tirto.id - Rakyat Filipina sudah tahu rencana Duterte yang amat bernafsu untuk membantai para pengedar dan pengguna narkoba, bahkan sebelum pencalonan dirinya dalam pemilihan presiden baru. Pada bulan Mei 2016 Duterte, misalnya, ia berkata: “Jika kebetulan Tuhan menempatkan saya di sana (posisi presiden), waspadalah, karena 1.000 (orang yang telah ia eksekusi selama menjabat sebagai Walikota Davao) akan menjadi 100.000. Kau akan melihat ikan-ikan di Teluk Manila menjadi gemuk. Di sana lah aku akan membuang mayatmu (kriminal obat-obatan terlarang),” demikian sebagaimana dikutip Human Right Watch (HRW).
Perang terhadap narkoba jadi jualan utama Duterte selama kampanye dan rupanya sukses besar untuk mengantarkannya sebagai Presiden Filipina ke-16. Duterte menepati janjinya. Usai dilantik pada 30 Juni 2016, per 1 Juli di tahun yang sama ia mulai menerjunkan aparat kepolisian untuk menyerbu sarang pengedar dan menangkapi pengguna dengan kekerasan yang tak main-main.
Jika melawan, taruhannya eksekusi ekstra yudisial (extrajudicial killing). Metode ini kemudian ditiru oleh kelompok vigilante di seluruh negeri yang seakan mendapat legitimasi dari sang presiden baru untuk memburu para pengguna dan pengedar layaknya kecoa. Pengadilan bukan lagi dianggap sebagai lembaga yang diandalkan. Duterte dan barisan pendukungnya pun rajin memaki dan mencibir beragam kritik atas kebijakannya yang didasarkan pada prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
“Perintah saya adalah menembak untuk membunuh Anda. Saya tidak peduli dengan hak asasi manusia, percaya aja deh sama saya,” katanya pada 6 Agustus 2016. Dua bulan sebelumnya ia juga muntab, “Jika kau masih mengonsumsi atau menjual narkoba, aku akan membunuhmu. Jangan anggap ini sebagai lelucon. Aku tak sedang membuatmu tertawa. Anak haram jadah. Aku akan benar-benar membunuhmu.”
Baca juga:
Gelombang pertama perburuan berakhir pada 30 Januari 2017, lalu dilanjutkan lagi sejak 6 Maret 2017. Menginjak satu tahun lebih sedikit, apakah perang ini menghasilkan hasil yang diharapkan yakni mengurangi konsumsi dan peredaran narkoba beserta beragam aksi kriminal sebagai efek samping?
Pemerintah Filipina menjawabnya melalui catatan Polisi Nasional Filipina (PNP) dan Badan Penegakan Obat Filipina (PNP). Bahwa sejak deklarasi perang lawan narkoba pada 1 Juli 2016 silam, 1,2 juta pengguna dan 90 ribu pengedar narkoba telah menyerah. Transaksi obat terlarang diklaim berkurang hingga 26 persen, dan indeks kejahatan turun sebesar 29 persen, yakni dari 134.953 kasus (Juli 2015-Maret 2016) ke 96.398 kasus (Juli 2016-Maret 2017).
Meski demikian bukan perang namanya jika tak timbul korban. Menurut Badan Informasi Filipina atau PIA, per 26 Juli 2017 sudah ada 5.617 warga Filipina yang meregang nyawa. Dari kalangan polisi dan tentara, jumlah tewas mencapai 68 orang dan 184 lain terluka. Angka yang berlipat-lipat jauh lebih tinggi ada di kalangan sipil: 3.451 tewas dalam operasi polisi yang sah dan 2.098 kematian terkait obat namun akibat manuver kelompok vigilante.
Angka yang berbeda dicatat oleh Reuters. Hingga akhir Juli 2017 ada lebih dari 3.400 orang yang terbunuh dalam operasi anti-narkoba yang dijalankan aparat kepolisian Filipina. Ada pula 2.100 kematian terkait obat terlarang di periode yang sama. Penyebabnya macam-macam, namun bisa disimpulkan dalam dua fenomena besar: perang antar geng dan tentu saja aksi vigilante untuk melenyapkan informan, pengguna, maupun pengedar narkoba.
Sering Salah Sasaran, Seantero Negeri Mencekam
Di balik barisan angka statistik, yang tak serta-merta dibanggakan begitu saja oleh lembaga internasional terkemuka seperti PBB hingga pemuka agama yang peduli HAM di Filipina, Duterte sendiri mengakui bahwa perang ini menimbulkan harga yang mahal: deretan korban persekusi salah sasaran.
Pada Minggu (21/8/2017) Duterte (akhirnya) mengakui memang ada pelanggaran dalam prosedur perburuan pengedar dan pemakai narkoba. Ia telah memerintahkan polisi untuk menahan anggota kepolisian yang terlibat dalam pembunuhan seorang siswa sekolah menengah, Kian Delos Santos, pada minggu sebelumnya. Kasus ini memicu kemarahan massa yang turun ke jalan untuk menuntut keadilan bagi si pelaku.
Kian Delos Santos diseret dari rumahnya di Callocan, dekat Manila, dan dibunuh oleh anggota polisi yang berkedok sedang melakukan penyerangan pada pengedar narkoba. Kian Delos sendiri bukan seorang pemakai apalagi pengedar. Kata-katanya sebelum ditembak dua kali di kepala dan punggungnya adalah “Tolong berhenti. Tolong berhenti. Aku ada ujian besok,” demikian menurut saksi yang diwawancarai The Guardian.
Awal Desember lalu Daniel Berehulak mempublikasikan laporan panjangnya di The New York Times, berisi foto dan amatan langsung bagaimana pembunuhan ekstra yudisial dan manuver para kelompok-kelompok vigilante menimbulkan trauma dan malam yang mencekam bagi penduduk kota Manila dan kota-kota lainnya.
Mayat hasil persekusi ditinggal begitu saja di jalanan dan ditengarai ada unsur kesengajaan agar orang-orang memahami konsekuensi menjadi pengedar atau pemakai narkoba. Polisi biasanya datang terlambat ke lokasi, bahkan kadang baru sampai di pagi hari, di saat orang-orang sudah mengerumuni si mayat, fotografer telah mengabadikannya dari berbagai sudut pandang, dan pewarta telah mengunggah kejadiannya di kanal daring masing-masing.
“Saya telah bekerja di 60 negara. Meliput perang di Irak dan Afghanistan, dan menghabiskan tahun 2014 hidup di wilayah yang terpapar Ebola di Afrika Barat, sebuah tempat yang diliputi ketakutan dan kematian. Apa yang saya alami di Filipina terasa seperti kekejaman dalam tingkat yang baru: petugas kepolisian segera menembaki siapapun yang dicurigai berurusan dengan narkoba. Orang-orang benar-benar serius panggilan 'bantai mereka semua' yang diucapkan Duterte,” tulis Berehulak.
Baca juga:
Dalam laporan untuk Vice News bulan Desember kemarin, Joanna Humphreys bertemu seorang korban salah sasaran yang selamat dan mengatakan bahwa ada banyak orang yang senasib dengannya namun berakhir dengan kematian. Para kriminal dan pengguna, yang seharusnya diperlakukan sebagai pasien agar bisa lepas dari candu narkotika, dibasmi tanpa ada harapan membela diri di pengadilan.
Humphreys mengutip ulasan The Guardian yang dirilis dua bulan sebelumnya bahwa para saksi di tempat kejadian perkara mendengar teriakan penyesalan dari para pembunuh dari kelompok vigilante bahwa mereka telah menembak mati orang yang keliru. Jika tidak dengan senjata api, pelaku persekusi juga menggunakan senjata lain seperti pisau pemotong daging dan menyerang korban di tempat publik di tengah siang bolong. Mayatnya kadang ditempeli tulisan “pengedar narkoba” dan sebagainya.
Polisi telah menyusun daftar orang-orang yang diburu. Namun, kondisi yang terlalu chaos akibat beredarnya kelompok vigilante membuat perburuan makin tak terkontrol. Siapapun bisa membunuh orang lain dengan tuduhan pengedar atau pemakai narkoba. Kadang ada bumbu alasan pribadi, misalnya balas dendam. Mereka, termasuk anggota kepolisian, tetap melenggang bebas, meski setelah persekusi muncul fakta bahwa korban bukanlah pengedar atau pemakai narkoba.
Beberapa laporan mengungkapkan bahwa dalam sehari bisa ada 10 orang yang terbunuh, akan tetapi tak ada yang benar-benar bisa diverifikasi. Polisi dapat mengandalkan alasan pembelaan diri dan menghindari pertanggungjawaban hukum meski ada dugaan amat kuat bahwa korban persekusi sesungguhnya tak bersalah.
Contoh kasus salah tangkap lain adalah Rowena Tiamson (22), anggota paduan suara yang pada akhir Juli 2016 ditemukan tewas dengan kondisi tangan terikat dan mulut tertutup rapat. Orang tuanya yang putus asa memohon agar mayatnya diperiksa dan kasusnya diusut tuntas, sebab faktanya Tiamson tak ada di daftar pengedar atau pemakai narkoba. Pihak berwenang dipaksa mengakui kekeliruan ini, tetapi tak ada tanggapan berarti dan perburuan jalan terus.
Human Rights Watch (HRW) mencatat 63 kasus korban salah target dalam perang melawan narkoba selama Duterte memimpin Kota Davao. Data lain mengatakan bahwa setidaknya 30 persen dari 2.000 korban persekusi yang dilakukan oleh Davao Death Squad (DDS) adalah korban salah sasaran sebab DDS menggunakan wewenangnya secara serampangan.
Duterte kerap berkata bahwa perangnya menyasar pengedar narkoba kelas berat. Namun, dalam penelusuran HRW yang sering menjadi korban adalah orang-orang dari kalangan kelas bawah. Pada akhirnya banyak yang menilai bahwa perang Duterte ini tak ubahnya sebagaimana perang antar kelas: lewat tangan polisi atau kelompok vigilante, orang-orang kelas atas memburu kaum miskin dan melakukan prosedur salah tangkap bagi kalangan kelas menengah.
Duterte Tiru Petrus, Indonesia Beri Sinyal Tiru Duterte
Sebuah riset yang dilaksanakan oleh Dave McRae dari University of Melbourne pada Rabu (23/8/2917) didapat fakta bahwa kepolisian Indonesia telah membunuh sekitar 49 orang pengedar narkoba dalam enam bulan pertama di tahun 2017.
Angka ini adalah kenaikan yang cukup tajam dibandingkan tahun 2016 dengan 14 pembunuhan dan tahun 2015 dengan 10 pembunuhan. Menariknya, sepertiga dari pembunuhan yang terjadi selama Januari hingga Juni terjadi setelah para tersangka menyerah kepada polisi.
Kondisi ini seakan jadi sinyal bahwa Kepolisian Republik Indonesia akan meniru strategi Duterte dalam memberantas pengedar dan pemakai narkoba sebab bersamaan dengan munculnya serangkaian pernyataan dari petinggi kepolisian RI yang mendukung upaya Duterte.
Pesan yang disampaikan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso (Buwas) sesungguhnya tak konsisten. Pada Oktober 2016 ia menyatakan kesiapannya untuk mengikuti jejak presiden Filipina, Rodrigo Duterte, untuk menembak mati para pengedar narkoba. Namun, dua bulan berikutnya ia menegaskan bahwa metode yang akan ia terapkan berbeda dengan metode Duterte.
Baca juga:
- Anggaran BNN Meningkat, Tersangka Narkoba pun Meningkat
- "Polisi Jangan Diberi Peluang untuk Bermain Narkoba"
Faktanya, Wiranto kemarin berkata bahwa Presiden Duterte pernah mengatakan bahwa metode yang sedang ia jalankan terinspirasi dari Petrus (Penembak Misterius) yang pernah fenomenal dan ditakuti rakyat Indonesia selama periode 1982-1985. Petrus dijalankan oleh rezim Orde Baru dengan visi menurunkan tingkat kriminalitas. Caranya adalah dengan menembaki preman maupun kriminal di tempat terbuka dan meninggalkan mayatnya begitu saja—sebagai pesan bagi para kriminal lainnya.
Sebagaimana catatan The Inquirer, aksi Petrus dimulai pada bulan Agustus 1982 di bawah Kepala Komando Operasional untuk Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) (alm) Soedomo. Operasinya diberi kode “Operasi Clurit”.
Pada Maret 1983 Jenderal Benny Moerdani menggantikan posisinya dan menarget residivis, geng lokal, pemuda pengangguran, dan lain-lain yang dinilai sebagai sumber kejahatan. Beberapa di antaranya bahkan jadi korban hanya karena memiliki tato. Tato dianggap sebagai ciri pelaku kriminal, dan pelaku kriminal mesti dibasmi dengan dihilangkan nyawanya—demikianlah logika operasi Petrus.
Setelah penyelidikan selama empat tahun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan pada tahun 2012 bahwa penembakan Petrus adalah pelanggaran HAM berat karena melibatkan pembunuhan, penyiksaan dan penculikan secara sistematis. Militer Indonesia dan komandan teritorial mereka plus anggota kepolisian adalah eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa dari sedikitnya 2.000 orang, demikian menurut hasil temuan mayat di lapangan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan