Menuju konten utama

Seberapa Sesatnya Celetukan Fatwa Si Miskin Nikahi Orang Kaya?

Anak buah Presiden Jokowi dianggap kehabisan ide untuk menekan angka kemiskinan.

Seberapa Sesatnya Celetukan Fatwa Si Miskin Nikahi Orang Kaya?
Menko PMK Muhadjir Effendy memberikan paparan saat rapat konsolidasi Kemenko PMK di Jakarta, Kamis (31/10/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

tirto.id - Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan, agar Kementerian Agama menerbitkan fatwa. Hal itu terkait: orang miskin baiknya menikah dengan yang kaya. Menurutnya, hal itu adalah solusi untuk memutus mata rantai kemiskinan. Permintaan Muhadjir itu dianggap, bukti pemerintah kehabisan akal dan berhasrat merecoki ranah privat warganya.

“Bagaimana supaya yang kaya tidak harus memilih-milih ketika mencari jodoh atau menantu harus sesama kaya, jadi gerakan moral saja, fatwa itu anjuran,” kata Muhadjir di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis lalu.

Muhadjir berdalih, ada sikap umum keluarga miskin untuk mencari pasangan yang juga tidak mampu. Dengan demikian, Muhadjir berpendapat perlu ada gerakan moral untuk menghapus kemiskinan. Ide itu ia sampaikan kepada Menteri Agama Fachrul Razi agar membuat fatwanya.

“Fatwa itu bahasa Arabnya anjuran, saran, gerakan moral lah, terutama jangan terlalu straight-lah, jangan terlalu kaku seolah-olah kalau ada proses pernikahan silang secara ekonomi di mayarakat jadi sesuatu yang tidak elok, itu saja,” kata Muhadjir.

“Enggak, mana ada anjuran itu mengikat begitu cuma jangan dipelesetkan jadi wajib,” ujarnya menjelaskan.

Recoki Ranah Privat

Celetukan Muhadjir itu ditolak ramai-ramai. Aktivis dari Solidaritas Perempuan Nisa Yura berpendapat, pemerintah tidak solutif dalam menyelesaikan masalah kemiskinan.

“Pemerintah ini malas sekali ya. Urusan kesejahteraan dan kemiskinan sesungguhnya adalah kewajiban pemerintah dalam mengatasi persoalan tersebut,” kata Yura.

Yura berpendapat, pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan atau program untuk menghapus kemiskinan dan tidak menambah beban rakyat. Pemerintah seharusnya memfokuskan penyelesaian masalah utama yang meminggirkan perempuan, seperti penghancuran wilayah kelola perempuan di kelautan, kehutanan, dan pertanian hingga penggusuran.

Pemerintah juga belum mampu memenuhi hak dasar masyarakat seperti pangan, air, pendidikan maupun layanan kesehatan. Dengan adanya privatisasi pendidikan atau kenaikan BPJS, kata Yura, artinya memang pemerintahlah yang membuat masyarakat, apalagi perempuan semakin miskin. Pemerintah seharusnya fokus pada pemenuhan hak warga negara daripada mengatur pernikahan.

Di sisi lain, pemerintah juga berlebihan dalam mengatur perkawinan seseorang. Sebab tugas negara hanya mencatat perkawinan. Pemerintah baru bisa mengintervensi jika ada kekerasan yang mengarah pada tindak kriminal dan kejahatan kepada negara.

“Seharusnya, negara lebih fokus pada kebijakan terkait penghapusan kekerasan seksual, perlindungan pekerja rumah tangga, atau bagaimana mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap kebijakannya melalui RUU Kesetaraan Gender," ujarnya.

Yura menambahkan, harusnya pemerintah juga berhenti memproduksi kebijakan yang justru memiskinkan warganya. Misalnya seperti Omnibus Law Cipta Kerja hingga RUU Minerba.

Penolakan juga disampaikan pegiat hukum dari Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. Menurutnya, negara seharusnya tidak ikut campur dalam masalah berkeluarga karena tidak sesuai ketentuan Hak Asasi Manusia.

“Soal berkeluarga kan hak setiap orang masuk hak ekonomi sosial budaya yang mana negara yang harus provide mekanismenya. Sifatnya hak. Enggak perlu diatur begitu sama negara,” kata Maidina kepada reporter Tirto, Jumat lalu.

Maidina juga berpandangan, negara seharusnya bertugas memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. Negara harus memenuhi hak atas kesehatan, hak atas jaminan kesehatan, maupun hak atas pendidikan.

Anak Buah Jokowi Kehabisan Ide?

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, celetukan Muhadjir itu berlebihan. Rusli justru khawatir negara kehabisan akal dalam mengentaskan kemiskinan.

"Dari aspek ekonomi memang bisa aja itu mendistribusikan. Tetapi pertanyaannya, bisa lama apa nggak?" kata Rusli kepada reporter Tirto, Jumat lalu.

Menekan angka kemiskinan, kata Rusli, tak bisa semudah itu. Kini kemiskinan Indonesia 2019, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2019 menjadi 9,41 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani ingin menurunkan angka kemiskinan berada di angka 8,5 persen.

Menurut Rusli, penurunan persentase kemiskinan di level satu digit sangat berat. Ia beralasan, kelompok miskin yang berada dalam angka 1 digit merupakan kelompok miskin ekstrem di Indonesia seperti disabilitas, janda, lansia, orang-orang sakit berkepanjangan, hingga masyarakat yang terkucilkan secara ekonomi, sosial, dan politik. Kelompok-kelompok ini perlu pendekatan berbeda dalam penyelesaian kemiskinannya.

"Harus ada namanya perubahan kebijakan. Obatnya jangan sama seperti kemiskinan di angka 15 persen karena sifat miskinnya beda," tuturnya.

Menurut Rusli, pemerintah sebetulnya bisa menekan angka kemiskinan dengan program-program yang ada selama berkolaborasi. Sebagai contoh, Kementerian Sosial bisa menggunakan program keluarga harapan untuk mengentaskan kemiskinan. Setelah keluarga terlepas dari kemiskinan, kementerian lain menyambung dengan program lain untuk mempertahankan status atau meningkatkan status keluarga yang terlepas dari kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus bersatu padu jika ingin menekan angka kemiskinan, bukan dengan menikahkan pasangan kaya dan miskin.

"Intinya kolaborasi. Nggak bisa sendiri-sendiri. Harus jalan bareng-bareng," tegas Rusli.

Baca juga artikel terkait FATWA NIKAH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dieqy Hasbi Widhana