tirto.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan syarat usia calon kepala daerah (cakada) harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) diabaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lewat rapat yang digelar Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang berlangsung secara singkat, forum tersebut langsung menyepakati revisi UU Pilkada. Hasilnya DPR tetap menggunakan putusan Mahkamah Agung (MA) dan memilih tak mengakomodasi putusan MK.
Putusan MA yang dimaksud adalah calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun saat dilantik sebagai pasangan calon. Sedangkan, pelantikan kepala daerah terpilih dilakukan pada awal Januari 2025 mendatang.
"Ya, merujuk ke [putusan] MA [soal syarat usia] ya," kata Wakil Ketua Baleg DPR RI sekaligus pimpinan rapat panja, Ahmad Baidowi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Persoalan syarat batas usia minimal calon kepala daerah ini memang sempat mencuat hingga di bawa ke MK buntut dari putusan MA yang menafsirkan kembali Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut, KPU menyebutkan usia calon kepala daerah memenuhi persyaratan terhitung sejak penetapan pasangan calon. Namun, MA melalui putusannya memaknai ketentuan PKPU itu menjadi batas usia paling rendah calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Sementara itu, dalam Putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 yang diketuk palu pada Selasa (20/8/2024) kemarin, MK berpendapat harus ada penegasan kapan KPU menentukan usia kandidat memenuhi syarat atau tidak.
MK menjelaskan usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus ditentukan pada saat penetapan peserta pilkada.
MK juga memandang aturan dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada tidak memerlukan penambahan makna apapun. Adapun Pasal 7 ayat 2 huruf e mengatur tentang syarat usia untuk pencalonan gubernur, wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota.
Bunyi huruf e dalam pasal tersebut adalah: "Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota".
MK menilai pasal itu sudah jelas dan terang benderang. Bahkan secara tekstual, norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada adalah benar tidak mencantumkan secara eksplisit ihwal frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon”.
Namun, semua pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu tidak mencantumkan frasa dimaksud.
“Perintah di MK itu ya hanya menolak gitu aja kan? Artinya ada yang lebih detail itu di putusan MA," kata Ahmad Baidowi.
Jalan Kaesang Menuju Pilkada 2024 Terbuka Lagi
Jika DPR bersikukuh merujuk putusan MA tersebut, maka menghidupkan kembali peluang Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PS) Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri sebagai cagub/cawagub.
Berbeda dengan putusan MK sebelumnya menyatakan Kaesang tercatat tidak memenuhi syarat usia calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada serentak 2024. Sebab, putra bungsu Presiden Joko Widodo itu baru genap berusia berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024 mendatang.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, mengatakan jika DPR menolak putusan MK dan masih menggunakan putusan MA, maka kapasitas pembuatan aturan DPR sebenarnya diragukan. Apalagi putusan MK secara hierarkis lebih tinggi dibandingkan putusan MA.
“Jadi jika DPR menolak keputusan tersebut saya kira syarat atas kepentingan untuk memajukan Kaesang di Pilgub Jateng. Apalagi harus mengubah UU Pilkada secara cepat ya, mengingat pendaftaran cakada tgl 27-29,” jelas Annisa kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, mengatakan keputusan DPR tersebut memang sulit dibantahkan sebagai upaya untuk mengakomodir Kaesang maju di Pilkada 2024. Apalagi, keputusan Baleg DPR terkesan sangat cepat dan responsif terhadap putusan MK kemarin.
“Apakah ini untuk memuluskan Kaesang? Ini kan persepsi yang tidak bisa dihindari. Pasti publik melihatnya sebagai upaya memuluskan jalan Kaesang,” ujar Musfi kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).
Musfi menekankan putusan MK kemarin sebenarnya ada penekanan kalau tafsiran lanjutan mengenai dijalankan atau tidak akan diserahkan sepenuhnya pada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, balik lagi dengan adanya hasil rapat Baleg DPR RI yang memutuskan berpedoman pada putusan MA, berarti Kaesang dapat maju di Pilgub Jateng.
“Saya kira KPU akan mengambil keputusan berdasarkan hasil sidang Baleg DPR,” ujar dia.
Juru Bicara PDIP, Chico Hakim, melihat adanya upaya membegal putusan MK kemarin dengan RUU baru yang sepertinya akan disahkan secara kilat, hanya demi meloloskan Kaesang.
Dengan begitu, Kaesang dapat melenggang maju sebagai calon kepala daerah dan juga demi mengebiri hak rakyat atas keberagaman pilihan di Pilkada 2024 kali ini.
Chico pun merasa janggal dengan keputusan Baleg. Hal ini karena MK merupakan lembaga hukum tertinggi di Indonesia.
Posisi dari MK adalah mengoreksi dari undang-undang yang dihasilkan oleh DPR. Maka, akan menjadi aneh apabila undang-undang yang sudah dikoreksi oleh MK justru diabaikan atau ditolak oleh DPR.
“Tentu cukup tidak masuk akal apabila sebuah keputusan dari MK kemudian dikoreksi lagi oleh lembaga lain, apapun itu lembaga,” ujar Chico dalam keterangannya, Rabu (21/8/2024).
Chico berharap seluruh pihak patuh pada konstitusi dan menjalankan apa yang sudah menjadi keputusan dari MK.
“Harapan kami tentu DPR tidak akan mencederai demokrasi kita dan juga menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang kemudian pada proses ini adalah yang dikonsultasikan oleh KPU terkait dengan kepentingan mengubah PKPU, sehingga bisa mengikuti apa yang sudah menjadi keputusan dari MK kemarin,” jelas Chico.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto