tirto.id - Melihat masifnya demonstrasi di berbagai belahan dunia, pemerintah Indonesia melalui Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Arrmanatha Nasir, mengimbau kepada seluruh WNI di luar negeri agar mengelit dari urusan politik negara tempat mereka bermukim. Ia menegaskan, WNI yang bekerja dan menempuh studi di mancanegara wajib fokus pada tujuan utamanya serta menghindari segala bentuk “social unrest” dan politik lokal demi keselamatan pribadi.
Yang paling utama jadi perhatian adalah aksi massa di Nepal. Bagai lautan awan menghitam, demonstrasi yang diinisiasi oleh Gen Z itu menyalak laksana guntur sebelum badai. Situasi ricuh, vandalisme tak terelakkan, dan bahkan merenggut puluhan korban jiwa akibat timah panas polisi.
Demonstrasi Nepal merupakan akumulasi kemuakan terhadap pejabat parlemen, kesenjangan ekonomi, serta blokade medsos sejak Kamis (4/9/2025). Ironisnya, meski larangan medsos dicabut, kobaran protes tak juga padam. Justru Perdana Menteri (PM) KP Sharma Oli yang akhirnya mundur di bawah tekanan massa.
Demonstrasi besar pecah juga di Timor Leste. Lebih dari seribu siswa di Dili memblokade area parlemen. Mereka menyatakan penolakan dan protesnya atas pembelian mobil dinas baru bagi anggota DPR di tengah krisis ekonomi masyarakat setempat.
Unjuk rasa juga menyelimuti Filipina. Masyarakat menolak proyek pengendalian banjir bernilai miliaran peso yang dituding sarat korupsi. Walau relatif damai, rencana demonstrasi besar di Rizal Park pada 21 September 2025 membuat pemerintah menaikkan status siaga militer di seluruh negeri.
Dari Asia, riuh aksi massa berdentang hingga seberang benua, mengguncang stabilitas negara dan pemerintahannya.
Di Australia, ribuan warga Melbourne, Sydney, Brisbane, Adelaide, dan Hobart, turun ke jalan menuntut pengusutan korupsi, penolakan ongkos hidup tinggi, protes anti-rasisme, hingga solidaritas Palestina. Aksi ini bergerak sporadis sejak awal September, memaksa aparat menggunakan semprotan merica untuk membubarkan kerumunan.
Titik-titik api terus-menerus bermunculan. Di Prancis, para demonstran berhasil memaksa PM Francois Bayrou mundur dari jabatannya. Hal serupa juga terjadi di Turki, ketika massa aksi menuntun Presiden Recep Tayyip Erdogan turun dari kursi kekuasaannya. Bahkan, di Thailand, Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dipecat oleh Mahkamah Konstitusi.
Aksi-aksi besar di berbagai belahan Bumi itulah yang menjadi dasar yang membuat pemerintah Indonesia melarang keterlibatan WNI terhadap politik di negeri orang. Utamanya, ia menyoroti kericuhan di Nepal yang membuat 74 WNI dievakuasi pulang. Evakuasi semacam itu mencerminkan kekhawatiran Wamenlu bahwa warga negara rentan terjebak dalam konflik politik yang bukan urusan mereka.
Jejak Perjuangan WNI di Negeri Orang
Jika menengok lembar sejarah, yang terjadi justru kebalikannya. Orang-orang yang lahir dan besar di bawah kolonial Hindia Belanda kala itu tak tinggal diam melihat ketertindasan dan ketidakadilan di negeri lain, terutama ketika mereka singgah di negara tersebut.
Pada 1930-an, Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda—awalnya bernama Indische Vereeniging—menjelma menjadi barisan perlawanan melawan fasisme Nazi. Saat akses komunikasi diblokade dan mahasiswa Indonesia terisolasi, mereka merakit koran-koran bawah tanah, melindungi korban (Yahudi), serta menggalang solidaritas antar-ras dan antikolonialisme dalam situasi Eropa yang dilanda Perang Dunia.
Sejumlah aktivis PI, termasuk Parlindoengan Loebis, R. M. Sidartawan, dan Djajeng Pratomo, berani menghadapi kerja paksa di kamp konsentrasi Dachau dan Amersfoort hingga wafat dalam kurungan Nazi.
Seolah tak kenal takut, aktivis lain juga terus melakukan perlawanan dengan cara berbeda, termasuk mengoperasikan mesin stensil untuk menerbitkan buletin ilegal “Fuiten”.
Mereka rela bertaruh nyawa demi meneriakkan kabar kebenaran. Irawan Soejono, misalnya, mati ditembak Gestapo (polisi rahasia) Nazi pada 13 Januari 1945 karena melarikan mesin stensil untuk mencetak materi propaganda. Kisahnya diabadikan oleh Lodewijk Kallenberg dalam buku Henk van Bevrijding Verzetheld van Indonesische Afkomst - Irawan Soejono 1920-1945 (2016).
PI menyadari bahwa harkat kemanusiaan hanya mungkin dipertahankan bila kolonialisme dan fasisme dilawan bersama, merajut persahabatan lintas bangsa. Sebab, pada gilirannya, hal itu juga akan berpengaruh terhadap upaya menggapai Indonesia merdeka.
“Waktu fasisme mulai menongolkan kepalanya pada tahun-tahun '30-an, orang-orang Indonesia telah menyadari bahwa dari sudut itulah akan datang bahaya besar yang mengancam,” tulis Djajeng Pratomo dalam makalah “Orang-orang Indonesia dan Gerakan Perlawanan di Nederland”.
“Ini dibuktikan oleh diktatur-diktatur fasis di berbagai negeri dengan rencana-rencananya yang agresif, kebencian ras, dan penindasan atas tiap hak manusia. Negara-negara yang agresif ini menaruh hasrat tamaknya pada negeri-negeri koloni,” tambahnya.
Bukan hanya di Belanda, delegasi PI dan Sarekat Rakyat/PKI juga unjuk gigi di Brussel, Belgia, melalui kongres “Liga Anti-Imperialisme dan Penindasan Nasional” tanggal 10 Februari 1927. Sebanyak 157 orang dari 37 negara berkumpul untuk membahas persoalan penjajahan negara dunia ketiga.
PI mengirim lima orang delegasi: Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Taroenamihardja, dan Abdul Manaf. Sementara itu, Sarekat Rakyat/PKI mengirimkan Semaoen sebagai utusan.
Delegasi PI dan Sarekat Rakyat/PKI mengusung resolusi mendesak Belanda mencabut hukuman mati dan amnesti bagi tahanan politik Indonesia. Hatta bahkan duduk di presidium kongres, sebagai bukti pengakuan internasional atas kepemimpinan pergerakan anti-kolonial Indonesia.
Buku terbitan Cambridge University Press bertajuk Herald of a Failed Revolt: Mohammad Hatta in Brussels, 1927 (2025) mencatat, siaran Hatta ke komite eksekutif liga memberi jaringan politik luas sekaligus memperkuat legitimasi perjuangan kemerdekaan Indonesia di mata dunia.
Para pelajar PI juga membentuk jaringan dukungan finansial, menyalurkan kiriman dana dari tanah air yang kerap terhambat pembatasan Belanda. Front perjuangan ini membuktikan bahwa solidaritas politis jauh lebih kuat daripada sekadar janji netralitas akademik.
Selain PI, ada pula Indische Partij, serikat yang dibentuk di Delft pada Agustus 1912 oleh Tiga Serangkai (Sutan Sjahrir, Ernest F. E. Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo). Indische Partij di tanah rantau mampu menggugah rasa persatuan menentang kolonialisme.
Pamflet-pamflet ditebarkan, bermuatan kritik tajam terhadap kolonial. Artikel Soewardi alias Ki Hadjar Dewantara berjudul “Als ik een Nederlander was” menggemakan kabar perlawanan dari Jawa melintas samudra ke kampus Leiden dan Rotterdam. Kendatipun dalam sekejap pemerintah Hindia Belanda melarang organisasinya, gema tuntutan persamaan hak tak pernah padam.
Masalah di Balik Anjuran untuk Diam
Seruan resmi dari pemerintah agar WNI cenderung diam dan tak ikut campur masalah politik negeri orang menimbulkan polemik.
Menurut Prayogi R. Saputra, Direktur X-Institute, sebagaimana dikutip dari Radius, “Kalimat ‘diam itu emas’ sering kali digunakan untuk membungkam mereka yang sebenarnya paling terdampak.”
Diam dapat menjadi pilihan bijaksana jikalau seseorang dapat mengendalikan atau berhak atas kuasanya. Akan tetapi bagi rakyat yang ditindas, diam justru merupakan bentuk kekalahan psikologis yang diromantisisme.
“Banyak warga yang sebenarnya ingin bicara, tapi takut dicap pembuat gaduh. Maka mereka belajar untuk sabar, bukan karena tabah, tapi karena lelah tak pernah didengar,” tambahnya.
Dalam teori "False Consciousness" ala Karl Marx dan Friedrich Engels, masyarakat sengaja dikonstruksi agar percaya bahwa pasrah dan diam adalah bentuk kebajikan.
Dalam konteksnya, marxisme mengkritik proletariat yang tanpa sadar “salah” dalam memahami posisinya dalam struktur masyarakat yang sistematis. Hal tersebut akan menjadi rancu dalam pemahaman soal hubungan sosial-produksi di bawah kapitalisme. Karena itulah teori itu disebut "kesadaran palsu".
Kalau dibandingkan, laku tokoh kiwari amat jauh berkebalikan dengan yang dilakukan para nasionalis di era perjuangan kemerdekaan. Para pejuang kemerdekaan, termasuk Mohammad Hatta sebagai salah satu tokoh "Bapak Bangsa", tak jarang menggaungkan kritik tentang kolonialisme dan fasisme di negeri seberang. Di sisi lain, pemerintah saat ini justru mengimbau agar WNI di luar negeri "fokus belajar dan bekerja", tanpa ikut campur urusan politik di negara tempatnya singgah.
Padahal, situasi yang terjadi tak jauh berbeda antara dulu dan kini. Pada zaman prakemerdekaan, di Belanda dan Belgia, para tokoh Indonesia melawan fasisme Nazi dan imperialisme. Kiwari, beberapa diaspora berpeluang melakukan perjuangan yang sama, entah di Nepal, Timor Leste, Filipina, Australia, ataupun di Prancis.
Sebagaimana diafirmasi oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo, “... bahwa negara kita dan kondisi situasi dinamika global saat ini sedang tidak baik-baik saja.”
Lebih dari sekadar desingan kata heroik, gejolak tanah air maupun di negara lain memantik pertanyaan: siapakah kita di panggung dunia yang sedang bergolak?
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































