tirto.id - Disebut-sebut dalam banyak sekali kasus korupsi, Setya Novanto selalu lolos dari jeratan hukum. Namanya sudah disebut dalam kasus hukum sejak 1999, tak lama setelah reformasi. Dari kasus perbankan, impor beras, hingga megakorupsi macam e-KTP.
Kendati sering disebut dalam kasus-kasus korupsi, akan tetapi karier Novanto malah terus merayap naik. Alih-alih muncul di pengadilan dalam status tersangka, kariernya malah melesat terus. Terakhir, ia sanggup menduduki kembali jabatan Ketua DPR-RI. Ia sempat mundur dari jabatan bergengsi itu karena kasus "Papa minta saham", akan tetapi kemudian berhasil kembali ke jabatan tertinggi itu di parlemen.
Kini, untuk pertama kalinya, Novanto menjadi tersangka. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.
"KPK menetapkan saudara SN anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
KPK menduga Novanto telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan kewenangan dan jabatan yang dia miliki. Dari kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Novanto diduga melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar ini juga pernah muncul dalam sejumlah kasus. Berdasarkan penelusuran Tirto, namanya pertama kali diperbincangkan dalam kasus pengalihan hak piutang (cessie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara sebesar Rp900 miliar pada tahun 1999.
Saat itu, Bank Bali melakukan pengalihan dana lebih dari Rp500 miliar kepada PT. Era Giat Prima, perusahaan milik Setya Novanto, Djoko S. Tjandra, dan Cahyadi Kumala.
Kejaksaan akhirnya mengadili Djoko Tjandra sebagai tersangka utama. Sementara Setnov lolos berkat Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan. Jaksa Agung saat itu, M.A. Rachman, dikenal dekat dengan Partai Golkar.
Pada 2003, namanya kembali mencuat melalui kasus penyelundupan beras impor asal Vietnam. Bersama Idrus Marham, Setya Novanto terbelit skandal penyeludupan beras. Saat itu, perusahaan miliknya, PT. Hexatama Finindo diduga memindahkan 60.000 ton beras yang dibeli Bea Cukai dari Vietnam tanpa membayar pajak dengan nilai semestinya.
Menurut laporan media, bea impor yang dibayarkan cuma untuk 900 ton beras. Setya Novanto diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada 2006. Kasus tersebut lalu meredup tanpa ada langkah hukum lanjutan.
Pada 2004, Setnov kembali diberitakan dalam skandal impor limbah beracun dari Singapura ke Batam. Pihak pengimpor, yakni PT. Asia Pasific Eco Lestari (APEL) saat itu dimiliki oleh Setya Novanto. Ia mengaku sudah mengundurkan diri pada 2003. Namun, dalam dokumen milik PT APEL yang tertanggal 29 Juni 2004, Setyo Novanto disebut sebagai pihak yang menandatangani nota kerja sama dengan perusahaan Singapura. Kontrak yang dijalin PT APEL dengan pihak Singapura bahkan menyebut jumlah 400 ribu ton pupuk alias limbah yang akan diimpor ke Indonesia.
Lama tak terdengar, tahun 2012 nama Setnov kembali mencuat melalui skandal suap pembangunan sarana PON XVII di Riau. Saat itu Setya Novanto diperiksa oleh KPK sebagai saksi atas tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal. Agustus 2013 Setya Novanto diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi atas tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal.
Tahun 2015, nama Setya Novanto muncul dalam kisruh perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia di Papua. Dia disebut meminta saham PT Freeport Indonesia sebesar 20 persen dan meminta jatah 49 persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, Papua pada Freeport dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Isu ini muncul setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD pada 16 November 2015.
Yang terakhir, Setnov terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Pada 2013, Setnov disebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarudin, terlibat dalam korupsi pengadaan e-KTP. Ia pertama kali diperiksa KPK pada Desember 2016. Pada Maret 2017 Setya Novanto disebut terlibat dalam kasus korupsi e-KTP dan mendapatkan jatah Rp 574 miliar dari total nilai proyek e-KTP. Ia diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun. Kasus ini kemudian menyeretnya sebagai tersangka.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto