tirto.id - Gaya hidup glamor keluarga penyelenggara negara alias pejabat, kembali jadi sorotan. Dugaan gratifikasi bahkan mencuat ke permukaan setelah istri Kepala BP Bintan, Farid Irfan Siddik, ‘bernyanyi’ di media sosial dan komentar pengakuannya itu beredar luas.
Jelita Jeje – istri Kepala BP Bintan – mengaku di akun Instagram pribadinya bahwa ia dan keluarga kerap menerima fasilitas dari pengusaha. Fasilitas mewah dari pihak ketiga, Jeje anggap lumrah bagi keluarga pejabat negara.
Jeje merupakan menantu seorang pejabat di Kejaksaan Agung. Jelita Jeje menyebut mertuanya pernah mengatakan, pengusaha memang kerap rebutan untuk memfasilitasi kebutuhan pejabat negara.
Menurutnya, hanya karena seorang pejabat negara memiliki banyak fasilitas mewah, tidak berarti mereka menggunakan uang negara.
Pernyataan Jelita Jeje itu membuat warganet geram karena ia dianggap sudah mewajarkan tindakan gratifikasi.
Gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi yang sudah diatur dalam undang-undang. Akun Instagram pribadi Jelita Jeje menghilang setelah ia menjadi sorotan.
Menariknya, Jelita Jeje sebetulnya tidak sedang berkomentar tentang keluarganya semata. Komentar itu, justru ia layangkan merespons warganet yang dua pekan ke belakang tengah menyorot tajam gaya hidup mewah anak presiden Joko Widodo dan menantunya.
Putra bungsu presiden, Kaesang Pangarep dan istrinya Erina Gudono, dibanjiri kritik dari warganet saat melakukan perjalanan ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Kaesang dan Erina diduga menggunakan jet pribadi hingga membeli kue seharga Rp400 ribu per potong. Potongan perjalanan mereka ini diunggah di akun Instagram Erina.
Mulanya, warganet geram karena anak dan menantu presiden malah melakukan perjalanan mewah di saat berbarengan gelombang protes dari rakyat menolak revisi UU Pilkada pada pekan lalu.
Kegaduhan berkembang, warganet mulai mencurigai pesawat jet yang dipakai Kaesang dan istri sebagai pemberian dari pihak ketiga. Harga sewa pesawat jet diduga berjenis Gulfstream itu diperkirakan mencapai Rp300 juta per jam. Data perjalanan pesawat itu juga saat ini diblokir dan tidak bisa dipantau publik.
Sejumlah pegiat antikorupsi dan pakar hukum mendesak aparat penegak hukum agar tidak diam saja merespons keresahan warganet. Dugaan gratifikasi yang mencuat diminta segera ditindaklanjuti – terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – seharusnya melakukan aksi proaktif agar tak menimbulkan persepsi tebang pilih kasus hukum.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menilai pewajaran keluarga penyelenggara negara terhadap pemberian fasilitas dan hadiah dari pihak ketiga sebagai sesuatu yang miris.
Menurut Bagus sudah sangat jelas diatur di Undang-Undang 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bahwa gratifikasi merupakan pemberian hadiah atau fasilitas kepada pejabat negara karena terkait dengan posisi atau jabatannya.
“Ini sudah clear ya di UU Tipikor. Jadi kalau keluarga atau kerabat dapat juga fasilitas atau hadiah, itu juga sudah masuk wilayah gratifikasi. Selama pemberian itu berkaitan dengan posisi atau jabatan keluarganya itu,” kata Bagus kepada reporter iTirto, Kamis (29/8/2024).
Bagus menilai keluarga atau kerabat pejabat seharusnya masuk dalam kategori PEP (Politically Exposed Person) atau orang yang terekspos secara politis.
Di Indonesia sendiri, transaksi dari orang-orang dalam kategori ini harus diawasi oleh lembaga keuangan. Hal itu juga sejalan dengan mandat Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF).
“Dan bisa melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK [Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan]. Nah keluarga pejabat juga masuk dalam kategori ini karena terekspos tinggi,” terang Bagus.
Ada beragam modus dugaan gratifikasi yang dapat diterima keluarga atau kerabat pejabat. Misalnya, barang-barang mewah, fasilitas khusus, tiket liburan, sampai memberikan saham perusahaan. Lebih lanjut, modus lainnya juga dilakukan dengan penawaran potensi-potensi bisnis yang menguntungkan keluarga pejabat.
“Jadi ini modus halus menyembunyikan niat ke si pejabatnya langsung. Kadang pemberian keluarga ini jadi modus pengalihan langsung ya dari gratifikasi ke pejabat itu sendiri,” tutur Bagus.
Dalam kasus yang tengah menjadi sorotan saat ini, Bagus memandang KPK dan Kejaksaan sudah bisa bergerak proaktif dalam memberikan penjelasan kepada publik.
Penegak hukum harus berani dan tak segan-segan melakukan pemeriksaan dugaan gratifikasi yang diterima oleh keluarga atau kerabat penyelenggara negara dan pegawai negeri.
“Apalagi, apalagi, itu sangat viral di medsos, nah pada titik ini aparat tinggal langsung bergerak aja kan ada UU yang mengatur itu dan standar FATF,” jelas Bagus.
Segera Usut dan Cari Bukti
Ahli hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai kasus Kaesang dan Jelita Jeje punya potensi diklasifikasikan sebagai gratifikasi.
Tugas penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan, tinggal mencari bukti bahwa pemberian hadiah atau fasilitas dari pihak ketiga tersebut berkaitan dengan jabatan yang diemban keluarga mereka.
Jika terbukti terdapat tindakan gratifikasi, maka penegak hukum bisa menjerat pejabat yang bersangkutan meskipun keluarga mereka yang menerima fasilitas atau hadiah. Pejabat yang gratifikasi tersebut bisa disangka lewat UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Itu kan sudah jelas kakaknya dan bapaknya [pejabat]. Unsur pasalnya adalah pegawai negeri dan penyelenggara negara, berarti yang bertanggung jawab adalah mereka di keluarganya itu yang menjabat,” jelas Orin kepada reporter Tirto, Kamis (29/8/2024).
Orin meminta agar KPK tidak pasif dalam kasus ini karena sudah menjadi sorotan publik. Lembaga antirasuah bisa bergerak proaktif mengejar klarifikasi dari pihak-pihak terkait.
Sebab, Pasal 12C UU Tipikor menyebut sepanjang pegawai negeri melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK sebelum 30 hari kerja, maka ketentuan terkait sanksi pidana menjadi tidak berlaku.
“Kalau dia ternyata bisa membuktikan maka tidak jadi gratifikasi. Karena ada jangka waktu lapor,” kata Orin.
Sementara itu, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Christina Clarissa Intania, menyatakan bahwa di dalam Pasal 2 ayat 3 Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi, disebutkan pemberian dalam keluarga termasuk pengecualian untuk pelaporan gratifikasi.
Namun, jelas dia, perlu digaris bawahi bahwa ketentuan itu berlaku sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dalam pemberian fasilitas atau hadiah.
“Jika kita lihat di kasus ini, Kaesang maupun istri pejabat BP Intan, kedua aktor ini sudah memenuhi unsur keluarga. Yang perlu kita lihat lebih dekat adalah unsur konflik kepentingannya,” kata Intan kepada reporter Tirto, Kamis (29/8/2024).
Penegak hukum harus melihat apakah terdapat hubungan antara hadiah atau bentuk-bentuk fasilitas yang diberikan kepada keluarga penyelenggara negara atau pegawai negeri itu, dengan sejumlah keputusan bisnis atau kebijakan. Pasalnya, gratifikasi ke anggota keluarga menjadi modus yang paling banyak dilakukan.
“Tidak hanya gratifikasi, tapi juga tindak pidana lain seperti pencucian uang. Modus ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian penerima gratifikasi supaya pemberian diberikan tidak langsung tercatat atas namanya,” ucap Intan.
Penyelidikan oleh penegak hukum harus menyeluruh sehingga pemberian-pemberian yang diberikan ke keluarga pejabat bakal bisa diketahui. Jika ada dugaan konflik kepentingan, maka akan dapat menjadi temuan.
Sayangnya, kata Intan, imbas revisi UU KPK, kini lembaga antirasuah tidak dapat langsung berinisiatif melakukan penyidikan karena kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum dihapuskan. Sehingga, usaha pro justicia akan berpotensi terhalang.
“Inilah salah satu dampak nyata melemahnya KPK. Jadi KPK bisa menindaklanjuti jika ada laporan atau dengan langkah-langkah sosialisasi untuk mencegah terjadinya tindakan gratifikasi atau tindak pidana korupsi lainnya di masa mendatang,” ujar Intan.
Di sisi lain, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, memandang KPK kurang profesional dalam merespons kasus ini. Dia menilai bahwa sudah menjadi hal yang sering terjadi tindakan gratifikasi penyelenggara negara tidak diberikan langsung kepada si pejabat.
Maka, KPK jangan cuma klarifikasi semata atas mencuatnya dugaan gratifikasi keluarga dari pejabat negara. Lembaga antikorupsi harus melakukan investigasi mendalam dan menggali informasi.
“Harusnya mengumpulkan informasi lah, netizen saja bisa mengumpulkan informasi sendiri, apalagi KPK. KPK bisa melakukan penelusuran,” ucap Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis (29/8/2024).
Lebih lanjut, KPK bisa menemukan hubungan bisnis yang dimiliki oleh pemberi fasilitas atau hadiah, terhadap keluarga pejabat yang menerima. Sejauh ini, kata dia, KPK justru belum jelas posisinya dalam dugaan gratifikasi yang ramai dibicarakan masyarakat.
“Bahkan KPK bisa melakukan pemanggilan meskipun dia bukan seorang penyelanggara negara. Jika ada suatu yang diduga mengarah pada tipikor, maka KPK punya kewenangan,” jelas Zaenur.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyatakan bahwa larangan menerima tindak gratifikasi sebagaimana diatur UU Tipikor, hanya mencakup penyelenggara negara. Namun, Tessa mengatakan jika anggota keluarga penyelenggara negara itu menerima sesuatu yang berkaitan dengan conflict of interest atau benturan kepentingan, mereka bisa melapor.
Jika keluarga penyelenggara negara tak yakin adanya benturan kepentingan, maka ia tidak wajib melaporkan ke KPK. Tessa menegaskan bahwa KPK tetap menunggu laporan dari bagian aduan masyarakat soal dugaan gratifikasi.
“Jadi kita akan bekerja dengan prudent, dengan prinsip kehati-hatian dengan kerangka hukum yang ada sehingga tidak ada pihak-pihak yang nanti merasa dirugikan,” kata Tessa kepada wartawan, Kamis (29/8).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto