Menuju konten utama

Meninjau Posisi Kementerian BUMN: Bubar atau Lebur ke Danantara?

Mekanisme pengawasan BUMN tanpa kementerian dapat diperkuat lewat peran DPR, audit publik, hingga laporan keuangan yang terbuka bagi investor.

Meninjau Posisi Kementerian BUMN: Bubar atau Lebur ke Danantara?
Gedung Kementerian BUMN. FOTO/http://bumn.go.id

tirto.id - Reshuffle kabinet terbaru tak hanya memindahkan Erick Thohir dari kursi Menteri BUMN ke Menteri Pemuda dan Olahraga, tetapi juga membuka kembali perdebatan lama: apakah Kementerian BUMN masih relevan dipertahankan.

Pergeseran ini menimbulkan spekulasi bahwa pemerintah tengah menimbang opsi pembubaran atau peleburan kementerian yang selama ini mengawasi perusahaan pelat merah.

Isyarat itu datang langsung dari Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Menjawab pertanyaan soal masa depan Kementerian BUMN, ia menyebut pemerintah masih mengkaji kemungkinan perubahan struktur, seiring penyerahan pengelolaan aset negara ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang kini dipimpin Rosan Roeslani.

“Kalau kemudian nanti di dalam perjalanannya itu kita perlu melakukan perubahan terhadap kementeriannya, nanti kita lihat,” ujar Prasetyo usai pelantikan menteri-menteri baru Kabinet Merah Putih, Rabu (17/9/2025).

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai, keberadaan Kementerian BUMN semakin kehilangan urgensi usai pemerintah mengalihkan seluruh aset BUMN ke Danantara. Sebab, kementerian yang bermarkas di Medan Merdeka Selatan tersebut hanya menjadi "tukang stempel" dan tak memiliki kontrol terhadap perusahaan milik negara.

Dalam konteks pengawasan, misalnya, keberadaan Kementerian BUMN justru rentan menimbulkan bias karena berperan ganda sebagai pemilik sekaligus pembina perusahaan negara.

Situasi ini makin kompleks lantaran CEO Danantara juga merupakan Menteri Investasi/Kepala BKPM, sehingga posisi yang diawasi setara dengan menteri yang memimpin Kementerian BUMN. Kondisi tersebut berpotensi melemahkan independensi pengawasan dan mencampurkan kepentingan bisnis dengan kepentingan politik, menjadikan kementerian lebih sebagai pembenar kebijakan ketimbang pengawas objektif.

“Paling ideal memang sebetulnya nggak diperlukan lagi. Tinggal apakah itu melebur ke Danantara, atau kalau dia PNS bisa dimasukkan ke kementerian-kementerian yang terkait. Jadi seharusnya begitu idealnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto.

Di samping itu, menurutnya, pengelolaan aset negara idealnya mengikuti standar internasional yang lebih transparan dan profesional, seperti yang dilakukan Singapura melalui Temasek Holdings dan GIC.

Temasek berfungsi sebagai holding komersial yang mengelola perusahaan-perusahaan milik negara secara langsung, dengan fokus pada penciptaan nilai jangka panjang.

Demikian pula dengan GIC, yang mengelola cadangan devisa Singapura dalam bentuk portofolio investasi global, dengan mandat menjaga dan mengembangkan nilai aset untuk generasi mendatang.

Kedua entitas tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan aset negara dapat dilakukan secara efisien melalui disiplin bisnis dan tata kelola korporasi yang kuat—tanpa kehadiran kementerian khusus yang cenderung menjadi instrumen politik.

"Sekarang kan ruwet. Kementerian BUMN di-handle Wamen, lalu CEO BPI Danantara juga Menteri Investasi. Itu malah bikin pusing, apalagi antar-kementerian. Memang mereka bilang bisa lebih bersinergi. Tapi dalam konteks governance, tetap jadi pertanyaan. Nanti kalau sudah ditanya investor besar global, mereka bisa ragu," jelasnya.

Eko juga menyinggung soal nest practice internasional dalam pengelolaan Sovereign Wealth Fund (SWF), seperti yang dirumuskan dalam Santiago Principles.

Kaidah yang terdiri atas 24 prinsip tersebut menekankan tiga hal, yakni transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pada tujuan finansial jangka panjang. Dengan tiga fokus area ini, lembaga pengelola aset negara dituntut untuk beroperasi dengan tata kelola setara atau bahkan lebih tinggi dari korporasi swasta global.

Indonesia sejatinya telah memiliki cikal bakal mekanisme serupa melalui Indonesia Investment Authority (INA) dan Danantara. Namun, menurut Eko, pengelolaan BUMN masih bercampur dengan kepentingan politik dan tumpang tindih kebijakan karena adanya Kementerian BUMN. Kondisi ini berpotensi mengurangi efisiensi, menambah biaya birokrasi, dan menghambat daya saing perusahaan pelat merah di level internasional.

“Kalau mengikuti standar global, pasti kita bisa menarik investor global. Tapi kalau bikin standar sendiri, ya hidup sendiri. Padahal tujuan utamanya menambah likuiditas dalam negeri,” kata Eko.

Apa yang disampaikan Eko pun sejalan dengan Vina Hardyana Infantri dan Retno Meilani dalam kajian Analisis Yuridis Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang terbit pada Jurnal Pusat Riset dan Inovasi Nasional (RIN) 2025.

Kedua penulis menilai bahwa kerangka hukum terkait BUMN, INA, dan Danantara justru memperlihatkan tumpang tindih regulasi. Pasalnya, substansi UU BUMN, PP tentang INA (PP No. 74/2020), dan PP tentang BPI Danantara memiliki tujuan serta konsep serupa sehingga berpotensi mengurangi efektivitas, efisiensi, dan kedayagunaan pengelolaan aset negara. Menurut mereka, maraknya aturan yang mengatur hal-hal serumpun hanya memperburuk proses legislasi dan menimbulkan ketidakoptimalan dalam tata kelola kelembagaan investasi pemerintah.

Lagipula, menurut Eko, pembubaran Kementerian BUMN tak serta-merta berarti pengawasan pemerintah menjadi hilang. Ia menekankan bahwa fungsi kontrol masih bisa dijalankan melalui Kementerian Keuangan yang berwenang mengatur setoran dividen, penugasan, maupun alokasi keuntungan BUMN bagi negara.

Selain itu, mekanisme pengawasan juga dapat diperkuat lewat peran DPR, audit publik, hingga laporan keuangan yang terbuka bagi investor. Dengan begitu, meskipun struktur kementerian dihapus atau dilebur ke instansi lain, akuntabilitas tetap terjaga, bahkan berpotensi lebih efektif karena berbasis transparansi pasar, bukan sekadar administrasi birokratis.

"Kita sebetulnya pertama harus lihat efisiensi pengawasan. Lebih kepada aspek birokratis. Nanti di BPI Danantara dia lebih fleksibel, dikasih ruang fleksibilitas lebih luas. Bisa investasi, bisa operasional, dan tidak menjadi kerugian negara. Harapannya, dengan begitu tidak terlalu terbebani urusan birokratis. Seperti di negara lain, model itu kan sudah ada," jelasnya.

Meski demikian, Pengamat BUMN dari NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, menilai opsi peleburan kementerian ini ke dalam Danantara sulit dilakukan dan berisiko. Herry menjelaskan bahwa secara teknis, peleburan Kementerian BUMN ke Danantara akan menimbulkan persoalan serius, terutama terkait status SDM.

"Di Kementerian BUMN, status SDM adalah ASN, sementara di Danantara tidak harus. Mereka direkrut dari para profesional," ujarnya saat dihubungi Tirto.

Meski Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10/2025 Pasal 32 mengizinkan SDM Danantara berasal dari ASN, Herry menekankan bahwa hal ini tidak wajib. Pun, jika dilebur dikhawatirkan ada kesengajaan.

"Kalau mereka yang ASN itu otomatis masuk ke Danantara akibat peleburan, nanti ada potensi ketimpangan iklim kerja maupun imbalan yang diterima. Jadi ada risiko lain yang harus dihadapi," ujarnya.

Selain itu, terdapat perbedaan mendasar mengenai entitas yang dikelola. Herry menyoroti bahwa berdasarkan UU BUMN tahun 2025, BUMN kini berstatus sebagai lembaga privat, bukan lagi sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.

Oleh karena itu, Herry berpendapat bahwa dengan telah beralihnya fungsi utama pengelolaan BUMN kepada Danantara, keberadaan Kementerian BUMN sudah tidak diperlukan lagi.

"Sebab fungsi utama Kementerian BUMN, dalam hal ini pengelolaan BUMN dengan membawahi lembaga tersebut, sudah diambil alih oleh BPI Danantara. Jadi fungsi utamanya sudah hilang," paparnya.

Herry mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan untuk membubarkan kementerian tersebut, mengikuti praktik terbaik di negara lain.

"Sebagai praktik terbaik, di Singapura yang memiliki SWF bagus seperti Temasek, juga tidak memerlukan Kementerian BUMN. Begitu pun dengan Malaysia yang punya Khazanah," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa pembubaran bukanlah hal yang mustahil.

"Tidak ada hambatan bagi Presiden untuk membubarkan Kementerian BUMN. Sedangkan untuk karyawan Kementerian BUMN yang berstatus ASN, tentu dapat didistribusikan di kementerian atau lembaga lain. Ini soal teknis yang tidak terlalu sulit untuk diatasi," tutur Herry.

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN BUMN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana