Menuju konten utama
Horizon

Kisah Warga Desa Punggul Mengolah Sampah Jadi Produk Kerajinan

Keberhasilan Desa Punggul di Badung dalam mengelola sampah tak lepas dari konsistensi warganya yang bahu-membahu menyelesaikan masalah sampahnya sendiri.

Kisah Warga Desa Punggul Mengolah Sampah Jadi Produk Kerajinan
Karya seni yang dirancang oleh Yayasan Punggul Hijau dengan menggunakan hasil olahan sampah plastik yang dipajang di Kantor DPD PDI Perjuangan Bali, Selasa (06/05/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Kerajinan tangan masyarakat Bali menjadi salah satu hal yang kerap membekas di ingatan para wisatawan, contohnya ukiran tradisional. Karya tersebut awalnya banyak digunakan di rumah-rumah dan tempat suci, tetapi kemudian turut menjadi cendera mata.

Biasanya ukiran Bali terbuat dari kayu jati, kayu cempaka, atau batu padas. Bahan-bahan tersebut dibentuk menyerupai bunga, daun, dan buah, yang mayoritas berbentuk cekung. Kesenian ukir Bali secara umum dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit yang mengambil bentuk pewayangan, seperti kisah Ramayana dan Mahabharata.

Namun, di Desa Panggul, Kecamatan Abiansemal, yang terletak di sisi utara Kabupaten Badung, Bali, warganya merancang patung dari sampah plastik. Selain patung sampah plastik juga mereka olah menjadi hiasan dinding, topeng, suvenir, dan karya kreatif lainnya.

Desa yang menaungi lima banjar tersebut dikenal dengan konsep "sampah desa tuntas di desa", yang berarti segala sampah di Desa Punggul akan dikelola oleh desa tersebut secara intensif.

Sampah organik diubah menjadi kompos, sementara sampah yang sukar diolah menjadi produk kerajinan tangan atau didaur ulang.

Usaha itu berbuah manis. Pada tahun 2021, Desa Punggul mendapatkan penghargaan Bhakti Pertiwi Bali Nugraha dari Gubernur Bali, Wayan Koster. Bersama dengan tiga desa lainnya yang juga mendapatkan penghargaan, Desa Punggul dinilai sukses melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber, sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 47 Tahun 2019.

Warsa 2023, Desa Punggul sempat mendapat atensi dari Kantor Staf Presiden yang mendorong desa-desa di Indonesia untuk mencontoh pola penanganan dan pengelolaan sampah di desa tersebut. Desa Panggul dianggap contoh sukses Desa Program Komunitas Iklim (ProKlim) yang merupakan program pengembangan Balai Pengendalian dan Perubahan Iklim (PPI), Kementerian Lingkungan Hidup, untuk mengendalikan perubahan iklim di tingkat dasar.

Berawal dari Sampah di Pintu Masuk Desa

Ketua Yayasan Budaya Bali Punggul Hijau, I Gusti Nyoman Jelantik, menceritakan bahwa awal mulanya tidak tebersit dalam benaknya untuk mengolah sampah. Dulu, yayasan tersebut malah hendak digunakan untuk membuat taman kanak-kanak (TK) di Desa Punggul. Namun, pada tahun 2016, mereka melihat permasalahan sampah di Bali makin mengkhawatirkan, sehingga memutuskan untuk belajar tentang pengolahan sampah.

Saat itu pula, masyarakat merasa prihatin dengan kondisi pintu masuk Desa Punggul yang seolah-olah dijadikan tempat pembuangan sampah liar. Tidak hanya beberapa warga desa yang membuang sampah di sana, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga luar desa. Warga Desa Punggul pun pernah menangkap pembuang sampah dari luar yang sengaja membuang sampah di tempat tersebut.

"Kami pelajari bagaimana sampah itu sampai ke laut. Dari sana, kami ketemu dengan orang asing, di situlah kami belajar. Karena sampah-sampah yang menumpuk semua muaranya ke laut. Dengan edukasi yang diberikan oleh orang asing tersebut, kami harus memutar otak dalam artian bagaimana sampah di desa itu bisa tuntas di desa," terang Jelantik kepada Tirto ketika mengunjungi display di Kantor DPD PDI Perjuangan Bali, Selasa (06/05/2025).

Warga Desa Punggul

Salah satu warga Desa Punggul memamerkan hasil karya dari sampah plastik yang dirancang oleh pengrajin desa tersebut. Kantor DPD PDI Perjuangan Bali, Selasa (06/05/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Pelajaran dari orang asing tersebut lantas diterapkan dengan membentuk TPS 3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle) Punggul Hijau pada tahun 2018. Yayasan Punggul Hijau yang menjadi pengelola TPS 3R, sementara pihak desa menyiapkan sarana dan prasarana, serta tenaga kebersihan yang mengangkut sampah dari rumah warga.

Awalnya warga sempat pesimistis karena dianggap menimbulkan bau dan mengundang lalat, tetapi kekhawatiran tersebut sirna setelah Desa Punggul mulai berkarya. Mereka mulai memanfaatkan limbah plastik menjadi produk kerajinan.

"Kami pelajari perkembangan teknologi. Tentang teknologi bagaimana tata kelola sampah yang benar. Masing-masing sampah punya mesinnya tersendiri. Sampah organik, mesinnya ada. Sampah anorganik, juga ada mesinnya. Setelah kami tahu mesin itu, dengan mudah kami mengolah sampah," katanya.

Tahun 2020 merupakan tahun dimulainya Desa Punggul menggunakan mesin pengolahan sampah bernama Reborn Stove. Mesin tersebut dirancang sendiri oleh warga Desa Punggul dengan workshop yang terletak di Denpasar.

Jelantik mengatakan mesin pengolah sampah plastik hendak diproduksi dalam jumlah besar untuk dijual kepada desa-desa lainnya yang ingin mencoba mengolah sampah plastik. Ada tiga tipe yang dirancang, yaitu tipe 5 kilogram, 15 kilogram, dan 1 ton per jam. Mesin itu pun tidak perlu dihidupkan setiap harinya, cukup ketika ada sampah dalam jumlah banyak.

"Mesin ini mendapat juara 1 di tingkat Kabupaten Badung, juga inovasi terbaik untuk tingkat Provinsi Bali di tahun 2023 kemarin. Kami sebenarnya ingin memproduksi mesin untuk desa-desa yang lain, untuk berbagi. Karena di desa lain belum bisa menuntaskan sampah plastiknya, sehingga kami hadir untuk mencetak beberapa mesin," jelas Jelantik.

Dalam prosesnya, setelah sampah dimasukkan ke dalam mesin, sampah lantas dibakar hingga menjadi semacam tepung karbon. Dari 5 kilogram sampah, mesin Reborn Stove dapat menghasilkan 1 kilogram tepung karbon. Jelantik menerangkan bahwa proses pembakaran akan berlangsung selama 2 jam, dilanjutkan dengan proses mencetak dari campuran tepung karbon dan resin selama 15 menit.

"Untuk mencetak ukiran yang ukuran kecil, dua gram tepung karbon sudah cukup. Nanti akan dicampur dengan resin. Kami jual ini Rp100.000 hingga hiasan dinding mencapai Rp1.500.000. Ini lebih kuat dibandingkan kayu, tidak akan pernah keropos, tidak akan dimakan rayap," bebernya.

Desa Punggul dapat memproduksi sekitar 6.400 kilogram sampah per warga, apabila dihitung dua kilogram sampah dikali 3.200 penduduk dewasa. Untuk menangani sampah-sampah tersebut, Yayasan Punggul Hijau memberdayakan 5 orang orang Desa Punggul untuk menjadi pengolah dan pengrajin.

Mereka hanya bekerja ketika mendapat pesanan, biasanya untuk produk rumah tangga, hadiah ulang tahun, dan plakat wisuda universitas. Kerajinan khas Desa Punggul juga sampai hingga ke telinga para wisatawan asing.

"Orang asing sangat tertarik. Orang asing cenderung membeli recycle atau karya setelah daur ulang," tambahnya.

Mengolah Sampah Berbasis Sumber

Sebelum Kadek Sukarma menjadi Kepala Desa Punggul, permasalahan sampah di desanya sudah mengakar luas. Banyak anggota masyarakat yang membuang sampah sembarangan, hingga muncul titik-titik pembuangan sampah liar. Maka, setelah dilantik menjadi Kepala Desa Punggul, Sukarma langsung bekerja sama dengan lembaga dan masyarakat untuk mengentaskan masalah sampah.

Pada 2014, tahun pertama Sukarma menjabat, dia mulai melakukan pengelolaan sampah secara bertahap. Penyediaan fasilitas berupa TPS 3R dan sarana pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga mulai digencarkan, ditambah dengan edukasi dan memberikan peringatan kepada masyarakat desa. Seiring waktu, masyarakat Desa Punggul mulai sadar akan pentingnya menangani sampah.

"Kami bisa selesaikan di desa, baik dari sisi sampah organiknya, plastiknya, maupun residu yang ada. Kalau residu itu dihancurkan, dibakar, tapi ada tungku khusus yang kami pakai. Asap yang keluar seperti embun, bukan asap hitam yang mengepul. Tepung yang dihasilkan dari proses ini akan dicetak," kata Sukarma kepada Tirto di Kantor DPD PDI Perjuangan Bali, Selasa (06/05/2025).

Mesin pengolahan Reborn Stove

Mesin pengolahan Reborn Stove yang digunakan Desa Punggul untuk membakar sampah anorganik menjadi tepung karbon. Tepung tersebut digunakan sebagai bahan dasar kerajinan tangan. Kantor DPD PDI Perjuangan Bali, Selasa (06/05/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Masyarakat Desa Punggul awalnya sempat menduga bahwa proses pengelolaan sampah akan mengeluarkan uang ekstra. Namun, Sukarma berhasil meyakinkan bahwa pengelolaan sampah dapat dilakukan gratis, asalkan sampah sudah dipilah dari tingkat rumah tangga. Jika sampah tersebut tidak dipilah, pihak desa tidak akan melayaninya.

Selain pembakaran sampah menggunakan Reborn Stove, program andalan Desa Punggul dalam mengentaskan sampah adalah Tong Edan (Ekonomis, Dinamis, dan Andal). Tong tersebut dirancang untuk mengelola sampah berbau yang sempat menjadi masalah besar. Sampah berbau umumnya berasal dari dapur, seperti sisa makanan dan potongan sayur.

"Setiap dapur kami akan pasang ini (Tong Edan). Semua sampah sisa yang organik, apalagi dicacah kecil-kecil, akan cepat sekali prosesnya. Masukkan ke tong itu, semprot cairan liang (cairan khusus untuk menguraikan sampah organik), tutup lagi. Lakukan itu setiap hari. Ini tergantung volume sampah. Kalau banyak punya sampah, nanti akan cepat bisa panennya,” jelas Sukarma.

Hasil akhir dari Tong Edan adalah pupuk padat dan cair yang dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman di pekarangan warga. Menurut Sukarma, penggunaan Tong Edan sudah merata di semua dapur Desa Punggul sejak tahun 2015. Pengurus Desa Punggul berinisiatif membagikan tong agar warga dapat guna bersama-sama memulai gerakan pelestarian lingkungan.

"Kalau sekarang, Tong Edan itu BUMDes yang jual. Jadi sekarang ini dijual dengan harga Rp900.000, sudah termasuk cairannya. Bahkan bukunya kami punya, komposisi Tong Edan dan cairannya juga ada di sana (dalam buku),” ungkapnya.

Meskipun sudah dinyatakan berhasil mengolah sampah berbasis sumber, Sukarma mengatakan proses pengolahan sampah belum 100 persen dilakukan. Warga pendatang di Desa Punggul, terutama yang baru menikah dengan warga setempat, masih memerlukan edukasi tentang pengolahan sampah.

"Kami harus membangun sampah yang lebih representatif lagi. Tentunya, pengembangan terus kami lakukan, apalagi sekarang ini kami rencananya punya konsep di desa kami bangun tempat itu (pengolahan sampah) di tempat yang cukup luas. Namun, sampai saat ini, kami masih mohon lahan milik provinsi. Kalau diizinkan, lahan tersebut bisa dimanfaatkan untuk tempat pengolahan sampah terpadu (TPST),” beber Sukarma.

Kadek Sukarma

Kepala Desa Punggul, Kadek Sukarma, ketika diwawancarai usai acara talkshow ‘Lingkungan Bersih, UMKM Tumbuh: Gerakan Muda untuk Ekonomi Hijau’ yang digelar di Kantor DPD PDI Perjuangan Bali, Selasa (06/05/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Ia mengatakan nilai ekonomi dari hasil pengolahan sampah memang tidak signifikan karena tidak [bisa diandalkan sebagai] pendapatan asli daerah (PAD). Pengolahan sampah yang dilakukan Desa Punggul hanya karena sampah adalah permasalahan yang harus dituntaskan.

"Kalau hitung-hitung keuntungan, tipis sekali. Karena yang penting sampah sudah diselesaikan, kemudian dijadikan barang yang punya nilai, saya sudah merasa bersyukur," imbuhnya.

Sampah di Desa Punggul diambil setiap Selasa. Petugas kebersihan desa berkeliling sambil membawa armada, lalu mengambil sampah plastik dari depan rumah warga. Sampah-sampah tersebut lantas dikumpulkan dan bermuara di TPS 3R. Jika jumlahnya memadai, pihak Yayasan Punggul Hijau akan segeera membuat produk. Jika tidak, mereka akan menunggu sampai Selasa berikutnya.

"Kalau hari Jumat, mereka jemput selain plastik, lalu diproses di TPS 3R. Kami tidak ada penumpukan. Sampah datang hari ini, selesai hari ini, kecuali plastik. Karena plastik itu prosesnya harus sekaligus banyak," kata Sukarma.

Salah satu penduduk Desa Punggul yang berpartisipasi di Yayasan Punggul Hijau merupakan seorang difabel tunawicara. Dia mempunyai keahlian melakukan finishing, pengukiran, dan pengecatan terhadap produk hasil pengolahan sampah.

"Kami berdayakan beliau biar tidak berkecil hati, punya semangat," ucapnya.

Sukarma mengungkapkan bahwa konsistensi menjadi rahasia Desa Punggul hingga mampu mengolah sampah mandiri. Tidak hanya perangkat desa, tetapi seluruh lembaga dan komponen masyarakat Desa Punggul. Menurut Sukarma, lembaga Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang paling terlibat langsung karena mereka pelaku dominan di rumah tangga.

"Tidak ada istilah hangat-hangat tahi ayam. Kami bergerak terus secara kontinu. Jangan sekadar bergerak, kemudian didiamkan. Sudah, nanti kembali ke nol lagi, makanya harus gencar. Kami, lembaga semua bergerak,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - Horizon
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Irfan Teguh Pribadi