Menuju konten utama
Horizon

Peed Aya: Aktualisasi Kebudayaan Bali lewat Pawai

Sembilan wilayah di Bali menampilkan ciri khas kebudayaannya masing-masing pada gelaran Peed Aya dalam rangkaian Pesta Kesenian Bali 2025. 

Peed Aya: Aktualisasi Kebudayaan Bali lewat Pawai
Tradisi khas Desa Seraya, Kabupaten Karangasem, yang bernama Gebug Ende atau perang rotan yang merupakan tradisi pada penanggalan Sasih Kapat, Niti Mandala, Sabtu (21/06/2025) sore. Tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Tabuhan baleganjur terdengar ketika melintas di sekitar Monumen Bajra Sandhi pada Sabtu (21/06/2025). Saat mendekat, terlihat tribun-tribun yang didirikan di sepanjang jalan raya yang biasanya padat oleh lalu lintas. Warga berbondong-bondong mengambil tempat di tribun dua tingkat tersebut, mencari titik yang pas untuk melihat ke Jalan Raya Puputan Niti Mandala, sebab ajang pawai yang digelar satu tahun sekali di Pulau Dewata akan segera dimulai.

Peed Aya nama pawai tersebut. Gelaran ini selalu hadir untuk mengawali Pesta Kesenian Bali (PKB), sebuah acara budaya tahunan yang dihelat setiap libur anak sekolah. Dalam Peed Aya, setiap kabupaten dan kota di Bali akan menampilkan upacara dan tradisi yang berkaitan dengan siklus hidup manusia: mulai dari kelahiran, tumbuh kembang, hingga kembalinya manusia ke Sang Pencipta.

Prosesi Peed Aya juga disesuaikan dengan tema PKB tahun ini, yakni “Jagat Kerthi Lokahita Samudaya (Harmoni Semesta Raya)” yang merupakan penutup dari rangkaian tema Sad Kerthi yang dimulai pada tahun 2020. Tema ini berarti mewujudkan harmonisnya Bhuana Agung (alam semesta atau makrokosmos) dan Bhuana Alit (tubuh manusia) pada tatanan kehidupan manusia.

Tidak hanya warga lokal yang antusias, para pelancong dari berbagai wilayah di Nusantara dan dunia turut ambil bagian. Misalnya, Nadine (19), yang berasal dari Tangerang. Dia mengaku baru pertama kali menyaksikan prosesi Peed Aya di Bali dan kagum dengan kesenian beserta ciri khas dari masing-masing daerah yang ditampilkan melalui pawai budaya. Senyum terpatri di wajahnya karena pawai selama dua jam tersebut mampu memuaskan ekspektasinya.

“Budayanya masih kental, jadi saya senang. Unik banget, sekarang dapat kesempatan buat nonton sehingga makin melek akan ciri khas dari masing-masing budaya yang ada di Bali,” kata Nadine kepada Tirto seusai menonton Peed Aya, Sabtu (21/06/2025) sore.

Menurut Nadine, anak-anak muda yang ambil bagian dalam Peed Aya tampil antusias untuk memperkenalkan budayanya. Meskipun saat ini zaman sudah berubah dan teknologi datang menggempur, mereka masih ingat dengan budaya sendiri dan ingin melestarikannya. Ia yang merupakan mahasiswi tersebut bahkan ingin kembali menonton Peed Aya di kesempatan berikutnya.

“Anak mudanya bagus karena ikut serta, tampil di masing-masing daerahnya. Semoga seterusnya tetap ada, jadi enggak cuma yang sudah biasa tampil. Semoga PKB ke depannya makin ramai dan terus berkembang,” ucapnya.

Adinda (18) dari Depok juga baru pertama menonton Peed Aya. Gadis yang memiliki darah Bali tersebut mengaku bangga melihat kekayaan budaya yang ditampilkan saat pawai. Senyumnya lebih mengembang lagi ketika melihat banyak warga—seperti dirinya—yang antusias dalam menyaksikan pawai. Dia mengaku sempat kesulitan mendapatkan tempat di tribun penonton karena banyak warga yang menonton pawai dari awal sampai akhir.

“Anak muda di sini masih ingat sama budayanya sendiri. Ini sudah bagus banget,” imbuhnya.

Kota Denpasar

Penampilan budaya dari Kota Denpasar dalam Peed Aya 2025. Arak-arakan menampilkan tradisi dan budaya yang ada di Kota Denpasar, mulai dari ogoh-ogoh hingga sarana upakara, Niti Mandala, Sabtu (21/06/2025) sore. Tirto.id/Sandra Gisela

Kisah dari Sembilan Wilayah di Bali

Lima kali suara kulkul yang dipukul oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, bersambut dengan suara gamelan dari Gong Gede Semar Pegulingan. Setelahnya, penari Tari Siwa Nataraja menghambur masuk, menampilkan garapan berjudul “Meraya Citta Samasta” sebagai pembuka dari rangkaian pawai budaya.

Siwa Nataraja merupakan tarian yang selalu ada setiap gelaran Pesta Kesenian Bali, tetapi tahun ini tampak istimewa karena menggunakan tabuh kreasi baru. Tabuh tersebut hanya menggunakan instrumen pencon, sebuah kelompok gamelan berbahan logam dengan tonjolan di tengah. Keputusan tersebut dinilai sebagai bentuk langkah eksploratif terhadap bunyi, tekstur, dan kekuatan instrumen logam khas Pulau Dewata.

Kabupaten Karangasem yang terletak di timur Bali menjadi pembuka pawai. Mereka memulainya dengan menampilkan barisan pembawa uparengga, perangkat atau sarana suci dalam agama Hindu yang terdiri atas bandrang (tombak), kober (bendera), tedung (payung), dan lelontekan (umbul-umbul). Barisan diikuti dengan penari rejang, sebuah tarian yang identik dengan kabupaten tersebut. Rejang yang ditampilkan pada Peed Aya tahun ini berjudul “Rejang Sri Mesari” yang merupakan ungkapan rasa syukur atas berkah yang dilimpahkan oleh Tuhan.

Gebug Ende atau perang rotan yang berasal dari Desa Seraya juga ditampilkan pada Peed Aya 2025. Tradisi yang kerap ditunggu wisatawan ini diselenggarakan pada penanggalan Sasih Kapat atau sekitar bulan Oktober hingga November. Warga akan berkumpul di ladang menjelang musim tanam untuk melaksanakan Gebug Ende. Pawai Kabupaten Karangasem ditutup dengan atraksi “Jempana Masolah”, menampilkan singgasana bagi dewa yang diusung pada upacara Melasti.

Selanjutnya adalah Kabupaten Jembrana yang terletak di sisi barat Pulau Bali. Mereka menampilkan atraksi dengan tema Jimbarwana (hamparan hutan) yang mengakar dari nama Kabupaten Jembrana. Flora dan fauna yang banyak ditemukan di hutan Kabupaten Jembrana dijelmakan ke dalam bentuk nyata melalui kostum karnaval dan tari-tarian.

Kabupaten Jembrana

Penampilan anak muda dari Kabupaten Jembrana yang mengenakan kostum untuk mewakili keindahan alam dari kabupaten tersebut, Niti Mandala, Sabtu (21/06/2025) sore. Tirto.id/Sandra Gisela

Tari Joged dari Desa Pendem juga ditampilkan dalam deretan pawai. Tari Joged merupakan tari “sosial” bagi masyarakat Bali karena sering ditampilkan untuk menghibur masyarakat pada acara-acara tertentu. Pengiring tari adalah ensambel Bumbung Gebyog yang merupakan alat musik berbahan bambu yang dimainkan dengan cara mengentak bumbung pada papan dan lesung.

Kabupaten Buleleng yang terletak di utara menjadi penampil ketiga dalam urutan pawai. Kabupaten ini mempunyai sebuah pelabuhan tua yang disebut Pabean, sebuah tempat yang plural dan penuh keberagaman. Perpaduan tersebut tampak pada penampilan kesenian khas Bali seperti Janger Menyali dan Boneka Gendong dari Desa Les, serta tradisi Cina seperti Barongsai dari Klenteng Ling Gwan Kiong, dalam satu deret pawai.

Selain akulturasi yang tampak di Kabupaten Buleleng, tradisi Medeeng juga menjadi sorotan. Tradisi tersebut berkaitan dengan upacara Ngaben Utama, ketika keluarga satu trah dari orang yang telah meninggal wajib memberikan penghormatan terakhir kepada tetua yang diaben (diupacarai kematiannya). Peed Aya diikuti dengan replika Rumah Adat Bandung Rangki dari Desa Pedawa dan tradisi memanen nira.

Penampil keempat adalah Kabupaten Bangli. Mereka menampilkan budaya tajen yang merupakan bagian dari ritual keagamaan yang disebut sebagai Tabuh Rah (darah yang diteteskan). Biasanya, upacara Tabuh Rah digunakan untuk menyucikan tempat suci dan menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan roh. Dalam tajen, darah yang ditumpahkan berasal dari ayam jago yang saling diadu.

Di samping itu, Bangli juga menampilkan kisah Maharaja Jaya Pangus yang bertakhta di Bali pada akhir abad ke-13. Raja Jaya Pangus mengambil kebijakan akulturasi budaya antara budaya Bali dengan budaya Cina. Dalam kisah yang beredar di Bangli, pernikahan antara Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie yang merupakan orang Tionghoa membuka dialog antara kedua budaya.

Pawai Badung

Penampilan budaya dari Kabupaten Badung dalam Peed Aya 2025, menyimbolkan keanekaragaman budaya dan keindahan alam yang dimiliki kabupaten tersebut, Niti Mandala, Sabtu (21/06/2025) sore. Tirto.id/Sandra Gisela

Kabupaten Klungkung menyusul di urutan kelima pawai. Pada Peed Aya tahun ini, Klungkung menampilkan pesona abad pertengahan, ketika daerah tersebut masih merupakan pusat kerajaan di Bali. Klungkung sempat mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Gelgel yang berdiri hingga abad ke-16. Fragmen tari “Manunggaling Kaula Gusti” yang dibawakan mengisahkan tentang Ida Dalem Waturenggong, raja keempat Bali yang membawa Kerajaan Gelgel menuju titik teratasnya.

Rudat Kampung Gelgel juga ditampilkan pada pawai dari Kabupaten Klungkung. Penampilan rudat menggambarkan 40 orang prajurit beragama Islam sebagai pengawal Raja Ida Dalam Ketut Semara Kepakisan pada abad ke-14. Prajurit-prajurit tersebut merupakan cikal bakal berkembangnya agama Islam di Bali, serta digambarkan dengan perpaduan tabuh rebana, syair bernuansa Islami, dan gerak silat.

Selanjutnya diikuti dengan Kabupaten Tabanan yang membawakan narasi budaya “Singasana Jaya Mahardika” dengan menonjolkan tradisi pertanian Ngadegang Bhatara Sri sebagai simbol kesuburan dan penghormatan terhadap alam. Pawai tersebut menegaskan kejayaan Tabanan yang dikenal sebagai lumbung pangan di Bali. Tampak para penari membawa gabah dan bakul untuk menggambarkan proses memanen padi.

Tari Baris Memedi yang merupakan warisan budaya Desa Tengkudak juga ditampilkan oleh Kabupaten Tabanan. Tari tersebut erat kaitannya dengan upacara Pitra Yadnya (upacara kepada leluhur), khususnya Ngaben. Dalam Baris Memedi, jumlah penarinya menyimbolkan Dewata Nawa Sanga atau sembilan penjuru arah mata angin. Salah satunya akan menjadi Penamprat yang memiliki fungsi mengusir roh-roh jahat.

Kabupaten Gianyar berada di urutan ketujuh dari Peed Aya. Pawai dari kabupaten tersebut membawakan tiga jenis Tari Legong, yakni Legong Joglo, Legong Lasem, dan Legong Semar Gareng. Tradisi Siat Sambuk yang kerap digelar saat sandikala (sebelum matahari terbenam) Hari Pengerupukan, juga menjadi penampilan Kabupaten Gianyar. Diiringi gamelan, para pasukan yang terbagi menjadi dua saling melempar sambuk yang terbakar.

Kabupaten Badung

Belasan warga negara asing (WNA) tampil dalam pawai budaya mewakili Kabupaten Badung dengan memainkan seruling dan gamelan, Niti Mandala, Sabtu (21/06/2025) sore. Tirto.id/Sandra Gisela

Penampilan kreasi “Singa Ambara Kerta” juga dibawakan oleh Kabupaten Gianyar. Akarnya adalah dari sejarah antara Kerajaan Sukawati dan Kerajaan Mengwi. Kedua kerajaan tersebut pernah terlibat konflik di masa lalu, tetapi berhasil diselesaikan secara damai dengan kesepakatan pembagian wilayah. Wilayah barat Sungai Ayung ditempati oleh Kerajaan Mengwi, sementara wilayah timur merupakan milik Kerajaan Sukawati.

Selanjutnya, Kota Denpasar mengambil urutan kedelapan. Pawai dari satu-satunya kota di Bali ini menyajikan tarian Patopengan. Garapan tari tersebut membawa inspirasi dari banyaknya topeng yang berkembang di Kota Denpasar. Masing-masing topeng melambangkan keberagaman yang tumbuh di pusat kota Bali.

Tradisi Ngerebong dari Desa Kesiman di Denpasar juga ditampilkan dalam Peed Aya. Tradisi tersebut biasanya dilakukan setiap enam bulan dalam penanggalan kalender Bali, yakni pada hari Minggu (Redite Pon) dalam wuku Medangsia. Masyarakat mengawali tradisi Ngerebong dengan bersembahyang di pura, lalu diikuti dengan digelarnya Tabuh Rah berupa tajen.

Penampilan pemungkas dilakukan oleh Kabupaten Badung yang membawakan garapan bertajuk “Perang Untek: Pusaka Agraris Desa Kiadan”. Tradisi ini digelar setiap Purnama Sasih Kapitu dan merupakan ungkapan rasa syukur atas berkah panen. Dalam prosesi tersebut, terjalin hubungan antara purusa (laki-laki) dan pradana (perempuan) dari kegiatan saling melempar untek (bola kecil).

Kabupaten Badung juga melibatkan belasan warga negara asing (WNA) yang ikut menabuh gendang, meniup suling, dan menari tarian khas Bali. Salah satunya adalah Ethan yang berasal dari Nashville, Tennessee, AS, yang merupakan seorang penabuh di barisan pawai. Dia sudah dua tahun belajar memainkan gamelan sebelum tampil di pawai bersama rombongan asal Kabupaten Badung lainnya.

“Saya senang bisa tampil di pawai,” ujarnya.

Fadli Zon

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon (tengah kanan), dan Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa (tengah kiri), menonton Peed Aya (pawai budaya) yang menjadi rangkaian pembuka Pesta Kesenian Bali, Niti Mandala, Sabtu (21/06/2025) sore. Tirto.id/Sandra Gisela

Menampilkan Kekayaan Budaya Bali

Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali, I Gede Arya Sugiartha, mengatakan Peed Aya atau pawai budaya merupakan ajang untuk menampilkan seni, tradisi, kearifan lokal, dan tiruan dari ritual-ritual yang ada di desa adat. Setiap kabupaten dan kota akan menonjolkan satu desa adat di pawainya, misalnya Denpasar yang menonjolkan Desa Kesiman dan Bangli yang mengangkat nama Desa Batur.

Menurut Arya, budaya adalah cara orang Bali berbakti kepada Tuhan. Mereka mempersembahkan tari-tarian, musik, nyanyian, hingga permainan sebagai wujud bakti. Tari Siwa Nataraja, misalnya, melambangkan Dewa Siwa yang membuat alam semesta menjadi harmonis.

“Desa adat di Bali itu punya wilayah, punya anggota, punya kekayaan, punya hukum. Hukum Adat itu ada. Sehingga itu yang kita tampilkan, kita kemas dalam sebuah sajian karya sendiri,” kata Arya ketika ditemui Tirto di Taman Werdhi Budaya, Denpasar, Sabtu (21/06/2025) malam.

Total peserta yang mengikuti Peed Aya adalah 200 hingga 400 orang per kabupaten atau kota. Kabupaten Gianyar menjadi wilayah yang paling banyak mengirimkan seniman, yakni sekitar 400 orang dari berbagai segmen usia. Para seniman tersebut telah berlatih selama 2 sampai 3 bulan untuk tampil di pawai.

Dari sisi pengunjung, sekitar 3.000 orang yang datang menyaksikan pawai tahunan di Provinsi Bali itu. Arya mengatakan, tahun ini menjadi tahun pertama pengadaan tribun di wilayah pawai. Sebelumnya, sisi utara jalan raya untuk tribun pejabat, sementara warga akan berdesakan di sisi selatan. Dengan adanya tribun, menurut Arya, penonton menjadi lebih tertib dalam menyaksikan pawai.

“Saya melihat dari tahun ke tahun itu, kasihan banget. Kebetulan saya usulkan [pengadaan tribun] ke Pak Gubernur, beliau dengan senang hati. Dengan adanya tribun, jadi lebih tertib. Dulu penonton meluber ke jalan, mereka berdesak-desakan karena semua ingin paling depan,” ceritanya.

Melihat antusiasme masyarakat, Arya percaya Pesta Kesenian Bali yang akan digelar mulai 21 Juni hingga 19 Juli tersebut akan ramai dikunjungi. Apalagi, tahun ini terdapat 20.089 seniman yang berasal dari 517 sanggar dan lembaga seni yang berada di berbagai wilayah. Sebanyak 4 negara, yakni India, Kanada, Prancis, dan Aljazair, juga akan menampilkan karya seninya.

“Jadi semuanya tema kita itu bagaimana kita menjaga harmonisasi dunia. Dengan tema itu, kita berharap seniman tidak hanya tampil dengan keindahan dan unsur-unsur seni, tapi juga menikmati makna yang ada di situ. Sekarang ini maknanya kan merawat alam semesta, agar manusia ini hidup harmonis dengan alam,” ungkapnya.

Sementara itu, Gubernur Bali, Wayan Koster, mengatakan rangkaian Pesta Kesenian Bali bermula pada tahun 1978, saat pemerintahan Gubernur Ida Bagus Mantra. Sejak saat itu, Pemerintah Provinsi Bali mempunyai komitmen kuat dan konsisten dalam melestarikan, melindungi, membina, dan memberdayakan kebudayaan.

“Kebudayaan adalah anugerah warisan luhur yang sangat penting dan strategis bagi eksistensi serta kemajuan masyarakat Bali, karena berkontribusi besar terhadap pengembangan nilai-nilai kehidupan, menciptakan daya tarik seni yang kreatif inovatif, dan menjadi sumber berkembangnya pariwisata serta perekonomian masyarakat Bali,” kata Koster saat membuka Pesta Kesenian Bali, Taman Werdhi Budaya, Sabtu (21/06/2025) malam.

Koster menyebut, dalam Pesta Kesenian Bali, terdapat delapan hal yang akan disajikan, yakni pawai, pagelaran, pameran, parade, lomba, lokakarya, sarasehan, dan penghargaan kepada pengabdi seni. Tahun ini, jumlah karya seni yang ditampilkan berjumlah 592 karya, meningkat dari tahun sebelumnya.

“Pidato Bung Karno menyebutkan bahwa kebudayaan adalah jiwa dari bangsa dan itu tidak pernah mati. Ini menjadi pegangan masyarakat Bali yang selalu bersemangat dan konsisten dalam menggeluti kehidupan dengan nilai-nilai budaya tinggi,” tandasnya.

 I Gede Arya Sugiartha

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Gede Arya Sugiartha, ketika diwawancarai menjelang pembukaan Pesta Kesenian Bali, Taman Werdhi Budaya, Sabtu (21/06/2025) malam. Tirto.id/Sandra Gisela

Menbud: Ekspresi Budaya yang Terbaik

Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, baru pertama kali menonton Peed Aya secara langsung di Pulau Dewata. Dia mengaku kagum dengan kekhasan budaya yang ditampilkan oleh setiap kabupaten dan kota dalam pawai megah. Selain itu, dia menyebut masyarakat Bali sudah menjalankan amanat Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 melalui Pesta Kesenian Bali.

“Sebuah acara yang sangat luar biasa. Pesta Kesenian Bali sudah berlangsung terus-menerus selama 47 tahun dan kita bisa menyaksikan bagaimana ekspresi budaya dari semua kabupaten dan kota yang ada di Bali. Ekspresi budaya yang luar biasa, yang terbaik,” kata Fadli Zon, seusai menonton Peed Aya, Sabtu (21/06/2025).

Politikus Partai Gerindra tersebut berharap daerah-daerah lain di Indonesia juga mengembangkan inisiatif serupa dengan menyelenggarakan kegiatan kebudayaan yang bersumber dari kekhasan lokal masing-masing. Dia juga memuji peran anak muda dalam Peed Aya yang merupakan bukti bahwa ekosistem kesenian dan budaya Bali terjaga dari generasi ke generasi.

“Ini tentang bagaimana budaya tidak sekadar menjadi warisan statis, melainkan kekuatan dinamis yang terus hidup, berkembang, dan memberikan identitas, serta semangat bagi masyarakat Bali dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tadi Pak Gubernur mengatakan mungkin DNA-nya orang Bali ini adalah budaya, saya kira ini benar sekali,” imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa, menilai hadirnya Peed Aya dan Pesta Kesenian Bali dapat memberi kontribusi yang nyata bagi pariwisata nasional. Puspa menyebut agenda tahunan di Bali ini sudah masuk ke dalam kalender pariwisata dan Karisma Event Nusantara (KEN) yang dipromosikan oleh Kementerian Pariwisata (Kemenpar).

“PKB ini dilaksanakan di bulan Juni, pas masuk libur anak sekolah. Ini bisa kita lihat, kemarin tiket [pesawat] ke Bali saja penuh, kemudian hotel-hotel juga luar biasa. Kami harap ini bisa mendorong pergerakan wisatawan Nusantara dan juga ini sudah kalender event setiap tahun, jadi wisatawan mancanegara bisa mengagendakan tiap tahun tanggal berapa harus ke Bali untuk menyaksikan PKB,” ucap Puspa setelah menonton Peed Aya.

Puspa menilai, Pekan Kesenian Bali merupakan ruang ekspresi masyarakat, khususnya anak-anak muda, untuk melakukan kegiatan positif berupa kesenian dan kreasi budaya. Bagi Bali, acara ini memberikan perputaran ekonomi yang masif, mencapai angka 192,3 miliar untuk penyelenggaraannya di tahun 2024. Okupansi penginapan di sekitar venue pun meningkat hingga 20 persen.

“Ini (Pekan Kesenian Bali) adalah salah satu hal yang perlu kita apresiasi, support, dukung sama-sama, agar PKB ini terus hadir, tidak hanya didukung pemerintah pusat, pemerintah daerah, tetapi juga oleh masyarakat Bali sendiri. Saya pikir ini ruang yang baik karena akan langsung dirasakan dampak ekonominya,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait PESTA KESENIAN BALI atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Irfan Teguh Pribadi