Menuju konten utama
Ruang Refleksi Diajeng

Belajar Merasa Cukup, Saat Pejabat Tak Pernah Puas

Aksi pejabat pamer kemewahan itu seakan-akan menegaskan, jika bukan mengolok-olok, bahwa aku dan kamu hidup di dunia yang berbeda dengan mereka.

Belajar Merasa Cukup, Saat Pejabat Tak Pernah Puas
Header Diajeng Refleksi Merasa Cukup. tirto.id/Quita

tirto.id - Kita semua lelah.

Media sosial bagaikan etalase yang menampilkan pameran barang mewah dari para pejabat dan keluarganya. Liburan megah, tas dan aksesori dengan harga tidak masuk akal, serta kepemilikan properti di mana-mana.

Tangan kita menyentuh kaca etalase tersebut, membiarkan mereka yang berada di kotak berlenggak-lenggok dengan luxury handbag, koleksi mobil berharga miliaranan rupiah, dan beragam perhiasan mewah.

Aksi pameran itu seakan-akan menegaskan, jika bukan mengolok-olok, bahwa aku dan kamu hidup di dunia yang berbeda dengan mereka.

Dalam logika sederhana masyarakat biasa seperti kita, seharusnya para wakil rakyat atau pejabat seperti anggota DPR itu merasa cukup.

Toh, hidup mereka telah dijamin oleh negara, dengan gaji dan tunjangan yang nilainya berkali-kali lipat dari pendapatan pekerja pada umumnya.

Dengan masa kerja lima tahun, mereka juga menerima uang pensiun. Jelas, mereka tidak akan dibiarkan kekurangan suatu apa pun dalam seumur hidupnya.

Namun begitu, nyatanya tak sedikit pejabat dan wakil rakyat yang masih merasa tidak puas dengan pendapatannya.

Terbukti dari betapa “kenyang” kita semua mendapati kejahatan korupsi di kalangan pejabat publik, sebut di antaranya kasus-kasus besar yang menyeret DPR seperti Setya Novanto sampai pejabat level gubernur seperti Ratu Atut Chosiyah (Banten) dan Gatot Pujo Nugroho (Sumatera Utara).

Di sinilah kita mengalami kesulitan untuk menalar, mengapa orang-orang yang tidak sepatutnya merasa cemas tentang periuk nasi esok hari, justru merasa perlu meraup lebih banyak?

Korupsi adalah jejaring rumit, permasalahan sistematis yang perlu dibedah secara khusus dalam tulisan sendiri.

Meski begitu, bukan berarti kita bisa menafikan fakta bahwa keserakahan juga turut berperan di dalamnya. Sedari awal, segala yang berjalan politis selalu pasti memengaruhi kehidupan pribadi secara dahsyat.

Kita semua muak. It’s almost certain that they don’t feel content because greed has consumed them, both body and soul.

Para pejabat ini seperti mengalami fase hedonic treadmill, sebuah istilah yang, mengutip Psychology Today, menggambarkan kecenderungan manusia untuk terus menginginkan hal-hal baru setelah berhasil meraih keinginan yang lama. Akhirnya, perasaan bahagia yang berapi-api tidak berhasil didapatkan.

Sementara itu, perasaan puas dan cukup bisa dianalogikan seperti jangkar. Perasaan ini membuat kita mampu membatasi diri, kebal terhadap segala narasi dan tolok ukur yang dibuat oleh orang-orang sekitar.

Becermin dari situasi sekarang, membicarakan kemampuan diri untuk tahu kapan merasa cukup, untuk tahu kapan harus berhenti, tentu mendesak.

Saat kanak-kanak, aku ingat ibuku mengajarkan untuk selalu mengucapkan terima kasih setiap menerima pemberian maupun pertolongan dari orang lain. Sekecil apapun itu. Dua kata tersebut menjadi semacam pengingat bahwa aku telah menerima kasih dari sesama.

Gestur kecil yang diajarkan ibu bertahan sampai sekarang, membuatku berpikir bahwa belajar untuk cukup dan puas memang seharusnya dilatih sejak kecil. Kelak, ketika tiba waktunya anak-anak dewasa, mereka tidak akan kepayahan untuk mencapai perasaan bahagia yang sesungguhnya.

"Saya sering bilang ke anak-anak saya, kamu memilih apapun dalam hidup, kalau gak bahagia, maka sulit. Bagaimana cara menjadi bahagia? Menemukan hal-hal yang baik, bermakna, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga orang lain,” Karlina Supelli membagikan pandangannya tentang makna bahagia, ketika berbincang dengan Gita Wirjawan dalam siniar Endgame pada 2023 lalu.

Bahagia, dalam segala bentuknya yang beragam, berimplikasi kepada perasaan merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki. Persis seperti saat ibuku membimbingku untuk menghargai pemberian orang lain.

"Orang kalau sudah bahagia, dia akan merasa cukup. Saya bahagia, sehingga apapun yang terjadi, akan diterima. Kebahagiaan tidak ditentukan dari hal-hal di sekitar tapi dari diri sendiri, yang kemudian didapatkan [dengan] mencapai dan memberikan yang terbaik,” tambah Karlina.

Bagaimana mengajarkan hal besar dimulai dari gerak yang kecil-kecil? Anak-anak hidup bak mesin fotokopi. Ia dengan mudah meniru apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami sehari-hari.

Oleh karena itu, orang tua memegang peranan penting dalam proses panjang ini. Kebiasaan berbagi, belajar untuk menempatkan diri, rutinitas untuk bersyukur, serta kemampuan untuk melihat di luar dirinya mungkin strategi yang layak diterapkan.

Menurutku, merasa cukup dan puas tidak sama dengan perasaan pasrah dan berserah diri pada takdir.

Aku juga kurang setuju apabila contentment disamakan dengan ketidakmampuan atau kemalasan untuk berusaha. Sebaliknya, perasaan cukup sangat potensial untuk menjadi gerakan yang "radikal", tameng moral agar diri kita tidak menjadi sosok yang tamak.

Hidup memang tengah sulit bagi semua orang. Situasi ini membuat kalangan pekerja seperti kita terjepit dari segala sisi. Namun begitu, kenyataan bahwa kita tidak merebut kebahagiaan dan kepunyaan orang lain di saat hidup tengah berjalan berat dan pelik, membuat kita menjadi sosok yang berjiwa lebih besar dibandingkan para pejabat korup.

Itu saja sudah membuat perbedaan besar.

Tulisan ini adalah pengingat untuk diriku sendiri. Perasaan cukup dan penuh berarti aku tahu dan sadar bahwa dalam segala hal, ada batas tertentu yang tidak boleh dilewati.

Dengan merasa cukup dan penuh, aku tahu dan sadar bahwa menjarah hak dan kebahagian orang lain hanya membawa diri ini ke dalam petaka demi petaka.

Pengingat ini betul-betul membuatku berefleksi panjang kali lebar. Semoga, pengingat ini juga bermanfaat buatmu.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Me Time
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih