Menuju konten utama

Menggoyang Novanto: dari Papa Minta Saham Sampai E-KTP

Penetapan Novanto sebagai tersangka dinilai merusak citra lembaga DPR dan memberatkan elektabilitas Partai Golkar.

Menggoyang Novanto: dari Papa Minta Saham Sampai E-KTP
Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/7). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Di ruang sidang paripurna 19 Desember 2015 silam, Setya Novanto mengucapkan pidato dengan mata berkaca-kaca dan kalimat agak terbata. Di akhir pidato suaranya terdengar sedikit parau selaksa orang menahan tangis.

“Mudah-mudahan ini terjadi pada saya tidak terjadi pada anggota yang lainnya. Sekali lagi apa yang saya lakukan akan saya pertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada seluruh anggota DPR republik Indonesia, dan kepada Allah SWT Tuhan yang Maha Kuasa.”

Kalimat itu menjadi pidato terakhir Setya Novanto sebagai ketua DPR sejak dilantik pada 8 Oktober 2014 silam. Pria yang akrab disapa Setnov ini harus merelakan jabatannya karena tersandung skandal rekaman “papa minta saham” yang melibatkan percakapan antara dirinya, pengusaha Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freport Indonesia saat itu Maroef Sjamsuddin.

Setelah mengundurkan diri, bukan berarti karier Novanto tamat. Kurang dari setahun sejak pidato pengunduran diri itu dibacakan, Novanto bahkan dilantik kembali menjadi ketua DPR pada 30 November 2016. Belum genap setahun menjabat kembali sebagai Ketua DPR, Novanto kembali digoyang kasus e-KTP. Ia menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP sehingga posisinya di DPR kembali terancam.

Suara-suara untuk menggoyang kursi DPR 1 milik Novanto tidak hanya datang dari eksternal Partai Golkar tapi juga dari dalam internal partai berlambang beringin itu.

“Dari sisi etika dan moral tentunya akan menjadi terhormat kalau Pak Setnov (sebutan Novanto) melakukan yang serupa ketika beliau sidang di MKD karena masalah rekaman papa minta saham, yaitu mengundurkan diri. Kata Sekretaris Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana kepada Tirto, Rabu (19/7)

Dadang mengakui dalam Undang-Undang U MPR, DPR DPD, dan DPRD (UU MD3) jabatan pimpinan DPR hanya bisa diberhentikan apabila yang bersangkutan sudah meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan oleh Mahkamah Kehornatan Dewan (MKD) yang di antaranya disebabkan vonis pidana lebih dari lima tahun dari pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Posisi ketua DPR adalah posisi puncak yang merepresentasikan lembaga legislatif. Ia mengatakan status tersangka Novanto akan semakin membuat DPR kehilangan marwah dan etika moral dari masyarakat. Namun, Dadang menyerahkan keputusan seutuhnya di tangan Novanto karena secara undang-undang, Novanto berhak untuk mempertahankan posisinya. “Kita tidak bisa memaksakan kehendak dari sisi etika dan moral,” jelas anggota Komisi X DPR ini.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera yang duduk di Komisi I DPR RI Tifatul Sembiring menyampaikan pernyataan senada. Menurutnya posisi pimpinan DPR adalah simbol bagi lembaga DPR. Tifatul tidak ingin status tersangka yang ditetapkan terhadap Novanto menimbulkan kesan bahwa seluruh anggota DPR juga tersangkut dalam kasus korupsi e-KTP.

“Dengan ditetapkannya pak Setya Novanto ini kan mencoreng nama DPR juga dalam tanda kutip,” ujarnya.

Politisi dari PKS ini menambahkan bahwa sudah waktunya bagi DPR untuk melakukan rapat pimpinan yang lebih serius untuk meluruskan isu-isu yang beredar. Kendati demikian, Tifatul tidak serta-merta ingin mengganti posisi Ketua DPR RI, tetapi menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Novanto yang sedang terlibat kasus skandal korupsi e-KTP.

“Jadi pandangan negatif juga menurut saya juga harus diklarifikasi dan juga kepemimpinan DPR,” jelasnya. “Kalau etik, yah kembali lagi ke yang bersangkutan.”

Tidak cuma dirongrong kelompok luar partai, Novanto juga menerima serangan dari kader di internal partainya sendiri. Politikus Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia mengusulkan DPP Partai Golkar segera menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) untuk mendepak Novanto dari posisi ketua umum Golkar. “Jadi tidak ada jalan lain DPP dengan semua perangkatnya termasuk dewan pembina, dewan kehormatan, dan dewan pakar harus segera melakukan rapat untuk mengambil sikap mempersiapkan munaslub,” kata Doli seperti dilansir dari Antara

Doli mengatakan seluruh kader Golkar merasa prihatin atas ditetapkannya Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik.

Namun sebagai kader yang memiliki komitmen yang tinggi harus lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar bagi partai, bangsa, dan negara.

"Oleh karena itu, sejak awal ketika SN disebut namanya di dalam dakwaan pada sidang pertama tersangka Irman dan Sugiharto, saya sudah menyarankan saat itu agar beliau segera mengundurkan diri dan keluarga besar Golkar harus segera menyiapkan diri melakukan pergantian kepemimpinan baru di DPP Golkar," ujar Doli.

Menurut Doli, mundurnya Novanto adalah upaya menyelamatkan partai dari kehancuran. Sebab selama ini nama Novanto kerap disebut dalam sejumlah kasus yang memberatkan citra polisik Partai Golkar.

“Dengan ditetapkannya SN sebagai tersangka saat ini, tidak ada jalan lain, demi menjaga nama partai SN harus mengundurkan diri dari Ketua Umum DPP Golkar dan Ketua DPR RI. Agar citra partai Golkar dan DPR tidak terikut terus merosot,” ujar Doli.

Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung menilai penetapan Novanto sebagai tersangka oleh KPK membawa partai dalam situasi kritis. Menurut Akbar, Golkar harus segera mengambil langkah cepat untuk mengatasi permasalahan kepemimpinan partai. Ia menilai, partai perlu melakukan munaslub terkait penetapan status tersangka korupsi kepada Novanto. “Kalau kepemimpinan partai ya yang paling representatif tentu adalah musyawarah nasional, tepatnya musyawarah nasional luar biasa," kata Akbar.

Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengatakan tidak ada aturan yang mewajibkan Novanto mundur sebelum ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap. Namun melihat kasus yang menjerat Novanto, Mahfud menyarankan Novanto mengundurkan diri dari kursi ketua DPR.

“Tapi kalau secara etis dan tidak mengganggu DPR sebagai lembaga, mungkin secara etis ya (Novanto) bagus mundur juga,” jelas Mahfud kepada Antara.

Baca juga artikel terkait SETYA NOVANTO atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar