tirto.id - PBB menyebut Filipina adalah negara pemakai narkoba terbanyak di Asia Timur, terutama dalam hal pemakaian obat methamphetamine alias sabu. Hal ini sejalan dengan data pemerintah Amerika Serikat, yang mencatat hampir 2,1 persen warga negara Filipina berumur 16 - 64 tahun adalah pengguna sabu.
Jumlah orang yang terlibat dengan narkoba di Filipina diperkirakan mencapai 6,1 juta orang, atau 6,2 persen dari total keseluruhan populasi yang mencapai 98 juta jiwa. Angka ini memang jauh dari klaim pemerintah yang berkisar 2,1 juta orang. Di Filipina, masalah narkoba sama seriusnya dengan korupsi. Wajar jika sang presiden baru terpilih, Rodrigo Duterte pernah menyebut jika masalah narkoba ini dibiarkan, maka ke depannya Filipina akan jadi "Narco-state"
Ketika Duterte menyatakan perang terhadap narkoba, dia betul-betul dengan ucapannya itu. “Perang” yang diucapkannya bukanlah takrif basa-basi layaknya para elit di negeri ini. “Perang Narkoba” ala Duterte adalah betul-betul yuda yang berakhir dengan kematian, pembantaian, apresiasi dan caci maki.
Tangannya dibasahi darah saat menjabat sebagai walikota Davao. Human Right Watch menyebut tak tanggung 2000 orang kriminal dan pengedar narkoba telah dia jagal selama menjabat sebagai walikota. Tindakan tegas ini membuat Davao jadi kota teraman di Asia Tenggara di bawah Singapura. Padahal sebelumnya Davao adalah kota mencekam layaknya Gotham City di film Batman - dipenuhi para bandit dan sindikat kejahatan. Dalam sekejap Duterte mengubah itu. Duterte sang vigilante, begitulah pujian orang padanya.
Ketika kakek berumur 71 tahun ini memutuskan maju di pemilihan presiden, publik sudah ketar-ketir dibuat takut padanya. Sikapnya yang tegas, keras dan brutal akan dibawa ke ruang lingkup lebih luas: negara.
“Lupakan hak asasi manusia. Jika saya berhasil masuk istana kepresidenan, saya hanya akan melakukan apa yang telah saya lakukan sewaktu menjadi wali kota dulu. Kalian para pecinta narkoba, tukang sembunyi dan tak mau berbuat apa-apa, lebih baik enyah saja kalian. Karena saya akan bunuh kalian. Saya akan buang kalian semua ke Teluk Manila untuk menggemukkan perut ikan-ikan di sana.”
Penjahat mana coba yang tak takut mendengar peringatan ini.
Sejak resmi dilantik pada 30 Juni lalu, genderang peperangan itu benar-benar ditabuhnya. Harian lokal Manila, Daily Inquire mencatat setidaknya 800 orang lebih (dan akan terus bertambah) yang terlibat dengan narkoba telah tewas ditembak sejak Duterte memenangkan pemilu. Angka ini tidak berbeda jauh dengan klaim dari Kepolisian yang menyebut dikisaran 500-an orang. Pembunuhan ini menggasak siapapun: pemadat atau bandar, sipil maupun non-sipil.
Duterte tak sedang membual saat dia membenarkan aksi-aksi pembunuhan ini. Bahkan dia mengajak masyarakat turut serta dalam perburuan ini. "Silahkan hubungi kami, polisi, atau lakukan sendiri jika Anda memiliki pistol," kata Duterte dalam sambutannya, yang disiarkan televisi secara nasional.
“Anda dapat membunuhnya”, ucapnya. “Tembak dia dan saya akan memberikan medali.”
Duterte telah menangkapi 4.400 orang yang diduga terlibat peredaran narkoba. Pihak kepolisian mengklaim 500 ribu orang menyerahkan diri karena takut dibunuh. Klaim ini bisa dipertanyakan kebenarannya. Pasalnya jika merujuk dari data pemerintah terkait pengguna dan pemakai yang berjumlah 2 juta orang, maka berarti hampir seperempat orang yang terlibat narkoba di Filipina saat ini telah menyerahkan diri.
Pembunuhan yang dilakukan Duterte tentu tidak bisa dibenarkan. Mengingat korban salah sasaran pun jumlah tidak sedikit. Saat menerapkan tindakan Brutal ini di Kota Davao, setidaknya hampir 30 persen dari 2.000 orang yang dibunuh tidak terbukti berkaitan dengan sindikat narkoba. Lisensi kebebasan membunuh yang diberikan kepada polisi dan Davao Death Squad (DDS) di gunakan secara serampangan.
Operasi Pembersihan Abdi Negara
Dalam sebuah sindikat kejahatan apapun akan selalu saja ada aparat negara yang terlibat. Filipina adalah negara dengan tingkat korupsi tertinggi di Asia Tenggara, lebih buruk ketimbang kita. Transparansi Internasional menempatkan mereka ada di deretan 95 dari 175 negara. Pada setiap perkongsian narkoba pasti saja ada aparat keamanan yang tersangkut untuk memberi jasa keamanan pada para pengedar. Filipina jamak dengan persekutuan ini.
Badan Ombudsman Filipina, Maret lalu merilis daftar instansi negara yang dilaporkan amat korup. Kepolisian dan Angkatan Bersenjata ada di posisi dua dan tiga, sedang di urutan pertama adalah pemerintah lokal. Jumlah pecandu yang banyak membuat Filipina adalah pasar menguntungkan bagi para bandar. Perputaran uang narkoba di Filipina bisa mencapai triliunan rupiah dalam satu tahun.
Bisnis menguntungkan ini tidak akan langgeng jika tak dibekingi oleh aparat. Keterkaitan inilah membuat Filipina layak disebut sebagai narco-politik. Sadar akan hal ini, upaya pertama Duterte setelah menjabat adalah menakuti para abdi negara.
Seminggu setelah dilantik, dengan berani dia mengumumkan lima polisi berpangkat jenderal yang terlibat sebagai pelindung jaringan mafia perdagangan. Kelima Jenderal yakni adalah Vicente Loot, Bernardo Diaz, Edgardo Tinio, Joel Pagdilao dan Marcelo Garbo. Dua diantaranya adalah purnawirawan. Tudingan Duterte ini amat serius, karena tak tanggung salah satu yang disebut, Marcelo Garbo adalah jenderal berbintang tiga, mantan Wakil Kepala Kepolisian yang barus saja pensiun.
Selang sebulan kemudian, tepatnya 7 Agustus lalu, daftar nama lebih banyak dirilis ke publik. Ada sekitar 158 nama polisi dan tentara yang dituding terlibat perdagangan narkotika di sana .”Semua personel militer dan kepolisian yang terkait dengan orang-orang ini, saya memberi waktu 24 jam untuk melapor ke unit induk kalian atau saya akan menghantam kalian dan memecat kalian,” kata Duterte dalam pidatonya di sebuah kamp militer di kota Davao.
Dalam daftar itu, ada pula nama hakim, walikota, anggota parlemen yang ikut terseret. Pascapengumuman ini puluhan nama yang disebut berbondong-bondong menyerahkan diri ke Polisi. Ada 18 walikota yang secara sukarela datang ke polisi. Mereka datang bukan karena mengiyakan tuduhan Duterte, tetapi karena takut jadi sasaran pembunuhan.“ Polisi akan membunuh saya jika saya tidak menyerahkan diri,” Walikota Albuera, Rolando Espinosa Sr.
"Kabar bahwa nama saya disebutkan oleh Presiden Duterte adalah menyedihkan," ucap Walikota Cebu, Mike Rama dalam akun Facebook-nya. "Saya akan bekerja sama sepenuhnya dengan pihak berwenang untuk segera membersihkan nama saya.”
Tindakan serampangan Duterte ini membuat anak buahnya sendiri pusing tujuh keliling. Kepala Kepolisian Filipina, Ronald Dela Rosa mengakui bahwa pihaknya tidak punya cukup bukti kuat terhadap mereka yang dituduh. Dasar penahanan amatlah tipis.
“Memang benar (bahwa tidak ada cukup bukti terhadap mereka). Tapi apa yang bisa saya lakukan? Presiden memunculkan nama mereka dan mereka datang kepada saya dan menyerah. Saya tidak bisa mengusir mereka ... Jadi sekarang bahwa mereka di sini, kami akan memproses mereka.” Ucapnya kepada CNN.
Banyak tudingan muncul daftar nama yang diumumkan berkaitan dengan persaingan politik. Hal ini dibantah Dela Rosa. Dia mengatakan daftar itu merupakan hasil dari "lokakarya" bikinan komite intelijen termasuk polisi, militer, dan Drug Enforcement Agency Filipina (PDEA).
"(Daftar ini tidak didasarkan pada rumor atau gosip. Ia tidak datang dari orang-orang yang berbisik ke telinga presiden, 'Pak, orang ini adalah lawan politik, yang satu ini tidak mendukung Anda dalam pemilu, sehingga memasukkan dia dalam list ‘... presiden tidaklah sedangkal itu."
Duterte menjanjikan untuk membongkar sindikat gembong narkoba di negaranya. Daftar-daftar nama lain akan dirilis secara bertahap. Dia menjanjikan akan ada pengadilan yang adil. “Mereka harus diproses dengan asas praduga tak bersalah,” kata Duterte.
Yang jadi sebuah pertanyaan adalah jika memang mereka merasa benar, kenapa mereka yang disebut Duterte ini tak ramai-ramai mengunggat presiden dengan tuduhan pencemaran nama baik? Pengotoran nama baik di Filipina masuk dalam ranah pidana dan dibahas dalam KUHP Pasal 353-356.
Sama seperti di Indonesia salah satu poin KUHP tersebut berisikan bahwa tuntutan tidak dapat diproses apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum. Sebagai orang nomor satu di Filipina, Duterte bisa berdalih pengumuman ini demi kepentingan masyarakat luas.
Pada poin lainya tertulis bahwa gugatan itu akan batal jika si tergugat bisa membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkannya terbukti benar. Dan lagi-lagi bagi Duterte yang mengontrol penuh kepolisian dan pengadilan memberikan bukti-bukti keterlibatan nama yang disebut dengan jejaring narkoba tentu tidaklah sukar. Dua hal inilah yang membikin 158 nama tertuduh itu memilih menyerahkan diri atau lari sembunyi, ketimbang harus capai-capai menguggat Duterte di pengadilan.
Terlepas dari tindakan brutalnya yang cenderung melanggar HAM, upaya Duterte memberangus narco-politik di negaranya patut di apresiasi. Setidaknya kakek tua ini berusaha memenuhi janji memerangi narkoba secara ril, bukan perang sebatas slogan dan hanya basa-basi.
Baca selengkapnya
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti