tirto.id - Rencana pemerintah untuk menunjuk platform loka pasar (e-commerce) sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan para merchant memicu reaksi keras di media sosial.
Akun Instagram Menteri Keuangan Sri Mulyani ramai diserbu komentar pedagang online yang mengaku khawatir kebijakan ini bakal menambah beban usaha mereka. Banyak dari mereka merasa sudah terbebani oleh potongan dari platform, sementara keuntungan terus menyusut di tengah lesunya daya beli masyarakat.
Menanggapi sorotan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan segera memberikan klarifikasi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk pungutan baru, melainkan perubahan mekanisme pemungutan agar lebih praktis dan efisien.
Ke depannya, pajak tidak lagi harus dibayarkan langsung oleh pedagang, melainkan akan dipotong otomatis oleh platform tempat mereka berjualan. Ia juga memastikan bahwa pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta tetap dikecualikan dari pungutan ini.
"Tujuan utama ketentuan ini adalah untuk menciptakan keadilan dan kemudahan. Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antar pelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru," jelas Rosmauli dalam keterangan resminya, Kamis (26/6/2025).
Penolakan terhadap kebijakan pajak digital bukan kali ini saja terjadi. Enam tahun lalu, respons serupa muncul ketika Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 yang rencananya berlaku mulai April 2019. Kala itu, simpang siur informasi soal pemajakan e-commerce membuat pemerintah memilih untuk mencabut beleid tersebut demi meredam kegelisahan pelaku UMKM yang khawatir terdorong keluar dari platform digital.
"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya," ungkap Sri Mulyani saat itu.
Namun, pencabutan aturan ini tak luput dari kritik. Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, menilai langkah tersebut justru menimbulkan diskriminasi pemungutan pajak terhadap pelaku usaha konvensional seperti ritel langsung (direct selling), yang sudah memiliki tata cara perpajakan tersendiri. Menurutnya, e-commerce selama ini termasuk dalam kategori shadow economy, yakni kegiatan usaha yang belum sepenuhnya terjangkau oleh sistem perpajakan.
Sementara itu, Yustinus Prastowo—yang saat itu menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)—menilai pencabutan beleid merugikan pemerintah. Sebab, salah satu tujuan dari kebijakan itu sebenarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi pelaku e-commerce dalam memenuhi kewajiban pajak mereka.
Ia menekankan bahwa masih banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang belum patuh terhadap kewajiban perpajakan, meski tarif pajak telah diturunkan dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Bahkan, tak sedikit UKM beromzet di atas Rp4,8 miliar di marketplace yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Padahal, dengan penghasilan sebesar itu, pelaku usaha tersebut seharusnya sudah memiliki kesadaran untuk tercatat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Temuan serupa juga terlihat dalam survei yang dilakukan oleh DJP pada 2014. Dari 1.600 pelaku e-commerce yang dijadikan sampel, 600 di antaranya belum teridentifikasi, sedangkan 1.000 sisanya telah tercatat sebagai pelaku usaha daring. Dari jumlah itu, hanya sekitar 620 yang sudah memiliki NPWP. Sebagian besar dari mereka memang telah melaporkan kewajiban pajaknya, meskipun belum tentu sesuai dengan transaksi sebenarnya yang terjadi.
Tak heran, ketika kini pemerintah ingin memulai pemberlakuan pungutan PPh pelaku perdagangan elektronik, dukungan pun datang dari kalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) salah satunya. Suryadi Sasmita, Sekretaris Dewan Pertimbangan Apindo, menyebut kebijakan ini merupakan bentuk penyesuaian terhadap perkembangan model bisnis digital.Lagi pula, di era digitalisasi dan implementasi sistem inti perpajakan (Coretax), peningkatan transparansi data adalah keniscayaan dan pemerintah memiliki akses terhadap informasi pelaku usaha yang belum sepenuhnya patuh.
Di samping itu, penerapan PPh final sebesar 0,5 persen untuk pedagang online juga sejalan dengan ketentuan PPh final UMKM yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022. "Oleh karena itu, kami mengajak para pelaku usaha online untuk mendukung penuh kebijakan ini. Mari kita bersama menciptakan iklim usaha yang adil, sehat, dan berkelanjutan," tuturnya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6/2025).
Isu terkait transparansi dan kepatuhan pajak dalam sektor perdagangan digital telah lama menjadi perhatian utama pemerintah. Hal ini tidak lepas dari pergeseran perilaku belanja masyarakat yang kini lebih banyak bertransaksi lewat platform online seperti Shopee dan Tokopedia, dibandingkan toko fisik.
Namun demikian, upaya pemungutan pajak di sektor ekonomi digital yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2020 belum berjalan optimal. Hingga kini, pemerintah baru mampu menerapkan mekanisme PPN untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), sementara penerapan PPh PMSE maupun Pajak Transaksi Elektronik (PTE) masih terhambat akibat belum adanya regulasi teknis yang memadai.
Padahal, di berbagai negara, pungutan semacam ini sudah menjadi praktik lazim, meski mekanisme dan tarifnya berbeda. Di Inggris, misalnya, layanan seperti search engine, media sosial, dan online marketplace dengan omzet minimal 25 juta pound sterling dikenakan pajak digital sebesar 2 persen sejak April 2020. Sementara di Malaysia, perdagangan jasa digital dengan omzet lebih dari 120 ribu dolar AS dikenai pajak sebesar 6 persen.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mengatakan bahwa skala ekonomi digital yang sangat besar dapat menghadirkan ruang baru dalam penggalian potensi pajak. Pada tahun 2024, nilai transaksi penjualan di platform Shopee dan Tokopedia saja diproyeksikan mencapai Rp563 triliun.
Jika dikombinasikan dengan transaksi dari marketplace lainnya, totalnya diperkirakan bisa melampaui Rp1.000 triliun pada 2025. Dengan asumsi tarif pemungutan hanya 1 persen, potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp10 triliun per tahun. "Dengan demikian, pengenaan PPh khusus untuk e-commerce melalui marketplace akan efektif menambah penerimaan negara," ungkapnya saat dihubungi Tirto.
Hal senada disampaikan pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), Fajry Akbar. Mengacu pada laporan eConomy SEA 2024 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, ia mencatat bahwa Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital Indonesia diperkirakan tumbuh dari 80 miliar dolar AS pada 2023 menjadi 90 miliar dolar AS pada 2024, dan terus meningkat hingga 360 miliar dolar AS atau sekitar Rp5.680 triliun pada 2030.
Dari angka itu, sekitar 72 persen berasal dari sektor e-commerce, utamanya marketplace, dan sebagian besar melibatkan transaksi UMKM. Menurutnya, potensi fiskal yang bisa digali dari sektor ini sangat besar, sekaligus dapat mendorong perluasan basis pajak secara sistematis.
"Selama tidak bersifat final, mereka yang sudah patuh tidak akan terkena beban tambahan. Tapi dengan penunjukan marketplace sebagai pemungut, pelaku usaha yang belum teridentifikasi bisa masuk ke sistem," ujarnya.
Meski demikian, asosiasi industri e-commerce menyampaikan catatan kritis atas kebijakan yang tengah disiapkan DJP. Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, meminta pemerintah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini.
Sebab, jutaan pelaku UMKM digital akan terdampak langsung oleh aturan ini, sehingga perlu ada persiapan matang dari sisi sistem, infrastruktur teknis platform, hingga sosialisasi kepada para pedagang. "Karena itu, penting bagi kami sebagai ekosistem untuk memastikan kesiapan sistem, dukungan teknis, serta komunikasi yang memadai kepada para seller," kata dia kepada Tirto, Kamis (26/6/2025).
Menurutnya, efektivitas kebijakan ini hanya bisa dicapai bila dijalankan secara kolaboratif, terencana, dan tidak mengganggu ruang tumbuh ekosistem digital. Pasalnya, pemungutan pajak oleh platform e-commerce kepada penjual orang pribadi dengan omzet tertentu, hanya akan efektif untuk mengerek penerimaan negara apabila dilakukan secara kolaboratif, terencana, dan inklusif.
Ini juga perlu dilakukan agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional. "Apapun kebijakan dari pemerintah, kami tentu akan patuh dan siap menjalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan bagian dari komitmen kami sebagai pelaku industri e-commerce dalam mendukung ekosistem yang sehat dan berkelanjutan," tutup Budi.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































