Menuju konten utama

Ketika Warisan Arsitektur Bali Tergerus oleh Pelanggaran Hukum

Bali sedang menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas arsitektur di tengah modernisasi.

Ketika Warisan Arsitektur Bali Tergerus oleh Pelanggaran Hukum
Arsitektur Desa Wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli yang kental dengan ornamen Bali. Tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Arsitektur di Bali dikenal dengan gayanya yang khas, banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan budaya kuno yang mengakar di tiap elemen desain. Penggunaan bahan-bahan alami, seperti kayu dan batu yang dirancang dalam bentuk seni ukir, sungguh kental dalam bangunan-bangunan lokal. Pembangunan pun dirancang dengan mempertimbangkan faktor iklim dan lingkungan, sehingga tercipta hunian yang sejuk dan nyaman.

Filosofi Asta Kosala Kosali merupakan salah satu prinsip arsitektur yang terkenal. Filosofi tersebut mengandung seperangkat aturan dalam arsitektur Bali yang meliputi delapan aspek, yaitu bentuk, ukuran, letak, arah, susunan, warna, ornamen, dan penggunaan bahan. Dalam filosofi ini, pembangunan sebuah rumah atau tempat ibadah harus mengikuti aturan anatomi tubuh pemilik rumah guna menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara tiga alam.

Kenyataannya, Bali sedang menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas arsitektur tersebut di tengah modernisasi. Fenomena modernisasi ini lantas diperparah oleh kehadiran arsitek asing yang bekerja secara ilegal di Bali. Indikasi utamanya adalah banyaknya bangunan yang tidak sesuai dengan pakem, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Arsitektur Bali.

“Itu (Peraturan Daerah) sudah mulai dilanggar. Mungkin ketidaktahuan orang luar, bahwa kita punya peraturan arsitektur Bali yang harus diikuti. Jadi, saya khawatirnya wajah arsitektur Bali itu lama kelamaan akan menghilang, akan berubah. Sedangkan, kita tahu sendiri bahwa turis datang, salah satunya karena melihat keunikan dari arsitektur Bali itu,” ucap Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Bali, I Wayan Agus Novi Darmawan ketika dihubungi oleh Tirto, Senin (28/04/2025).

Menurut Agus, gaya arsitektur khas Eropa, seperti dari Yunani, kerap dibawa mentah-mentah ke Pulau Dewata. Gaya arsitektur dari Eropa cenderung menggunakan atap datar dengan penggunaan kaca-kaca yang transparan. Dia menyebut gaya arsitektur tersebut tidak cocok digunakan di Bali yang beriklim tropis, memiliki curah hujan dengan intensitas tinggi, serta matahari yang cukup terik.

Selain itu, Agus mengatakan bahwa Bali memiliki identitas yang sangat kuat, yakni dengan anatomi dan ornamen-ornamennya. Arsitektur asing yang dibawa masuk ke Bali menyebabkan banyak bangunan yang meninggalkan kaidah dan prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali yang sudah mengakar sejak zaman nenek moyang.

“Harapan kita, kalau kita foto di depan arsitektur Bali, sudah ketahuan tanpa bilang kalau ini di Bali. Nah, kalau sekarang banyak sekali bermunculan bangunan-bangunan yang di luar pakem itu. Saya concern bukan hanya ke praktiknya, tetapi ke produk arsitekturnya,” ungkapnya.

Praktik arsitek asing memang marak sejak zaman dahulu. Agus melihat banyaknya arsitek asing yang turut berkarya di Indonesia. Namun, arsitek tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya Bali.

“Banyak arsitek asing yang memang berpraktik dari tahun 80-an, tetapi karyanya memang menyesuaikan dengan lingkungan Bali. Sekarang, yang menjadi concern bahwa arsitektur sudah sangat berkembang, mulai meninggalkan pakem-pakem atau prinsip arsitektur tradisional Bali,” kata Agus.

Menjamurnya Arsitek Asing Ilegal di Tengah Bali

Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali mencatat bahwa hanya empat perusahaan konsultan arsitek asing yang terdaftar secara resmi di Bali. Agus mengatakan, arsitek yang secara legal berpraktik di Bali merupakan para arsitek yang sudah dilengkapi dengan Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA), berdasarkan pedoman Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek dan PP Nomor 15 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek.

Warga negara asing yang melakukan praktik arsitek secara ilegal di Bali terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah warga negara asing yang teregistrasi sebagai arsitek di negaranya, tetapi belum teregistrasi di Indonesia. Arsitek tersebut datang ke Indonesia untuk berpraktik berdasarkan permintaan badan usaha, kebutuhan usaha asing, atau permintaan dari rekan arsitek lokal.

“Jadi kita perlu arsitek yang memang mungkin belum ada di Indonesia. Lalu, ada arsitek kita yang mau rekanan sama arsitek asing. Itu masih boleh begitu, tetapi mereka harus memiliki izin sesuai dengan perundang-undangan ketenagakerjaan asing. Ketika dia berpraktik di Indonesia, dia harus meregistrasikan dirinya ke Dewan Arsitek Indonesia,” jelas Agus.

Kelompok arsitek yang kedua adalah yang benar-benar ilegal, tidak memiliki lisensi atau izin untuk melakukan praktik arsitek, baik di negaranya atau di Indonesia. Selain itu, Agus mengungkap, terdapat temuan dari sosial media bahwa banyak arsitek asing yang menjual diri memakai bahasa dari negaranya dan mengeklaim diri sebagai arsitek terbaik.

“Sebenarnya di etika kita berprofesi sebagai arsitek di Indonesia, itu tidak diperbolehkan menyanjung diri seperti itu. Itu sudah menyalahi aturan,” tambahnya.

Menjamurnya arsitek ilegal di Bali menyebabkan muncul bangunan-bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan zonanya, seperti dibangun di sawah yang dilindungi tanpa persetujuan bangunan gedung (PBG). Tidak teregistrasinya arsitek-arsitek tersebut menyebabkan Ikatan Arsitek Indonesia sulit melakukan pembinaan dan pengontrolan.

“Kita merasa bahwa takutnya identitas dan tata ruang kita jadi kacau, tidak bisa dikontrol lagi. Karena ketika satu pihak membangun, pihak lain juga akan membangun, akhirnya berjamurlah karena ikut membangun di zona yang tidak diizinkan dengan alasan sudah ada yang membangun sebelumnya. Kawasan ini cepat sekali berkembangnya dengan sesuatu yang salah dibiarkan,” jelas Agus.

Selain itu, Agus menyebut banyaknya arsitek ilegal tersebut akan menyebabkan kompetisi yang tidak sehat antara arsitek lokal dan asing. Terlebih terdapat oknum-oknum turis asing yang tidak memiliki visa bekerja di Indonesia, tetapi membuat usaha penginapan dan disewakan kepada teman-teman dari negaranya.

“Mereka bukan sebagai turis, tetapi ikut sebagai pengusaha. Ini akan menjadi dampak yang tidak baik karena usaha-usaha dari saudara-saudara kita di Bali ini terdampak. Mereka ikut menjadi kompetitor,” kata Agus.

News Plus Desa Wisata Penglipuran

Arsitektur Desa Wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli yang kental dengan ornamen Bali. Tirto.id/Sandra Gisela

Dosen Departemen Arsitektur Universitas Warmadewa, I Nyoman Gede Maha Putra, mengungkap bahwa praktik arsitek asing merupakan konsekuensi dari dibukanya investasi asing di bidang jasa konstruksi, khususnya di bidang properti. Dia mengungkap bahwa Bali menjadi tempat dengan pengembalian modal (return on investment) yang relatif tinggi di dunia.

“Hal ini mengakibatkan banyak investor global yang datang dan mengadu peruntungannya di bidang ini. Investor ini menyasar market orang asing, tidak menjual kepada orang lokal. Mereka membentuk semacam aliansi dengan arsitek yang juga berasal dari negara asal atau arsitek berkebangsaan asing. Bisa jadi, ini juga diakibatkan oleh masalah komunikasi. Mereka lebih mudah berkomunikasi dengan arsitek dan calon pembeli properti dengan kultur yang sama,” jelas Gede kepada Tirto, Selasa (29/04/2025).

Embrio dari praktik arsitek asing di Bali adalah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yakni pada saat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1 Orde Baru. Bali ditetapkan sebagai pusat pengembangan pariwisata Indonesia Bagian Tengah, sehingga orang mulai tertarik membangun bisnis properti yang berkaitan dengan bidang kepariwisataan.

Kondisi Bali yang belum memiliki arsitek profesional membuka pintu bagi masuknya arsitek asing. Arsitek asing tersebut mempraktikkan desain-desain yang memiliki pendekatan lokal yang kuat karena budaya dan tradisi yang mengakar kuat di Bali. Gede berpendapat bahwa latar belakang budaya Bali jugalah yang digunakan para arsitek dan investor yang menjadi klien untuk meraup pelanggan.

“Banyak yang berargumen bahwa ini karena arsitek asing memiliki sensitivitas budaya yang kuat. Bagi saya, ini hanya sekadar bisnis. Karena masa itu orang tertarik ke Bali karena budayanya, jadi sangat logical jika para arsitek dan kliennya yang juga orang asing menggunakan latar belakang ini untuk mendukung bisnis propertinya di Bali,” bebernya.

Pasar properti yang sedang bertumbuh dewasa ini mengundang banyak pemain asing. Menurut Gede, dalam praktik-praktik yang melibatkan investor, arsitek dan pasar orang asing ini dapat mengeksklusi praktisi lokal dan menyebabkan pemain lokal kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi atau memperoleh keuntungan ekonomi dari daerahnya sendiri.

“Ada banyak kerugian yang diderita, terutama oleh arsitek lokal dan masyarakat Bali secara umum, di mana tempat mereka hanya dijadikan ladang mengeruk keuntungan orang asing,” ucapnya.

Gede membandingkan Bali tahun 1990-an yang masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan arsitektur lokalnya, dengan masa kini yang menjadi lahan bagi banyak eksperimen arsitektur dengan tujuan meraup keuntungan ekonomi. Banyak wujud-wujud arsitektur yang dinilai seolah-olah hanya merupakan uji coba pasar.

“Jika berhasil secara ekonomi, maka akan dilanjutkan, tidak peduli apakah ia memiliki sensitivitas lokal yang baik atau tidak. Jika gagal, maka akan menjadi sampah fisik yang ada di Pulau Bali selama bangunan itu berdiri,” kata Gede.

Langkah yang Harus Ditempuh

Agus menggarisbawahi dua hal, yakni pembenahan terhadap arsitek dan arsitekturnya. Dari segi arsitek, tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi Ikatan Arsitek Indonesia dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali agar mengimbau arsitek asing untuk melakukan registrasi di Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker).

“Jadi kita punya data, seberapa besar arsitek luar yang memang berpraktik di Indonesia. Mereka harus mendaftarkan dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku di Disnaker,” terang Agus.

Sementara itu, Agus berharap terdapat aksi tegas terhadap bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Arsitektur Bali. Bangunan tersebut dapat disegel sementara hingga dapat mengikuti aturan bangunan yang ada di Bali.

“Sebenarnya, sekarang dengan adanya sertifikat layak fungsi itu, sudah sistem yang cukup bagus, jadi bisa mengontrol. Berbeda ketika di zaman izin mendirikan bangunan (IMB) dulu, banyak dataset yang kurang sesuai. Mungkin hal-hal ini yang perlu pengawasan lebih lanjut agar arsitektur Bali punya identitas yang kuat,” ucapnya.

Sementara itu, Gede dari Universitas Warmadewa memandang bahwa upaya mengelola ekosistem bisnis properti di Bali baru digiatkan dalam 2 hingga 3 tahun belakangan ini. Dalam tata kelola ekosistem bisnis properti, Gede memandang ada empat hal yang harus diperhatikan.

Pertama, adalah tentang siapa yang harus melakukan penatakelolaan atau pihak yang harus bertanggung jawab. Kedua, apa saja yang harus diatur dalam karya arsitektur, seperti luas lahan, ukuran bangunan, dan faktor-faktor estetika. Ketiga adalah soal perangkat atau tools yang dibutuhkan untuk melakukan pengaturan, seperti mekanisme, instrumen, dan pemilihan pendekatan. Terakhir, mengenai dampak atau outcome yang diharapkan dari pengaturan tersebut.

“Keempat kerangka kerja ini harus dipikirkan dengan matang sehingga sering membutuhkan proses politik yang lama. Sayangnya, investasi tidak bisa menunggu. Mereka akan terus berjalan,” ungkap Gede.

Gede juga melihat banyaknya celah yang membuat praktik arsitektur di Bali cukup memprihatinkan dan melahirkan karya-karya yang memiliki kualitas kurang baik. Hal tersebut dinilai cukup berbahaya bagi Bali yang memiliki sumber daya yang terbatas.

“Jika praktik-praktik ilegal ini tidak ditindak, bisa jadi Bali akan kehilangan daya tariknya bagi wisatawan dan investor, lalu penduduknya akan mengalami penurunan kualitas hidup,” jelasnya.

Gapura Handara

Gapura Handara Buleleng. foto/IStockphoto

Dari sisi Pemerintah Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali, mengungkap bahwa pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan Ikatan Arsitektur Indonesia dan melakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi praktik-praktik ilegal di bidang arsitektur. Proses pengawasan dan pemeriksaan terhadap tenaga kerja asing yang berpraktik di Bali juga melibatkan dinas-dinas di tingkat kabupaten tempat perusahaan tersebut beroperasi.

“Secara berkala kami menyampaikan data tenaga kerja asing (TKA), baik yang memperpanjang atau tidak ke Tim Pengawasan Orang Asing (POA) Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), sehingga menjadi data awal bagi tim,” ucap Setiawan kepada Tirto, Selasa (29/04/2025).

Setiawan menambahkan, temuan praktik ilegal akan dilaporkan lebih lanjut oleh Disnaker Provinsi Bali kepada instansi yang berwenang, seperti imigrasi, melalui Kesbangpol. Disnaker sendiri juga menerima laporan atau informasi dari masyarakat apabila terdapat warga negara asing yang melanggar.

Sementara itu, Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, menilai bahwa perubahan terhadap kondisi arsitektur di Bali dapat berpengaruh kepada angka kunjungan wisatawan, terutama wisatawan asing. Apabila ciri khas arsitektur lokal Bali menjadi pudar, maka wisatawan pun urung berkunjung ke Pulau Dewata.

“Bangunan itu juga ada regulasinya terkait dengan Bali. Dampaknya tentu wisatawan berkurang. Keunikan Bali adalah budayanya, baik itu dari sisi tari-tariannya, adatnya, termasuk juga dengan bangunannya. Satu kesatuan ini, sehingga memang harus dipertahankan,” kata Pemayun kepada Tirto, Senin (28/04/2025).

Dalam sektor pariwisata, Pemayun mengatakan bahwa bangunan seperti hotel dan restoran condong dibangun dengan gaya yang lebih modern, tetapi masih menggabungkan ornamen arsitektur Bali.

Namun, dia melihat bentuk-bentuk arsitektur lokal memang sudah berkurang di wilayah perkotaan untuk menyesuaikan zaman. Padahal seharusnya izin-izin dalam pendirian bangunan juga mensyaratkan penggunaan arsitektur atau ornamen Bali.

“Kalau di pedesaan, masih. Kalau di kota memang ada beberapa yang sudah berubah. Di beberapa titik-titik sudah berubah karena seiring dengan perubahan kebutuhan ekonomi juga, seperti ruko. Itu juga ruko seharusnya bisa pakai style Bali. Harusnya izin-izin itu dilengkapi, termasuk salah satunya adalah bagaimana menjaga bangunan itu bentuknya ornamen Bali,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait BALI atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News Plus
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang