tirto.id - Menghela napas ketika mendapati komentar-komentar "ajaib" dari pejabat seakan menjadi pengalaman kolektif masyarakat di negeri ini.
Baru-baru ini, misalnya, seorang menteri yang baru diangkat mendapatkan sorotan publik karena mengeluarkan pernyataan meremehkan tentang tuntutan 17+8 dari aksi protes beberapa waktu silam.
Isi tuntutan 17+8 memang tidak terbebas dari kritik. Namun, yang disayangkan adalah kesan menyepelekan upaya dan harapan masyarakat agar Indonesia menjadi lebih baik.
Sayangnya, fenomena meremehkan kekhawatiran masyarakat cenderung berulang di kalangan pejabat.
Tahun lalu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 2019-24 Muhadjir Effendy pernah disorot seusai mengeluarkan wacana untuk memberikan bantuan sosial pada keluarga pejudi online.
Sebelumnya, pada 2020 silam, Muhadjir sempat mengusulkan agar Kementerian Agama menerbitkan fatwa terkait orang miskin sebaiknya menikah dengan yang kaya sebagai solusi untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Di masa lalu, sebagian besar dari kita pasti masih ingat dengan pernyataan menyepelekan dari Menteri Kesehatan RI pada masa awal-awal pandemi COVID-19, Terawan Agus Putranto.
“Dari 1,4 milyar penduduk sana, ya paling 2 ribuan [yang terkena corona]. [Sebanyak] 2 ribu dari 1,4 milyar itu kan kayak apa. Karena itu pencegahannya jangan panik, jangan resah, enjoy saja, makan yang cukup,” kata Terawan pada Januari 2020.
Padahal, menurut buku Rumors on the Agenda (2025) yang ditulis oleh Gary Alan Fine dan kawan-kawan, kekosongan informasi dari pemerintah hanya membuat rumor menyebar cepat di tengah krisis.
Kedua masalah di atas, bikin pernyataan blunder maupun merilis pernyataan yang terlambat, menunjukkan indikasi bahwa sejumlah pejabat tidak sigap dalam menjalin komunikasi dengan rakyat.
Komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sangat krusial untuk dilakukan. Dalam beberapa kasus, komunikasi publik yang dilakukan secara sembarangan berisiko membuat nyawa melayang.
“Pesan yang disampaikan dengan baik, pada saat yang tepat, dan dari sosok yang kredibel, dapat menyelamatkan banyak jiwa,” Barbara Reynolds menegaskan dalam booklet panduan Crisis and Emergency Risk Communication (CERP) yang disusun oleh Centers for Disease Control dari Departemen Kesehatan Amerika Serikat.
CERP telah membuat enam poin penting yang harus dipenuhi saat menerapkan komunikasi krisis, hal yang sangat berguna bagi para pejabat.
Seperti disinggung oleh Remotivi dalam video yang tayang 29 April 2020, “Komunikasi krisis berfungsi untuk mengelola rasa cemas [kolektif] menjadi senjata untuk mengatasi krisis bareng.”
Pada poin pertama, CERP menegaskan pentingnya memberikan informasi secara cepat. Kedua, data dan informasi yang dikomunikasikan wajib akurat. Ketiga, materi komunikasi harus kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat, ekspresikan rasa empati. Kelima, berkomitmen untuk mengambil tindakan. Dan terakhir, menunjukkan rasa hormat.
Lagi-lagi, bahkan dalam komunikasi krisis, empati dari pihak komunikator tidak boleh sampai absen.
Hal itu karena, “Krisis menciptakan situasi darurat, dan penderitaan [di tengah kondisi sulit] harus diakui lewat kata-kata. Membahas perasaan dan tantangan yang dihadapi oleh orang-orang akan membantu membangun kepercayaan dan hubungan baik.”
Maka dari itulah, ketika dimintai pendapat atau berinisiatif memberikan komentar, penting bagi pejabat dan politisi untuk menunjukkan sikap prihatin dan pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang tengah dihadapi oleh publik.
Hal lain yang perlu diterapkan adalah ekspresi rasa hormat ketika melakukan komunikasi publik. Apalagi saat ini masyarakat tengah berada dalam kondisi rentan karena kenaikan harga pangan, tingkat pengangguran tinggi dan kejadian PHK di mana-mana, biaya pendidikan yang terus melambung, dan lain sebagainya.
Poin-poin CERP juga didukung oleh temuan Wuyou Ding dalam artikel Understanding the failure of government debunking communication", terbit di Journal of Applied Communication Research (2023).
Komunikasi krisis, tulis Ding, harus mampu menangkap dimensi emosional dan sentimen publik. Penelitian Ding memang fokus pada persebaran rumor di tengah krisis, tetapi menarik bahwa ia juga melihat efek panjang dari kegagalan komunikasi publik.
Selama melakukan riset, Ding mendapati bahwa rezim otoritarian mengalami sejumlah tantangan dalam menghadapi rumor ketika krisis berlangsung.
Ini disebabkan karena segala bentuk komunikasi pemerintah ditolak, diinterpretasikan ulang, diabaikan, dan ditentang oleh publik. Sikap resisten publik terhadap upaya pejabat untuk melakukan komunikasi tidak datang secara tiba-tiba.
“Empat faktor penghambat itu tumbuh dari mekanisme penolakan emosional yang didasari pada rasa tidak percaya (Emotional Resistance Anchored in Distrust). Kondisi ini menegaskan bahwa pengalaman negatif di masa lalu turut membentuk ketidakpercayaan sekaligus mendorong perlawanan publik terhadap komunikasi pemerintah,” Ding menjelaskan seperti dituliskan ulang dalam Rumors on the Agenda.
Dengan kata lain, menyampaikan pernyataan secara baik, tepat, dan transparan akan mengurangi beban kecemasan masyarakat.
Jikalau pernyataan asal-asalan sudah terlanjur terucap, langkah pertama yang harus ditempuh adalah: menerima kritik, mengakui kekeliruan, dan tidak menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Setuju?
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































