Menuju konten utama

Pedagang Online Belum Siap, Minta Tunda Pajak e-Commerce

Industri e-commerce belum memiliki fondasi yang cukup kuat, utamanya pelapak. Infrastruktur pemerintah juga belum memadai untuk memungut pajak pedagang online.

Pedagang Online Belum Siap, Minta Tunda Pajak e-Commerce
Ilustrasi Promo Ramdan Toko Online. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta Kementrian Keuangan menunda pungutan pajak kepada pedagang online pada 1 April 2019 mendatang. Alasannya, pelapak online dan penyedia jasa yang memiliki marketplace belum siap.

Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengatakan, sebanyak 80 persen dari 1.765 pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang berada dalam ekosistem e-commerce merupakan pengusaha yang masih berjuang untuk bertahan dan menguji model bisnis mereka.

"Belum tentu mereka bertahan dalam beberapa bulan ke depan," sebut Untung kepada Tirto, Senin (14/1/2019).

Jika mereka diwajibkan untuk mengurus NPWP, ia mengkhawatirkan adanya kemungkinan bagi mereka untuk lebih memilih tidak berjualan melalui marketplace e-commerce seperti Tokopedia atau Bukalapak dan lebih memilih untuk berbisnis melalui media sosial seperti Instragram atau Facebook.

Saat ini, menurut Untung, studi yang dilakukan oleh idEA menemukan 95 persen pelaku UMKM memilih berjualan melalui media sosial. Sementara itu, baru ada 19 persen yang menggunakan marketplace seperti Tokopedia atau Bukalapak.

Dengan adanya kebijakan pajak baru dari Kemenkeu, menurut dia, berpotensi menjadi halangan bagi perkembangan industri e-commerce di Indonesia. Selain itu, bakal mempersulit pemerintah untuk memonitor transparansi jual beli daring.

"Padahal justru platform lokal mendorong peningkatan ekonomi ketimbang platform media sosial yang dimiliki asing," sebutnya.

Pada Sabtu (12/1/2019) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah merilis regulasi baru yakni Peraturan Menteri Keuangan 210/PMK.010/2018 terkait pajak yang menyasar transaksi perdagangan di sektor e-commerce.

Peraturan tersebut salah satunya mewajibkan para pelaku bisnis atau pelapak di e-commerce untuk memiliki Nomer Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta membayar pajak final sebesar 0,5 persen dari omzet jika jumlahnya tidak melebihi Rp 4,8 miliar/tahun.

Sementara bagi para pelapak yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar/tahun, mereka akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

Untung bahkan meragukan kesiapan infrastruktur yang dimiliki oleh pemerintah untuk memvalidasi NPWP dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan.

Ia mengaku para pelaku marketplace e-commerce juga belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk memverifikasi NPWP para pelapak.

Kebijakan pemerintah, kata dia, dipahami oleh idEA sebagai upaya menggenjot nilai pajak dalam jangka pendek. Namun, Untung melanjutkan, pemerintah juga perlu menimbang dampak jangka panjang dari penerapan aturan tersebut yang kemungkinan dapat menghambat laju pertumbuhan industri kecil menengah dan e-commerce.

"Untuk itu, mari kita bersama-sama mencari cara agar penerimaan pajak bisa tercapai tanpa mengorbankan harapan pertumbuhan ekonomi dari UMKM dalam jangka panjang," sebut Untung.

"Untuk menemukan keseimbangan ini, perlu kajian yang matang dan melibatkan semua pemangku kepentingan."

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Zakki Amali