Menuju konten utama

Menguji Logika MK soal Putusan Uji Formil Perppu Cipta Kerja

Perppu Cipta Kerja dinilai bisa dibatalkan oleh MK selama UU tersebut bertentangan dengan proses pembentukannya.

Menguji Logika MK soal Putusan Uji Formil Perppu Cipta Kerja
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/10/2023). Majelis hakim MK menolak permohonan para pemohon untuk perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Salah satu pemohonnya adalah Partai Buruh yang dipimpin Said Iqbal dan Ferri Nuzarli selaku Presiden dan Sekjen Partai Buruh.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan putusan perkara bernomor 50/PUU-XXI/2023 tentang pengujian formil UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, Senin (2/10/2023).

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menolak permohonan karena menilai dalil pemohon sudah diputus dalam perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 tentang definisi sidang berikut sebagaimana permohonan a quo. Mahkamah juga menilai proses persetujuan Perppu 2/2022 tidak dalam persidangan masa berikutnya setelah Perppu ditetapkan sehingga dianggap bertentangan dengan Pasal 22 ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat 1 UU 12 tahun 2011 tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah juga menilai dalil pemohon bahwa pembentukan UU 6/2023 adalah persekutuan dan pembangkangan pemerintah dan DPR terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang putusan uji materi Undang-Undang 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mahkamah menilai dalil pemohon tidak beralasan secara hukum.

Mahkamah juga menilai tudingan bahwa Perppu Ciptaker tidak memenuhi syarat penerbitan Perppu akibat tidak memenuhi unsur kegentingan tidak beralasan. Hal itu sesuai putusan 54/PUU-XXI/2023 yang menyinggung soal definisi kegentingan dalam UU 6 tahun 2023.

Meskipun amar menolak secara hukum, Mahkamah memberikan amar provisi agar uji materi bisa dilanjutkan. “Menyatakan untuk melanjutkan pemeriksaan pengujian materiil dalam perkara a quo," ujar Anwar.

Pengujian formil dan materiil pada Perppu Cipta Kerja ini mengingatkan kembali bagaimana upaya buruh dan sejumlah lembaga masyarakat sipil dalam menghadapi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Sebelumnya, masyarakat sipil termasuk buruh melakukan perlawanan terhadap pengesahan undang-undang yang disahkan pada 5 Oktober 2020 dan diundangkan pada 2 November 2020.

Penolak UUCK pun sedikit bernapas lega ketika MK lewat putusan 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UUCK berstatus inkonstitusional bersyarat karena melanggar UUD. UUCK dinyatakan tidak lagi berlaku jika pemerintah tidak melakukan perbaikan serta mengakomodir sistem perundang-undangan lewat metode omnibus, yakni metode perubahan berbagai undang-undang lewat satu undang-undang.

DPR dan pemerintah lantas bergerak cepat. Mereka langsung merevisi UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dengan memasukkan omnibus sebagai upaya perubahan perundang-undangan. Revisi undang-undang tersebut lantas disahkan lewat UU Nomor 13 tahun 2022.

Selain itu, beredar spekulasi DPR mengganti hakim Aswanto, salah satu hakim konstitusi yang disebut kerap kontra dengan DPR. Aswanto adalah satu dari tiga hakim MK yang diusulkan DPR. Hal itu tidak lepas dari permintaan hakim MK sebagai amanat uji materi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Jelang dua tahun putusan MK, Jokowi kemudian menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Peraturan tersebut dikeluarkan dengan dalil alasan mendesak. Setidaknya ada sejumlah hal yang dimasukkan, antara lain soal upah minimum ketenagakerjaan, pengaturan soal alih daya, harmonisasi perundang-undangan, pengelolaan air, hingga rujukan undang-undang.

Masyarakat pun melakukan perlawanan. Kelompok buruh juga sempat melakukan pengepungan pada 28 Februari 2023. Salah satu tudingannya adalah mereka menilai DPR dan menteri tidak paham menjalankan tugas sebagai pejabat negara dan terkesan abuse of power.

Akan tetapi, penolakan tersebut tidak didengar DPR dan pemerintah. Sebab, DPR dan pemerintah kompak mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU pada 21 Maret 2023. Publik lantas mengkritik posisi DPR yang seperti stempel pemerintah. Hal inilah yang membuat uji formil Perppu Cipta Kerja diajukan ke MK.

Logika MK Dipertanyakan

Setelah mendengar putusan hakim, Said Iqbal selaku Presiden Partai Buruh mengkritik logika mahkamah yang menilai permohonan mereka cacat formil.

Said Iqbal menjabarkan, Partai Buruh menduga adanya kejanggalan berbau politis dalam putusan gugatan yang hari ini dibacakan. Menurutnya, empat hakim yang disenting opinion menandakan adanya konspirasi politik mengubah dari lima hakim setuju menjadi empat hakim setuju.

“Kami akan melaporkan ke pengawas MK agar periksa semua hakim MK yang bersidang hari ini, terutama lima yang menolak,” kata Said Iqbal usai MK membacakan putusan.

Organisasi masyarakat sipil juga mengkritik soal putusan MK, salah satunya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur sebut, para hakim yang menolak putusan menunjukkan pembangkangan politik.

“Putusan ini sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan pengkhianatan nyata para hakim MK (yang mempertahankan UU inkonstitusional ini) terhadap demokrasi dan konstitusi. Putusan ini adalah hal yang memalukan mengingat MK mengingkari sendiri putusan sebelumnya yang mengatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (3/10/2023).

Isnur mengritik pandangan MK yang membenarkan alasan kegentingan memaksa dalam pembentukan Perppu Cipta Kerja dengan menggunakan alasan pertimbangan krisis global yang berpotensi menggangu perekonomian Indonesia. Hal itu tidak lepas dari pengaruh perang Rusia-Ukraina dan krisis ekonomi akibat COVID. Ia menilai Perppu Cipta Kerja lah yang merusak situasi global.

“Padahal dengan adanya UU Cipta Kerja, rakyatlah yang justru ditenggelamkan dalam situasi krisis. Peraturan mengenai pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel dan dihilangkannya hak-hak dasar semakin membuat buruh tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya. UU Cipta Kerja yang kurang lebih sudah berjalan dalam kurun 3 tahun ini juga telah memperparah krisis agraria dan ketimpangan penguasaan lahan,” kata Isnur.

Isnur juga menekankan, UU Cipta Kerja telah menjadi alat untuk melegitimasi praktik bisnis yang merusak lingkungan. Ia juga menuding kekayaan oligarki meningkat akibat UU Cipta Kerja.

“Maka, dukungan MK terhadap alasan ‘kegentingan yang memaksa’ secara langsung mendukung penindasan oligarki terhadap rakyat tertindas di negeri sendiri,” kata Isnur.

Isnur juga menyayangkan pengabaian fakta soal partisipasi bermakna dalam putusan uji formil Perppu Cipta Kerja. Ia menilai pandangan MK menandakan membenarkan praktik orkestra culas pemerintah dan DPR yang dinilai menginjak demokrasi. Putusan tersebut juga menegaskan posisi MK yang tidak konsisten dengan putusan sebelumnya dalam UU Cipta Kerja.

Isnur juga mengaitkan putusan tidak lepas dari pengaruh hakim dalam putusan masa lalu yang melakukan dissenting opinion, antara lain: Anwar Usman (Ipar Presiden Jokowi), Arif Hidayat, Daniel Yusmic, Manahan MP Sitompul ditambah dengan Hakim Guntur Hamzah. YLBHI mengaitkan soal nasib hakim Aswanto yang ditarik ilegal oleh DPR.

“Kelima hakim tersebut unggul suara melawan 4 hakim MK yang sebelumnya mengabulkan permohonan uji formil dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Keempat orang hakim MK itu ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo. Nyatanya, keberpihakan 4 hakim MK terhadap UUD 1945 dan rakyat tersebut tak cukup kuat untuk membendung siasat licik para oligarki,” kata Isnur.

Oleh karena itu, Isnur menegaskan, putusan MK yang mempertahankan UU Cipta Kerja bukti robohnya independensi hakim dan bentuk konkret pengkhianatan MK terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi. YLBHI juga menilai putusan MK soal Perppu Cipta Kerja adalah hasil tangan Jokowi.

Ia juga mendorong agar rakyat melakukan perlawanan untuk membatalkan UU Cipta Kerja. “Menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan konstitusional dan jalanan dengan aksi-aksi massa guna membatalkan UU Cipta Kerja maupun peraturan atau kebijakan negara yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM dan negara hukum,” kata Isnur.

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Illahi juga mengritik putusan MK. Ia menilai, MK tidak konsisten dalam UU Cipta Kerja karena MK sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun, MK malah melegalkan Perppu sebagai UU Nomor 6 tahun 2023.

“Perbaikan secara menyeluruh tidak dilakukan oleh pemerintah dan DPR, justru mengeluarkan Perppu dan kemudian dalam waktu yang amat singkat menjadikan Perppu menjadi Undang-Undang 6/2023. Secara konteks waktu MK harusnya menegur bahkan menghukum cara berhukum pemerintah dan DPR dalam memperbaiki UU a quo,” kata Beni, Selasa (3/10/2023).

Selain itu, Beni mengkritik soal logika MK dalam definisi kondisi darurat dalam Perppu MK. Ia menilai, MK memberikan pembenaran atas keterlambatan pengesahan Perppu Cipta Kerja. Ia menilai DPR dan pemerintah serampangan dalam mengeluarkan Perppu. Ia justru menganggap aksi tersebut sebagai penyelundupan hukum karena definisi kegentingan sudah diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK sebelumnya terkait ihwal kegentingan memaksa.

Senada dengan Isnur, Beni juga melihat ada hakim yang berpihak pada kepentingan penguasa dan kepentingan publik. Hal ini tidak lepas dari UU Cipta Kerja kerap dikatikan dengan kepentingan pemilik modal.

Dalam kacamata Benni, Perppu bisa dibatalkan oleh MK selama UU tersebut bertentangan dengan proses pembentukannya. Ia pun membuka peluang MK sebaiknya membatalkan Perppu jika memang ada kekeliruan dalam proses pembentukan undang-undang.

“Kekeliruan pemerintah dalam pembentukan Perppu juga merupakan bagian dari masalah formil. Karena tidak ada ruang secara hukum bagi pemerintah dan DPR untuk menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat. Sehingga Perppu tersebut tidak sah secara formil dan dapat dibatalkan untuk keseluruhannya," kata Beni.

Baca juga artikel terkait UJI FORMIL UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz