tirto.id - Prajogo Pangestu, Franky Widjaja, dan Garibaldi "Boy" Thohir—tiga konglomerat Indonesia yang kerap disebut bagian dari kelompok "sembilan naga"—dikabarkan berminat membeli surat utang bernama Patriot Bond yang akan diterbitkan Danantara.
Nama mereka mencuat dalam pemberitaan Reuters setelah mengutip pernyataan Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir. Ia menyebut Patriot Bond sebagai salah satu sumber pendanaan bagi dana kelolaan Danantara yang kini mencapai Rp135 triliun.
Obligasi tersebut rencananya akan diterbitkan pada Oktober mendatang dengan nilai Rp50 triliun. Menariknya, instrumen ini menawarkan dua opsi tenor—lima tahun dan tujuh tahun—dengan kupon sekitar 2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan obligasi pemerintah bertenor serupa.
Pandu menjelaskan, Patriot Bond tak hanya dirancang sebagai instrumen keuangan, tetapi juga memiliki makna simbolis. “Ini merupakan ajakan bagi dunia usaha untuk bersatu dan berkontribusi bagi kemajuan kita,” ujarnya, menegaskan bahwa penerbitan ini lebih dari sekadar urusan keuntungan finansial, melainkan juga wujud keterlibatan kalangan usaha dalam mendukung agenda pemerintah.
Namun, sebagaimana lazimnya instrumen utang baru, Patriot Bond menimbulkan pro dan kontra dari kalangan ekonom.
Ekonom Universitas Indonesia, Ahmad Mikail Zaini, menilai Patriot Bond bisa menjadi jalan keluar bagi dana mengendap milik pengusaha nasional di luar negeri. Ia menegaskan bahwa rencana penerbitan Patriot Bond senilai Rp50 triliun mampu menghadirkan multiplier effect bagi perekonomian nasional sekaligus mendukung agenda lingkungan.
Menurutnya, dana besar yang selama ini tersimpan di luar negeri sebaiknya tidak dibiarkan begitu saja tanpa kontribusi nyata. "Daripada dana triliunan rupiah milik pengusaha nasional tersimpan di luar negeri, lebih baik ditempatkan di instrumen yang memberi manfaat ganda," ujarnya, Rabu (27/8/2025).
Ia menekankan bahwa Patriot Bond tidak hanya menawarkan imbal hasil yang relatif aman, tetapi juga diarahkan pada pembiayaan sektor energi terbarukan, industri ramah lingkungan, serta penciptaan lapangan kerja baru. Dari sudut pandang itu, instrumen ini dinilai strategis karena menyalurkan dana swasta pada pendanaan proyek-proyek lingkungan, mulai dari pengelolaan sampah menjadi energi hingga teknologi hijau yang mendukung transisi energi nasional.
Bagi Zaini, momentum penerbitan Patriot Bond relevan dengan situasi saat ini. Isu lingkungan dan transisi energi, menurutnya, tak bisa ditunda. Kebutuhan modal sangat besar dan negara tak mungkin hanya mengandalkan APBN. Patriot Bond hadir sebagai cara inovatif untuk menjawab kebutuhan itu.
Lebih jauh, Chief Economist Sucor Sekuritas tersebut menyebut instrumen ini bisa dipandang sebagai bentuk tanggung jawab sosial (CSR) bagi kalangan pengusaha. "Pembiayaan pembangunan nasional akan dapat topangan dari CSR-nya para pengusaha Indonesia, bahkan mungkin juga negara asing. Patriot Bond ini membentuk kepedulian sosial kalangan pengusaha berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan dan energi," katanya.
Zaini menegaskan bahwa investasi ini termasuk kategori aman. Menurutnya, return dari bisnis daur ulang sampah maupun energi masa depan bisa dikategorikan baik dan memiliki prospek panjang. Selain itu, dalam skema Patriot Bond ada jaminan pengembalian modal beserta imbal hasilnya. Apalagi kita semua tahu bahwa keuangan Danantara amat kuat," ucapnya.
Ia menambahkan, ruang pembiayaan melalui pasar obligasi di Indonesia masih sangat terbuka. Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB), porsi obligasi korporasi di Indonesia baru sekitar 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menunjukkan adanya ruang ekspansi besar bagi instrumen seperti Patriot Bond, yang bisa memobilisasi dana domestik dalam jumlah signifikan.
Berbeda dengan Zaini, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat ada sejumlah kelemahan mendasar dari Patriot Bond.
Menurutnya, Patriot Bond berpotensi merebut dana deposito perbankan. Karena bentuknya dibungkus dengan narasi nasionalisme dan target pembelinya adalah para konglomerat, maka cara paling cepat bagi mereka adalah memindahkan dana dari deposito bank ke Patriot Bond. Jika hal itu yang terjadi, likuiditas perbankan bisa terganggu.
"Karena bentuknya adalah nasionalisme dibungkus paksaan ke konglomerat untuk beli Patriot Bond, maka cara paling cepat adalah memindahkan dana deposito. Kalau itu yang terjadi maka tekanan likuiditas ke bank akibat crowding out Danantara bakal ganggu penyaluran kredit perbankan. Transmisi penurunan suku bunga acuan BI ke bunga kredit bank bisa tertunda," kata Bhima kepada Tirto.
Situasi ini juga bisa memperburuk kondisi eksisting bank yang memang sudah berebut dana dengan pemerintah yang rutin menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).
Sebab, sasaran pembeli surat utang ini juga merupakan dana pihak ketiga yang diperebutkan perusahaan keuangan domestik. Dalam pandangan Bhima, ini jelas menimbulkan potensi tekanan terhadap sektor perbankan yang berujung pada tertundanya ekspansi kredit ke dunia usaha.
Tak hanya itu, Patriot Bond cenderung memaksa konglomerat untuk membeli bukan karena daya tarik instrumen itu sendiri, melainkan karena pertimbangan politik. Pembelian Patriot Bond bisa dipersepsikan sebagai cara bagi pengusaha tertentu untuk mendekatkan diri dan mendapatkan proteksi dari pemerintah.
"Konglomerat yang beli Patriot Bond sebenarnya seperti membeli asuransi, karena dianggap telah membantu Danantara, sehingga sebaliknya mendapat konsesi hingga proteksi dari pemerintahan Prabowo," ujarnya.
Masalah lain yang disoroti Bhima adalah agunan dari Patriot Bond. Ia mempertanyakan aset BUMN mana yang akan dijadikan jaminan jika terjadi gagal bayar. Risiko gagal bayar, menurutnya, tetap ada, meski Danantara digadang kuat secara finansial.
Jika Patriot Bond default, maka apakah dividen BUMN yang dijadikan sebagai agunan atau aset tertentu harus dilepas untuk menutup kewajiban? Pertanyaan ini menyinggung langsung isu transparansi dan governance dari penerbitan surat utang tersebut.
Selain itu, Bhima menyoroti masalah transparansi penggunaan dana hasil Patriot Bond. Memang disebutkan tujuan utamanya untuk pembiayaan proyek waste to energy, namun ia mempertanyakan apakah proyek tersebut bisa dijamin menguntungkan.
Proyek pengelolaan sampah menjadi energi dikenal mahal dibandingkan teknologi alternatif seperti pembangkit tenaga surya atau mikrohidro.
Dengan demikian, ada risiko dana hasil Patriot Bond justru diparkir di SBN, sehingga Danantara mendapatkan spread keuntungan tanpa benar-benar menyalurkan dana ke proyek lingkungan. "Belajar dari instrumen di AS yang dulu dinamakan war bond untuk pembiayaan perang dan EE bond untuk pembiayaan anti-terorisme, banyak kritik muncul soal transparansi pemanfaatan dana yang tidak terkait dengan tujuan awal," kata Bhima.
Ia juga mengingatkan bahwa Patriot Bond berpotensi membuat kepercayaan investor menurun. "Iya bisa berkurang trust-nya karena menerbitkan surat utang tanpa mekanisme rating yang layak," ujarnya.
Kepercayaan investor domestik maupun asing bisa terganggu jika Patriot Bond tidak memiliki mekanisme transparansi dan penilaian risiko yang memadai. Oleh karena itu, Bhima menekankan bahwa Danantara perlu lebih transparan soal tujuan penerbitan, mekanisme, dan siapa pembelinya.
"Danantara perlu transparan soal Patriot Bond, mulai dari tujuan penerbitan, mekanisme, siapa pembelinya harus diungkap ke publik. Jadi ada pengawasan, tidak di ruang yang gelap," tegasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































