Menuju konten utama

Pemerintahan Baru Vigilante Ala Rodrigo Duterte

Rodrigo Duterte memenangi Pemilu Filipina. Mantan Wali Kota Davao ini mengantongi 39 persen suara. Ia akan dilantik jadi pemimpin Filipina pada 30 Juni 2016. Duterte merupakan presiden Filipina yang ke-16. Sosoknya yang keras dan main hakim sendiri menjadikan Duterte sebagai vigilante di Filipina. Ia juga kerap dijuluki sebagai "The Punisher" berkat kebengisannya memberantas para gembong narkoba dan kriminal saat memimpin Kota Davao selama 28 tahun.

Pemerintahan Baru Vigilante Ala Rodrigo Duterte
Rodrigo Duterte (ketiga kiri) berjalan dengan anggota kelompok komunis pemberontak “New People’s Army (NPA)” saat pembebasan lima polisi yang disandera oleh pemberontak selama seminggu, di Davao, Filipina, ANTARA FOTO/REUTERS/Keith Bacongco.

tirto.id - Rodrigo "Digong" Duterte, akhirnya memenangi pemilihan presiden Filipina. Mantan Wali Kota, Davao ini mengantongi 39 persen suara. Dia akan dilantik jadi pemimpin Filipina pada 30 juni mendatang.

Kemenangannya jadi penegas bahwa masyarakat Filipina sekarang tak suka politisi yang basa-basi. Dandanan Duterte jauh dari kata perlente. Lebih memilih memakai kaos polo atau kemeja yang kancingnya terbuka lebar membelah dada. Saat menjadi wali kota dia lebih memilih bekerja memakai motor besar.

Duterte dikenal sebagai sosok yang “ember”. Ucapannya tak bisa dikontrol, ceplas sana ceplos sini. Dia bahkan sempat bergurau tentang pemerkosaan seorang misionaris Australia. Status Filipina sebagai negara penganut katolik ketiga terbanyak di dunia tak membuatnya ciut saat menyebut Paus Fransiskus sebagai anak sundal.

Saat kampanye dia tak segan menghilangkan wibawanya dan tampil layaknya seorang pelawak. “Jika aku menjadi presiden pertama yang berasal dari Mindanao, kalian semua bisa datang mengunjungiku,” kata Duterte saat kampanye di Davao City yang membuat semua orang bertepuk tangan kagum.

“Tapi hanya yang cantik saja yang boleh datang. Yang jelek diam saja di rumah,” semua orang pun terbahak-bahak.

Dia memang selalu melontarkan candaan yang bernada seksis bagi kaum hawa. Anehnya, publik Filipina tak pernah mempermasalahkan itu.

Duterte mengklaim sebagai jelmaan dari Casanova. Untuk menutupi umurnya yang sudah menginjak 71 tahun, dia menyemir rutin rambutnya seminggu sekali agar tetap hitam. Kepada media, ia mengaku memiliki dua istri dan dua pacar. Hal itu diutarakannya tanpa malu-malu. ”Jika Anda ingin saya untuk menjadi Presiden Anda, Anda harus tahu segala sesuatu tentang saya"

“Ini adalah cara membuat orang bahagia ketika mereka melihatku,” katanya kepada Al Jazeera.

“Aku lebih baik kalah pemilu, ketimbang kehilangan karakterku. Karakterku adalah identitasku,” ucapnya blak-blakan.

Keterusterangan Duterte ternyata disukai rakyat Filipina. Tak hanya itu, ia juga disukai karena sikap politiknya yang selalu berusaha menjauh dari pusat kekuasaan di Manila. Saat menjabat sebagai wali kota, ia telah ditawari menjabat menteri dalam negeri oleh presiden Fidel Ramos, Joseph Estrada, Gloria Arroyo, dan Benigno Aquino III. Namun, semua itu ditampiknya. “Saya tak memenuhi syarat,” katanya.

Duterte berhasil menjauh dari pusat kekuasaan Filipina yang selalu saja secara berputar-putar di dinasti politik keluarga Ampatuan, Aquino, Estrada, Marcos, dan Roxas. Negara ini pada hakikatnya adalah sebuah negara oligarki yang menyamar sebagai negara demokrasi.

Hampir 70 persen legislator terkait dengan dinasti politik. Jabatan diturunkan kepada keluarga atau kerabat terdekat. Calon-calon presiden yang maju saat ini memiliki kedekatan dan disokong oleh dinasti yang sempat berkuasa di Manila.

Duterte adalah pengecualian karena itu publik mendukungnya. “Ia dilihat sebagai orang luar di politik nasional yang tidak takut menantang kaum kaya dan kuat. Dan membuatnya populer di tengah masyarakat yang percaya bahwa korupsi privat dan publik adalah inti masalah dalam sistem perpolitikan di Filipina," kata Direktur Program CSIS Pacific Forum, Carl Baker.

Duterte memang tak dekat dengan dinasti-dinasti kuat di Filipina. Namun, bukan berarti dia tak membangun dinastinya sendiri. Bagaimanapun juga dia tetap terjebak dalam politik dinasti yang sudah melekat erat di Filipina. Ayahnya, Vicente Duterte sempat menjabat sebagai Gubernur Provinsi Davao del Sur.

Sebagai orang Indonesia mungkin kita akan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin Duterte bisa memimpin Kota Davao selama 28 tahun, terhitung dari tahun 1988 hingga sekarang?

Pemilihan wali kota di Filipina digelar setiap tiga tahun sekali. Durasi kepemimpinan bisa dilanjutkan hingga tiga periode. Jika ingin melanjutkan kekuasaan si calon harus vakum dulu atau maju di pemilihan sebagai calon wakil wali kota. Inilah yang dilakukan Duterte.

Pada periode 1998-2001, dia memilih memberikan jabatan wali kota kepada Benjamin C. de Guzman yang merupakan kerabat dekatnya. Duterte memilih aktif sebagai anggota DPR. Sedangkan pada periode 2010-2013, jabatan wali kota diberikan kepada Sara Duterte yang merupakan anak kandungnya. Sedangkan dia duduk sebagai wakil wali kota.

Hal ini pula yang membuat lawan-lawan politiknya menghembuskan kepimpinan Duterte akan membawa kediktatoran kembali ke Filipina. Ucapan ini bahkan diungkapkan secara langsung oleh Presiden Benigno Aquino III.

“Slogan yang dia usung adalah ‘tapang at malasakit’ (keberanian dan kasih sayang) mengartikan sebagai diktator yang baik,” katanya dikutip dari Inquirer.

Aquino mengkritisi klaim Duterte yang menyamakan dirinya dengan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew. PM Lee digambarkan sebagai diktator baik hati yang membuat negara mencapai kemakmuran.

“Lee memiliki kebijakan ekonomi dan politik yang jelas. Sebaliknya, Duterte tidak merinci kebijakan apapun selama periode kampanye tiga bulan. Dia hanya mengandalkan pemberitaan bombastis untuk menarik sorakan dari pendukungnya.”

"Kediktatoran? Aku akan menjadi diktator terhadap semua orang yang beniat buruk, orang-orang jahat, kriminal dan bandar narkoba. Ini akan menjadi kondisi yang keras bagi mereka, "kata Duterte di Davao City pada Senin lalu (13/5/2016).

Eksistensi Duterte bagaimanapun juga telah mengancam politikus di Manila dengan rencananya yang ingin mengubah sistem pemerintahan dari unitaris menjadi negara federal. Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di Pulau Mindanao yang notabene selalu diabaikan, Duterte sadar betul akan adanya keharusan pemerataan pembangunan.

Rencana ini tampaknya bukan main-main jika melihat karakternya yang keras kepala. Namun, sikap ini membuatnya bisa bertindak dengan cepat. “Dia hadir di tengah kefrustrasian terhadap pemerintah yang dinilai lamban. Ia menjanjikan aksi cepat," tutur Direktur Eksekutif dari Institut Politik dan Reformasi Pemilu, Ramon Casiple kepada Forbes.

Saat menjabat sebagai Wali kota Davao, Duterte sukses menghipnotis jutaan rakyat dengan solusi instan yang dia lakukan. Masalah besar kota itu yakni kriminal, korupsi, dan peredaran narkoba bisa diatasi dengan cepat.

Duterte dan Davao Death Squad

Untuk melakukan apa yang dirasa benar, Duterte tak segan menjadi seorang vigilante atau sang pengadilan jalanan. Dia punya sejarah hitam atas tindakannya itu.

Sejak tahun 1969, milisi bersenjata Partai Komunis Filipina, New People Army (NPA) berjuang menggulingkan pemerintah diktator Ferdinand Marcos. Mindanao adalah daerah basis NPA, terutama di Davao. Kota ini dikenal sebagai ibu kota pembunuhan di Filipina. Banyak aksi kriminal dan kejahatan baik itu yang berkaitan dengan politik atau tidak terjadi di sana.

Pada tahun 1985, munculah kelompok vigilante anti-komunis di masyarakat sipil bernama Alsa Masa. Mereka bergerak secara sembunyi-sembunyi membunuh para aktivis kiri. Alsa Masa berkembang besar karena metode perekrutan koersif dan pemerasan yang mereka lakukan.

Setiap keluarga wajib menyediakan anggotanya untuk bergabung untuk ikut patroli. Keluarga yang menolak rumahnya akan ditandai. Aksi ini berkembang massif dan tak terkontrol hingga pemerintah membubarkannya. Alsa Masa-pun menghilang pada awal dekade 1990-an.

Duterte lah sosok yang kembali membangkitkan kelompok vigilante di kota Davao dengan nama baru: Davao Death Squad (DDS). Namun, misi yang diberikan berbeda, tak lagi memerangi aktivis kiri pendukung NPA, tetapi menghabisi para pengedar narkoba, bramacorah, dan anak jalanan yang dirasa meresahkan.

Pada Februari 2009, Duterte mengatakan kepada wartawan, "Jika Anda melakukan kegiatan ilegal di kota saya, jika Anda seorang kriminal atau bagian dari sindikat yang memangsa orang-orang yang tidak bersalah kota, selama saya wali kota, Anda adalah target yang sah dari pembunuhan."

Data Human Right Watch (HRW) mencatat setidaknya pada periode pertengahan 90-an hingga 2009, lebih dari 1.000 orang dieksekusi mati oleh DDS. Rata-rata mereka tewas ditembak atau ditikam orang tak dikenal. HRW mengeluarkan laporan panjang berjudul “You Can Die Any Time: Death Squad Killings Mindanao” dan menyingkap kasus ini.

"Sistem peradilan yang ruwet dan tidak efektif" membuat eksekusi jadi jalan praktis untuk menekan kejahatan, sama seperti kasus penembakan misterius di era Soeharto pada dekade 80-an.

Namun, jika Petrus mengadu militer melawan sipil, maka di Kota Davao, sipil diadu dengan sipil. Sebagian besar anggota DDS adalah mantan milisi kiri NPA yang menyerah kepada pemerintah atau bramacorah yang dipaksa menjadi anggota agar dirinya tak jadi sasaran pembunuhan. Anggota DDS pada dekade 2000-an bahkan menyentuh angka 500-an orang.

Aksi mereka selalu didukung oleh kepolisian setempat, terbukti dari senjata Colt Pistol kaliber 45 yang DDS pakai. Senjata ini identik dipakai oleh polisi dan terlalu mahal dipakai oleh pelaku kriminal. Polisi pula yang memberikan daftar-daftar yang meski dieksekusi.

Masalah muncul saat banyak warga tak berdosa jadi korban salah sasaran kelompok ini. HRW melansir ada 63 kasus korban salah target. Hal rumit akan muncul saat sentimen pribadi dijadikan alasan membunuh.

Clarita Alia, punya cerita kelam soal itu. Empat anaknya dibunuh satu demi satu antara Juli 2001 dan April 2007. Penyebabnya, seorang polisi lokal kesal karena Clarita telah mengusir polisi tersebut saat dia memperingatkan putra pertamanya, Richard 18 tahun, akan dibunuh.

"Ok, Anda tidak ingin memberikan anak Anda kepada saya, maka diwaspadai karena anak Anda akan dibunuh, satu per satu!" kata si polisi.

“Saya benar-benar terkejut dia menyebutkan anak-anak lainnya karena mereka hanya anak-anak kecil itu, tapi ia sangat marah karena saya mendorong dia keluar,” ucap Clarita kepada HRW.

Setelah ancaman itu, Christopher Alia, 17, Bobby Alia, 14, Fernando Alia, 15 menyusul sang kakak, mati tragis ditangan DDS.

Meski mengalami kecacatan, Duterte mengklaim Davao City telah mencapai perdamaian dan ketertiban di bawah pemerintahannya. Tapi kenyamanan itu harus dibayar dengan pembunuh yang berkeliaran bebas di jalanan dengan kenyamanan imunitas yang dilindungi oleh negara.

Dalam pertemuan publik pada Februari 2009, Duterte yang menyampaikan pernyataan ke publik cukup keras.

“Apa yang aku inginkan adalah untuk menanamkan rasa takut .... Jika aku mengirim sinyal yang salah, maka aku minta maaf. Tapi kesalahan apa yang aku lakukan? Masalahnya datang jika kita mendapatkan orang yang salah .... aku punya anak. Dan jika Anda memberikan narkoba kepada anak-anakku, aku tidak akan pergi ke polisi dan melaporkan Anda. Apa yang akan kulakukan adalah untuk mengambil pistol dan pergi membunuh Anda.”

Mungkin baru kali pertama di Asia Tenggara, ada calon presiden yang mengaku telah membunuh orang dan dia merasa bangga. Kepada Al Jazeera, Duterte mengakui saat menjabat wali kota pernah membunuh tiga bramacorah dengan tangannya sendiri.

Ironisnya tindakan vigilante ini di Kota Davao dipandang sebagai role model untuk memerangi kejahatan. Aksi pembunuhan misterius pun menyebar di kota-kota terdekat dari General Santos City, Digos City, dan Tagum City di Mindanao serta di Cebu kota di pulau tengah Cebu.

Manila seolah membiarkan tindakan vigilante Duterte. Pada 2003, dia diangkat jadi konsultan presiden Gloria Macapagal Aroyyo dalam bidang perdamaian dan ketertiban.

Saat kampanye lalu publik sempat dibuat geger saat ucapan yang dia lontarkan. "Lupakan tentang HAM. Jika saya menjadi presiden, saya akan melakukan hal sama seperti saat jadi wali kota. Jika Anda bandar narkoba dan lelaki yang tidak berguna, anda sebaiknya pergi. Karena saya akan membunuh Anda. Membuang Anda semua ke Teluk Manila dan memberi makan semua ikan di sana."

Ucapannya itu malah dipuji-puji oleh rakyat. Pro kontra tetap terus bermunculan. Seperti seorang vigilante, dia tetap teguh melakukan apa yang dirasanya benar.

“Aku tak akan berpura-pura jadi pemimpin yang praktis. Aku mengatakan, aku akan jadi lelaki yang mencoba sesuatu dan sukses. Atau lelaki yang mencoba dan dia gagal. Biarkan sejarah yang akan menjadi hakimku,” ujar Duterte percaya diri.

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti