tirto.id - Setya Novanto memang politisi kawakan. Pria kelahiran Bandung 62 tahun itu telah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar sejak 1999. Sepanjang itu pula, bapak empat anak yang akrab dipanggil Setnov itu beberapa kali disebut terlibat dalam pelbagai skandal kasus korupsi di negeri ini.
“Ini pertaruhan nyata bagi Partai Golkar. Akankah ikut dan turut pada suara rakyat atau suara elite-elite partai dengan mengabaikan moralitas dan integritas publik yang selama ini marah dengan berbagai macam praktik korupsi yang dikait-kaitkan dengan saudara Setya Novanto,” kata Donal Fariz, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Tirto, 23 November 2016.
Kasus pertama yang memunculkan nama Setnov tak lain ialah mega skandal Bank Bali senilai Rp904 miliar pada 1999. Kasus ini bermula ketika Rudy Ramli, pemilik Bank Bali, kesulitan menagih piutang senilai Rp3 triliun kepada Bank Dagang Negara Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara.
Rudy kemudian menyewa PT Era Giat Prima (PT EGP) yang direktur utamanya dijabat Setya Novanto. Saat itu Setya Novanto juga menjabat bendahara Partai Golkar. Pada Januari 1999, pimpinan PT EGP menandatangani penunjukan penagihan cessie Bank Bali.
Proses penagihan cessie belakangan menjadi tindak pidana korupsi karena fee yang diperoleh PT EGP hampir separuh dari piutang yang ditagih. Persoalan menjadi rumit karena PT EGP ternyata menggunakan kekuatan politik guna memperlancar penagihan.
Belakangan, Setnov dan sejumlah politisi partai beringin yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan, juga Wakil Direktur Utama Bank Bali, bersekongkol agar BI dan BPPN sepakat mengucurkan dana kepada Bank Bali sebesar Rp905 miliar. Namun, Bank Bali ternyata hanya menerima Rp359 miliar. Sisanya, Rp 546 miliar atau sekitar 60 persen, justru masuk ke rekening PT EGP.
Sebanyak sepuluh orang termasuk Setnov ditetapkan menjadi tersangka, tetapi hanya tiga orang yang dijatuhi hukuman penjara. Mereka adalah Joko Tjandra (Direktur PT EGP), Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), dan Pande N Lubis (mantan Wakil Kepala BPPN).
Setya Novanto lolos dari jerat hukum setelah Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas pada 18 Juni 2003.
Ruang Kerja Setya Novanto Digeledah KPK
Nama Setnov kembali muncul dalam kasus korupsi setelah muncul pengakuan Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, yang kini masih menjadi terpidana korupsi Wisma Atlet Sea Games Palembang.
Nazaruddin menyebut Setnov sebagai salah satu pengendali proyek e-KTP untuk tahun anggaran 2011-2012. Nazaruddin bahkan menyebut ada aliran dana ke sejumlah anggota DPR termasuk Setnov. Sedangkan Setnov, menurut Nazaruddin, menerima uang yang diperkirakan sekitar Rp300 miliar.
Sebelumnya, pada 2005, nama Setnov muncul terkait penyelundupan 60 ribu ton beras Vietnam yang perkaranya ditangani Kejaksaan Agung. Saat itu perusahaan milik Setnov, PT Hexatama Finindo, memindahkan 60 ribu ton beras Vietnam dari Bea Cukai tanpa membayar pajak dengan nilai yang sebenarnya. Perusahaan hanya membayar 900 ton beras. Setnov diperiksa Kejagung pada 2006. Sayang, kasusnya menghilang begitu saja.
Tak hanya pangan, Setnov ternyata pernah tersangkut kasus impor limbah beracun dari Singapura ke Batam pada 2004. Kasus mencuat ke permukaan pada 2006 ketika lebih dari 1.000 ton limbah beracun asal Singapura mendarat di Pulau Galang.
Uji laboratorium oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) menunjukkan limbah yang dikamuflase sebagai pupuk organik itu mengandung tiga jenis zat radioaktif, yaitu Thorium 228, Radium 226, dan Radium 228. Kadarnya berbahaya karena 100 kali lipat batas normal.
Pupuk organik palsu itu diimpor oleh PT. Asia Pasific Eco Lestari (APEL) yang dimiliki Setnov. Begitu kasus limbah impor muncul ke permukaan, Setnov mengaku sudah mengundurkan diri dari APEL sejak 2003. Meskipun di dalam dokumen milik PT APEL tertanggal 29 Juni 2004, Setnov menjadi pihak yang menandatangani nota kerja sama dengan perusahaan Singapura. Di dalam kontrak disebutkan perusahaan asal Singapura mengirim 400 ribu ton pupuk organik ke Batam.
Sebagai pengusaha, Setnov dikenal sebagai salah satu didikan konglomerat Sudwikatmono. Bahkan Sudwikatmono pernah menyebut Setnov sebagai pengusaha yang memiliki kemampuan lobi di atas rata rata, meskipun kurang matang.
Skandal suap lain yang membuat petugas KPK memeriksa ruang kerja Setnov di DPR terjadi dalam skandal suap pembangunan sarana PON XVII di Riau. Muhammad Nazaruddin saat bersaksi di persidangan bahwa Setnov terlibat dalam kasus korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON Riau 2012.
Setnov yang dekat dengan kalangan KONI menggunakan pengaruh untuk menekan Komisi X DPR yang membidangi olahraga agar memuluskan anggaran Pekan Olahraga Nasional (PON) dari APBN.
Pada 19 Maret 2013, petugas KPK menggeledah ruang kerja Setnov untuk mencari barang bukti. Setnov pada akhirnya hanya diperiksa sebagai saksi dengan tersangka utama mantan Gubernur Riau Rusli Zainal.
Kasus paling mutakhir yang melibatkan Senov, tentu saja, skandal “Papa minta saham”. Pada rekaman pertemuan antara Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, dengan Setnov dan pengusaha Riza Chalid, Setnov bahkan dituding telah mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
Terkait tudingan itu, Setnov membantah. "Tentu saya melihat di media bahwa saya membawa atau mencatut nama presiden. Tapi yang jelas presiden, wapres adalah simbol negara yang harus kita hormati dan kita lindungi," katanya di Gedung DPR, 17 November 2015.
Setnov tampaknya memang digdaya. Mahkamah Konstitusi bahkan telah mengabulkan judicial review yang dia ajukan terkait rekaman yang dijadikan alat bukti dalam skandal “Papa minta saham”. Dan kini, Setnov bahkan bermanuver untuk merebut kembali jabatan Ketua DPR yang pernah ditempatinya saat terancam dieksekusi oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti