tirto.id - Puluhan orang berpakaian adat Bali mulai datang dari berbagai sisi, memasuki halaman depan sebuah bangunan tradisional yang tampak sudah cukup dimakan usia. Pandangan mereka mengarah ke angkul-angkul (pintu masuk rumah khas Bali) yang sepenuhnya terbuat dari bata merah, diapit penjor (tiang bambu tinggi dan melengkung) di kanan dan kirinya.
Sekilas, arsitektur luarnya memang tampak seperti pura tempat umat Hindu beribadah. Namun, ketika sudah berada di dalam, tidak ada sesajen yang ditemukan. Alih-alih, sepanjang mata menyorot, ada banyak unsur bernuansa kristiani yang menghiasi sudut-sudut bangunan. Sebuah salib menyembul dari balik pintu di belakang altar, diapit dengan dua payung bermotif khas Bali. Uniknya, payung-payung tersebut mengikuti warna kode liturgi yang saat itu diusung.
Menoleh ke atas, tampak relief berbahan batu padas yang terinspirasi dari perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridnya. Yesus digambarkan memakai udeng (ikat kepala) dan duduk di tengah, berhadapan dengan dulang (wadah lingkaran) yang berisi makanan.
Di bawah relief tersebut, terukir tulisan aksara Bali yang berbunyi penggalan Injil: “ene anggan Manira, ene rah Manira” (inilah tubuh-Ku, inilah darah-Ku).
Begitulah kentalnya budaya yang tidak lekas tanggal dari Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus yang terletak di Desa Adat Tuka, Kecamatan Kuta Utara.
Leluhur jemaat yang ada di sana memang dahulu memeluk Hindu. Namun, sejak penyebaran ajaran Katolik yang dimulai pada 1930-an, satu per satu dari mereka memilih dibaptis dan menjadi umat Nasrani. Saat ini, kontras dengan desa-desa di Pulau Dewata lainnya, mayoritas masyarakat yang bermukim di Desa Adat Tuka menganut Katolik.
“Kita tahu bahwa mayoritas memang di Bali ini adalah Hindu dan sudah melekat. Kalau orang mendengar Bali, berarti Hindu. Namun, di kampung yang kecil ini bertumbuh dan berkembang gereja Katolik,” kata Romo Paskalis Nyoman Widastra ketika ditemui Tirto usai misa Minggu Adven, Minggu (22/12/2024).
Pastor Paroki Tritunggal Maha Kudus yang berdarah Bali ini lantas menyebut Tuka selayaknya Betlehem dalam kisah kelahiran Yesus. Meskipun terletak jauh dari Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, Tuka mampu melahirkan gelombang penganut Katolik pertama di Pulau Dewata pada tahun 1936. Tepatnya, setelah dua orang warga Bali—I Wayan Dibloeg dan I Made Bronong—dibaptis ke dalam pangkuan gereja.
Pan (Bapak) Dibloeg dan Pan Bronong mulai menghayati iman Katolik semenjak bertemu Pastor J. Kertsen yang telah masuk ke wilayah Denpasar. Mereka menjual kitab suci dalam bahasa Bali yang berjudul “Orti Rahayu Manut Pangrencanaan Dane Lukas (Kabar Gembira Karangan Lukas)” kepada sang pastor. Tepat setelah itu, diskusi-diskusi mengenai Katolik dan Protestan sontak mekar di kalangan umat.
“Dari yang kecil inilah kemudian tumbuh, ibaratnya seperti biji sesawi. Dari tempat ini kemudian berkembang Katolik ke daerah-daerah yang ada di sekitar Tuka ini. Kira-kira pada awal tahun 1940, juga melalui bantuan Frater Simon Bois atau misionaris pendahulu, Katolik mulai menyebar ke Bali bagian barat, ke Palasari,” jelasnya.
Pada tahun yang sama, setelah meminta izin dari Belanda dan Raja Bali yang berkuasa pada saat itu, terjadi transmigrasi lokal yang dilakukan oleh 18 kepala keluarga dari Tuka menuju Palasari. Para penguasa setuju dengan permintaan tersebut, sebab mereka ingin orang Katolik pergi jauh dari desanya masing-masing agar tidak menimbulkan masalah sosiologis. Namun, justru karena izin tersebut, Katolik menjadi makin subur.
“Karena perpindahan mereka itulah kemudian ada tempat-tempat, seperti bangunan gereja, bangunan sekolah, klinik, kemudian ada seminari,” ungkap Romo Paskalis.
Mengerucut pada Kecamatan Kuta Utara sendiri, total empat gereja telah tumbuh akibat penyebaran agama Katolik. Romo Paskalis menyebutnya sebagai Catur Bakul atau empat gereja yang masih mempertahankan kekhasan lokal.
Keempatnya adalah Paroki Tritunggal Maha Kudus Tuka, Paroki Roh Kudus Babakan, Paroki Santa Theresia Tangeb, dan Paroki Santo Paulus Kulibul.
“Itu (Catur Bakul) wilayah komunitas orang Bali Katolik, walaupun memang ada keberagaman. Di Tuka, ada 6 lingkungan (kelompok gereja) yang mayoritasnya adalah orang Bali. Total umat yang terakhir itu sekitar 2.635 jumlahnya, separuhnya orang Bali,” ucapnya.
Inkulturasi Budaya di Tuka Saat Natal
Kala kaki menjejak Paroki Tritunggal Maha Kudus, hal pertama yang tersorot pandangan adalah arsitekturnya yang unik. Gereja yang berusia lebih dari 70 tahun tersebut masih mempertahankan fasadnya yang lawas, beserta unsur-unsur budaya Bali lainnya. Menurut Romo Paskalis, bangunan gereja merujuk pada konsep Tri Mandala, peraturan tentang pembagian ruang dan zona, yang umumnya digunakan untuk membangun pura.
“Bangunan gereja kita pun filosofinya adalah filosofi kita sebagai orang Bali. Merujuk pada konsep Tri Mandala, ada jaba, madya, dan utama. Utamanya itu altar, madyanya umat, sedangkan yang jaba ada di luar,” terangnya.
Berdasarkan pedoman Tri Mandala itu pula, salib utama gereja amat disakralkan. Letaknya tersembunyi di balik pintu yang hanya dibuka menjelang misa dan hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu. Sementara itu, bangku umat ditata dengan mengadopsi konsep wantilan (balai kegiatan masyarakat) dengan harapan tercipta harmoni dari umat segala penjuru yang sama-sama hendak memuja Tuhan.
“Konsep ini yang dipakai oleh pendiri gereja, supaya kita orang Bali tidak asing dengan cara kita memuji, memuliakan Tuhan, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya Bali harus kita ikut sertakan dalam peribadatan kita,” ucap Romo Paskalis.
Di samping rupa gereja yang terwariskan berpuluh-puluh tahun lamanya, Paroki Tritunggal Maha Kudus juga memanfaatkan simbol-simbol khas Bali. Sehari sebelum ibadah malam Natal dilangsungkan, masyarakat Desa Adat Tuka mulai mendirikan penjor di depan rumahnya, layaknya yang umat Hindu lakukan ketika Galungan dan Kuningan.
Romo Paskalis turut sempat menyebut bahwa akan ada gebogan (persembahan yang disusun menyerupai gunung) yang dirancang umat. Secara garis besar, susunan gebogan milik Paroki Tritunggal Maha Kudus mirip dengan gebogan pada umumnya, tetapi dilengkapi dengan bentuk tanda salib dari susunan buah di tengah-tengahnya.
Filosofinya, menurut pastor kelahiran Palasari itu, adalah keseimbangan Tri Loka (tiga alam), yaitu bhur (alam bawah), bhuvah (alam tengah), dan svah (alam dewata). Ketiga alam tersebut dijelmakan ke dalam persembahan diri manusia itu sendiri, mulai dari ujung kepala hingga kaki.
“Sama seperti umat Hindu yang ada persembahan, kita juga orang Katolik tidak lepas dari persembahan kita. Selain dari Tuhan mempersembahkan dirinya, kita mengimbangi juga dengan persembahan dari bunga, buah, dan apa saja yang bisa kita berikan,” bebernya.
Tokoh umat Paroki Tritunggal Maha Kudus, Nyoman Aloysius, turut bercerita tentang rutinitas umat menjelang hari Natal yang mirip dengan pemeluk agama Hindu. Sehari sebelum Natal, mereka merayakan Penampahan Natal dengan kegiatan menyembelih hewan untuk beragam olahan sajian. Umumnya, hewan yang disembelih adalah babi.
“Kami sebagai orang Bali, dulu ekonomi enggak bagus-bagus amat. Paling kita baru menikmati makanan yang enak menjelang hari raya. Karena itulah, sebelum hari raya, potong (hewan) dulu,” ucap Nyoman ditemui Tirto di Sekretariat Paroki Tritunggal Maha Kudus, Minggu (22/12/2024).
Dalam masyarakat, menurut Nyoman, mereka membentuk suatu komunitas yang disebut Pemaksan Katolik, beranggotakan bapak-bapak beragama Katolik. Kepala rumah tangga dalam satu keluarga Katolik diharuskan bergabung ke dalam Pemaksan, lalu dipungut iuran setiap bulannya. Hasil iuran tersebut akan dimanfaatkan untuk kegiatan Natal, seperti nampah (menyembelih daging) tersebut.
Sehari setelah Natal, warga Desa Adat Tuka pun merayakan Umanis Natal. Pada hari tersebut, umat akan kembali berbondong-bondong memasuki gereja untuk mengikuti misa Natal kedua sekaligus Pesta Santo Stefanus sebagai martir pertama gereja Katolik yang dirayakan pada 26 Desember.
“Biasanya gereja enggak ada yang namanya Natal kedua. Namun, kami di sini akan mengatakan tanggal 26 itu Umanis Natal. Itu tetap kebaktian, masih dalam misa seperti misa Natal, hanya mengikuti liturgi yang ada untuk sabdanya,” kata Nyoman.
Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Bali
Potret Desa Adat Tuka dan Paroki Tritunggal Maha Kudus bisa dikatakan unik, sebab budaya Bali terinkulturasi begitu kental ke dalam peribadatan masyarakat. Di Bali sendiri, Nyoman mengatakan, masih ada stereotipe yang melabeli bahwa Bali adalah Hindu, terutama apabila seseorang memandang bahwa kebudayaan sama dengan agama.
“Namun, kami melihat kebudayaan itu dari bagian lain. Di dalam kebudayaan itu ada agama. Kalau orang meragukan kebalian kami dalam konteks budaya, belum tentu kami lemah dalam hal menghargai budaya Bali. Boleh jadi kami sangat setia, tetapi iman kami Katolik,” tegas Nyoman.
Lebih lanjut, Nyoman menilai terdapat pandangan yang keliru tentang kebudayaan, yakni apabila diberi makna terlalu kaku sebagaimana yang didefinisikan dalam buku teks. Pendapatnya, kebudayaan adalah hidup yang mengikuti kepantasan di suatu tempat, seperti di Bali.
“Maka, kami ajak anak-anak di sini untuk mengerti apa kepantasan hidupnya orang Bali. Kami mengajak anak-anak latihan gamelan. Dengan mereka latihan itu, mereka akan mengerti nilai-nilai kepantasan di Bali,” katanya.
Antusiasme masyarakat pun tidak main-main dalam menyambut hari raya, seperti Natal di tahun ini. Dari sudut pandang Nyoman, semangat masyarakat Desa Adat Tuka dalam menyambut Natal sungguh tinggi, terlihat dari penuhnya gereja dengan orang-orang yang berlatih demi memenuhi panggilan tugas liturgi di misa-misa Natal.
“Persiapan menyambut Natal juga ada dibuatkan Novena Natal. Di sana, lumayan juga umat yang hadir. Jadi, saya rasa, umat pun menyiapkan diri dengan khusus untuk menyambut Natal,” kata dia.
Senada dengan Nyoman, Romo Paskalis menyatakan budaya yang Desa Adat Tuka terapkan adalah salah satu bentuk iman. Menurutnya, budaya Bali harus tetap ada karena merupakan jati diri seseorang yang berdarah Bali. Oleh sebab itu, budaya digunakan sebagai sarana beradaptasi dan berinkulturasi.
“Dapat dikatakan, melalui budaya itu kita juga bisa mengekspresikan iman kita kepada Tuhan. Bagaimanapun juga, orang Bali harus mempunyai cara bagaimana kita menyembah Tuhan sebagai orang Bali yang beragama Katolik,” tutupnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Bayu Septianto