Menuju konten utama

Di Balik Keputusan Sri Mulyani Batalkan Aturan Pajak e-Commerce

Pencabutan aturan pajak e-commerce dinilai sebagai langkah pemerintah yang ingin menghindari penggiringan opini lantaran kebijakan ini termasuk isu yang sensitif.

Di Balik Keputusan Sri Mulyani Batalkan Aturan Pajak e-Commerce
Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kiri) bersama Wakil Menteri Mardiasmo (Kanan) menyampaikan paparan dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (15/11/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya menarik peraturan yang mengatur soal ketentuan pajak atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce.

Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 210/PMK.010/2018 [PDF] itu didasarkan pada alasan kesimpangsiuran informasi yang dikhawatirkan bakal membuat para pelaku UMKM enggan berdagang melalui platform marketplace.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pencabutan tersebut sebenarnya merugikan pemerintah. Sebab, salah satu tujuan yang hendak dicapai lewat implementasi beleid itu adalah kemudahan bagi pelaku e-commerce dalam pemenuhan kewajiban pajak.

Lagi pula, menurut Prastowo, Permenkeu 210/2018 tersebut dapat menjaga kesetaraan perlakuan perpajakan antara pedagang elektronik dengan pelaku perdagangan konvensional.

"Kami sayangkan mengingat hal ini sudah menjadi peraturan resmi dan bermanfaat untuk memberikan penegasan bagi pelaku e-commerce dan petugas di lapangan. Apalagi beberapa hal sudah diakomodasi dan menunjukkan langkah maju,” kata Prastowo.

Pernyataan Prastowo tidak berlebihan. Sebab, hingga saat ini, masih banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang tak patuh atas kewajiban membayar pajak, meski pemerintah telah memangkas tarif pajak dari 1 persen menjadi 0,5 persen.

Jangankan membayar pajak, UKM beromzet di atas Rp4,8 miliar dalam marketplace bahkan masih ada yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Padahal, dengan penghasilan sebesar itu, UKM-UKM tersebut harusnya sudah punya kesadaran untuk tercatat sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

“Padahal dalam rangka menciptakan playing field, upaya yang ditempuh dan dihasilkan relatif sudah cukup baik dengan perbaikan-perbaikan," kata Yustinus.

Pencabutan beleid itu juga terkesan politis karena dilakukan menjelang Pilpres 2019. Pemerintah, menurut Yustinus, tak mau ambil risiko dan menghindari penggiringan opini yang dapat merugikan lantaran kebijakan pajak bagi e-commerce termasuk isu yang sensitif.

“Terkesan ada tekanan yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu, termasuk asosiasi usaha, yang cenderung menginginkan keadaan status quo," ucap dia.

Sebaliknya, Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (Idea) Ignatius Untung menyampaikan pencabutan aturan pajak soal perdagangan digital itu sudah tepat.

Alasannya, kata Untung, tanpa ketentuan yang jelas, muncul kekhawatiran para pelaku e-commerce akan berpindah ke media sosial seperti Facebook dan Instagram yang sejauh ini belum diatur dalam regulasi perpajakan.

Karena itu, kata Untung, ditariknya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 harus ditindaklanjuti oleh sejumlah langkah lain, bila aturan tersebut ingin kembali diterbitkan di kemudian hari.

Salah satunya, kata Untung, dengan membangun sistem dan infrastruktur berbasis digital yang dapat terkoneksi langsung dengan platfom marketplace. Dengan demikian, tiap transaksi perdagangan dapat terdata, dan terhimpun tanpa membebani pihak penyedia platfom marketplace.

"Kalau sekarang, kan, kami [marketplace] yang diminta buat ngumpulin data transaksi itu,” kata Ignatius.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, belum mau berkomentar soal langkah yang akan dilakukan pihaknya setelah PMK soal perpajakan di e-commerce itu dicabut.

Yang jelas, kata Hestu, pencabutan beleid itu memberikan waktu bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi yang lebih intensif dengan seluruh pemangku kepentingan, serta mempersiapkan infrastruktur pelaporan data e-commerce.

Dengan demikian, perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pelaku usaha baik e-commerce maupun konvensional yang menerima penghasilan hingga Rp4,8 miliar dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.

"Terkait e-commerce, untuk saat ini penjelasan bagi publik telah cukup dengan apa yang kemarin disampaikan oleh Ibu Menkeu [Sri Mulyani]. Untuk langkah selanjutnya, kami masih akan diskusikan terlebih dahulu, belum bisa kita jelaskan ke publik," kata Hestu.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz