bahkan menjadi doktrin lapuk yang layak dimasukkan dalam keranjang sampah sejarah seperti dibayangkan Thomas Paine saat berkomentar tentang perubahan-perubahan yang terjadi seiring meletusnya Revolusi Perancis.
Atas keyakinan macam itu, selain berkutat di seputar prosedur dan formalitas pengadilan, Munir pun akrab dengan kegiatan advokasi dan pengorganisasian buruh di LBH Surabaya. Salah satu kiprah yang mencuatkan namanya adalah ketika menangani kasus pembunuhan buruh perempuan Marsinah di pengadilan.
Dalam kiprah itu, ia lebih berhasil dibanding sekadar berkutat dengan tata peradilan dalam prosedur hukum layaknya seorang pengacara. Sebagai aktivis, ia berani dan penuh siasat. Peran Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), organisasi yang didirikannya pada 1998, terkait persoalan orang hilang menjadi bukti perbuatannya. Melalui Kontras, Munir menggugat kesewenang-wenangan institusi militer—sebuah lembaga kunci yang mengatur jalannya politik Indonesia zaman Orde Baru.
Ia yang Mengimani Sejarah
Sebagai individu, Munir adalah pribadi yang hangat. Saat mulai bekerja di bawah pimpinannya, saya mendapatkan gambaran tentang seorang aktivis penuh semangat dan inisiatif.
Di luar peristiwa-peristiwa penting yang menuntut kehadirannya, kegiatan rutinnya sehari-hari dapat diduga. Ia tiba di tempat kerja pukul 8 pagi sebelum kegiatan kantor berjalan dan langsung membaca koran. Selepas itu, ia menerima tamu-tamu yang datang dengan berbagai keperluan.
Munir juga seorang pembaca yang rakus. Ia menyukai sejarah. Ini sesuatu yang langka bagi seseorang dengan latar belakang pendidikan hukum. Semula saya menganggap keingintahuannya tentang sejarah sekadar gambaran artifisial di permukaan. Ternyata ia sungguh-sungguh menyukainya dan menjadikan sejarah sebagai cara pandang dalam melihat situasi dan persoalan.
Ia memiliki kepekaan terhadap latar belakang seseorang, konteks peristiwa, dan preseden-preseden dari masa lalu untuk menelaah peristiwa kontemporer.
Seorang rekan pengajar School of Oriental and African Studies, London yang berdiskusi dengannya menyatakan kekaguman pribadi tentang kecerdasan analisis dan kepekaan Munir dalam menilai sebuah persoalan. Munir juga dengan bangga menunjukkan koleksi bacaan di perpustakaan pribadinya. Dalam kaitan ini, saya mengakui nalar kesadaran sejarahnya dibanding sekadar pendekatan legalistik dunia hukum.
Saat memulai pekerjaan di YLBHI, yang menjadi pusat pertemuan segala persoalan pada masa Orde Baru, Munir langsung tancap gas dengan sejumlah ide. Tapi gagasan-gagasan itu tidak selalu berhasil.
Beberapa inisiatif—seperti mengkritisi Undang-Undang Statistik yang baru digulirkan saat itu—bahkan tenggelam sebelum menjadi perhatian publik. Pada saat itu kadang-kadang ia merasa putus asa lantaran hanya mendapat sedikit dukungan atas inisiatif yang menurutnya penting.
Tidak dapat disangkal, setelah cukup berhasil dalam menjalankan aktivitas di Surabaya, ia tetap membutuhkan waktu menyesuaikan diri dengan irama ibu kota, berkenalan dengan tokoh-tokoh kunci yang berpengaruh, dan mendapatkan kepercayaan banyak orang untuk mendukungnya. Semua hanya persoalan waktu.
Munir bagi Generasi Kini
Pada 7 September 2004, tepat hari ini 14 tahun lalu, Munir Said Thalib mengembuskan napas terakhir di langit Rumania, dua jam sebelum pesawat yang ditumpanginya mendarat di bandara Schipol, Amsterdam. Otoritas Belanda yang memeriksa jenazahnya menemukan kandungan lebih dari dua gram racun arsenik dalam tubuh Munir. Jelas sekali, ini kematian yang tak wajar.
Serangkaian persidangan yang menyusul setelah kematiannya menghasilkan sejumlah fakta penyelidikan, tersangka, dan vonis hukuman. Pada 20 Desember 2005, pengadilan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto. Bulan November 2014, sembilan tahun setelah vonis tersebut, Pollycarpus mendapatkan pembebasan bersyarat. Akhir Agustus lalu, ia resmi berstatus bebas murni.
Keputusan itu menuai protes dari lembaga-lembaga hak asasi manusia, termasuk Suciwati yang terus mencari keadilan atas kasus kematian suaminya. Namun pemerintah tetap bergeming.
Setelah hampir satu setengah dekade kematiannya, ada satu generasi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia dengan pertanyaan serupa dalam benak kepala mereka: Mengapa Munir dibunuh? Bagaimana mungkin negara tempat mereka menjadi warganya membiarkan hal itu terjadi?
Para elite politik Indonesia yang semakin beranjak tua dan lapuk bisa saja berkilah dengan seribu satu alasan untuk terbebaskan dari beban pertanyaan tersebut. Namun, seperti kisah ciuman Judas ribuan tahun lalu, pertanyaan serupa terus hidup dalam benak orang-orang Indonesia masa kini dan dekade-dekade yang akan datang. Kisah ini pula yang tampaknya akan menjadi perhatian sejarawan masa depan untuk menggali “apa yang benar-benar terjadi”.
Bagi generasi masa kini, Munir adalah sosok yang memudahkan mereka menerjemahkan konsep HAM yang universal dalam pengalaman orang-orang Indonesia. Grafiti wajah Munir hadir di pojok-pojok kota, jalan-jalan, kaus, dan lembaran entri di dalam mesin pencari Google.
Orang-orang Indonesia masa kini mengenal sejumlah nama seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lainnya terkait peran mereka dalam sejarah. Bagi generasi abad ke-21, Munir adalah bagian dari sejarah mereka.
==========
Andi Achdian adalah sejarawandan pengajar di FISIP Universitas Nasional, Jakarta. Ia pernah menjadi aktivis YLBHI (1994-1999) dan kurator Museum HAM Omah Munir (2013-2016).
Editor: Ivan Aulia Ahsan