tirto.id - Keputusan Partai Gerindra mengusung Ahmad Riza Patria bersama Marshel Widianto di Pilwalkot Tangerang Selatan (Tangsel) mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, Riza dikenal sebagai politikus senior Gerindra yang bahkan sudah pernah menjadi wakil gubernur DKI Jakarta. Keputusan partai berlambang garuda itu memasangkan Riza dengan Marshel, kader muda yang juga seorang komedian, tak ayal memantik rasa penasaran.
Tidak sedikit yang beranggapan Riza ‘turun kelas’ dengan maju sebagai bakal calon wali kota Tangsel. Selain pernah mendampingi Anies Baswedan kala memimpin DKI Jakarta, pria berusia 54 tahun itu juga sempat menjabat sebagai wakil ketua Komisi II dan V DPR RI.
Analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, beranggapan, selama itu tugas dari partai, maka Riza akan selalu manut dan loyal. Kader tidak bisa menolak komando yang diberikan partai karena akan ada konsekuensi politik yang harus ditanggung.
Ujang memandang keputusan menempatkan Riza-Marshel memang strategi yang sudah dipikirkan masak-masak oleh Gerindra. Sebab, ada kemungkinan Gerindra dan Golkar akan berseberangan jalan di Pilwalkot Tangsel.
Di Pilwalkot Tangsel, partai berlambang beringin itu justru berencana mengusung calon dari petahana, Benyamin Davnie dan Pilar Saga Ichsan. Sebelumnya, Gerindra dan Golkar ada di gerbong koalisi yang sama saat Pilpres 2024, yaitu Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Ini strategi Gerindra melawan petahana yang kuat. Selama ini kan dianggap Tangsel tidak ada lawan, akan melawan kotak kosong atau calon boneka,” kata Ujang kepada reporter Tirto, Selasa (9/7/2024).
Lebih lanjut, kata dia, Gerindra dianggap memiliki kepercayaan diri yang kuat setelah pimpinannya, Prabowo Subianto, berhasil memenangkan Pilpres 2024. Hal itu otomatis membuat Gerindra memiliki titel sebagai partai utama pemerintahan selanjutnya.
“Gerindra itu partainya presiden terpilih yang memerintah saat Pilkada 2024 dilaksanakan. Tangsel bisa jadi salah satu daerah strategis yang harus diambil oleh Gerindra,” ujar Ujang.
Pisah jalan antara Gerindra dan Golkar di Pilwalkot Tangsel juga dianggap bisa jadi sebuah strategi. Artinya, kata Ujang, siapa pun pemenangnya nanti, tetap partai dari KIM yang akan menguasai Tangsel.
Kedua partai juga tampaknya akan berhadap-hadapan dalam Pilgub Banten. Golkar kukuh mengusung mantan Wali Kota Tangsel, Airin Rachmi Diany, sebagai bakal calon gubernur Banten. Adapun Gerindra, mengklaim mendapat penolakan ketika menawarkan kadernya sekaligus Ketua DPRD Banten, Andra Soni, sebagai bakal calon wakil gubernur dari Airin.
Alhasil, Gerindra bersama sejumlah parpol lain di KIM, mengusung Andra Soni dan anggota DPR Fraksi PKS, Dimyati Natakusumah, di Pilkada Banten. Belakangan, parpol dari KIM mengklaim pisah jalan Gerindra dan Golkar di Banten tidak menggoyahkan soliditas koalisi.
“Banyak daerah membebaskan KIM mendukung masing-masing kadernya, jadi tidak aneh antara Golkar dan Gerindra mengusung kader sendiri. Ini juga strategi juga karena siapa pun yang menang nanti tetap kubu KIM,” jelas Ujang.
Ujian Loyalitas
Analis politik dari Trias Politika, Agung Baskoro, menilai keputusan Gerindra menempatkan Riza-Marshel di Pilwalkot Tangsel adalah sebuah ujian loyalitas. Menurut Agung, tidak ada istilah turun kelas di arena politik sebab keputusan diambil lewat berbagai pertimbangan.
“Sehingga arahan Riza maju di Tangsel merupakan arahan positif untuk memastikan dia punya tanggung jawab tetap memimpin melayani masyarakat sekaligus mengikuti instruksi partai secara utuh,” kata Agung kepada reporter Tirto.
Agung sendiri tak menampik bahwa ada kemungkinan Gerindra dan Golkar saling berbeda kubu di Pilwalkot Tangsel. Dia memandang, koalisi dalam palagan pilpres memang belum tentu harus dipaksakan parpol untuk serupa di pilkada serentak pada November 2024.
“Karena setiap daerah punya kearifan lokal dan kebijakan sendiri. Maka punya nalar yang tidak bisa dipaksakan karena akan membuat parpol menjadi kerdil,” terang Agung.
Agung memandang memang butuh upaya ekstra dari Riza dan Marshel untuk bisa menarik hati masyarakat Tangsel. Terlebih, bakal lawan yang akan mereka hadapi adalah petahana yang saat ini menjabat sebagai wali kota dan wakilnya, Benyamin-Pilar.
Jika Riza-Marshel maju Pilwalkot Tangsel sebatas pasangan politik tanpa banyak melakukan kebaikan dan kinerja konkret di masyarakat, tentu paslon ini mengundang sentimen negatif. Imbasnya, sentimen negatif paslon menular pada Gerindra serta parpol-parpol pengusung.
“Apalagi Tangsel pemilihnya adalah terdidik dan didominasi kelas menengah yang melek masalah. Sehingga tuntutan Ahmad Riza dan Marshel akan tinggi,” ucap Agung.
Sementara itu, Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut sebagai partai pengusung pertama yang mendukung Riza-Marshel, pihaknya sudah melakukan komunikasi politik dengan parpol lain. Ia klaim rekomendasi untuk Riza-Marshel datang dari parpol yang tergabung serta di luar KIM.
“Bukan cuma komunikasi, kita sudah pegang beberapa rekomendasi dari partai politik,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/7/2024).
Dasco turut menyatakan, keputusan menempatkan Riza di Tangsel merupakan garis partai. Riza sendiri memang sempat digadang-gadang maju Pilgub Jakarta. Menurut Dasco, Riza merupakan sosok kader yang tegak lurus dengan perintah partai.
“Kalau Pak Riza sebagai kader partai tentunya akan selalu ikut garis dan arahan partai, ketika ditugaskan di mana saja. [Sehingga] ketika kemudian ditugaskan di Tangsel, ya, Pak Riza menyatakan siap,” tutur Dasco.
Wakil Ketua DPR itu menegaskan bahwa Gerindra siap menang atau kalah di Tangsel. Dasco mengaku, keputusan untuk mengusung Riza-Marshel di Pilwalkot Tangsel sudah melalui kalkulasi politik terlebih dulu.
“Kita juga sudah hitung, kemudian lakukan observasi, dan kita punya strategi yang nanti kita akan jalankan di Pilkada Tangsel. Kita akan berusaha maksimal untuk kemudian memenangkan pilkada," jelas Dasco.
Di sisi lain, komedian Marshel Widianto mengaku makin percaya diri usai Gerindra mengumumkan dirinya bakal mendampingi Riza Patria maju di Pilwalkot Tangsel. Sebab, kata Marshel, banyak pihak yang skeptis saat Gerinda merekomendasikan dia maju sebagai bakal kandidat Pilwalkot Tangsel.
“[Tapi] Dengan adanya Abang Ariza Patria itu bisa membuat saya lebih pede lagi karena memang saya bisa belajar,” kata Marshel di Studio SYP Trans 7, Jalan Kapten Tendean, Mampang, Jakarta Selatan, Senin (8/7/2024).
Marshel tak ragu dengan kiprah Riza Patria yang telah lama melanglang buana di dunia politik. Ia janji akan belajar banyak dengan Riza Patria.
“Beliau [Riza Patria] sudah bergelut di dunia politik, kan, sudah lama, saya bisa belajar dari dia bagaimana caranya biar saya bisa setidaknya, ini, kan, jomplang, ya, tapi saya bisa belajar biar bisa berubah, berubah berubah, dan akhirnya bisa jadi yang terbaik,” tutur Marshel.
Imbas Kebuntuan Gerindra-Golkar
Analis politik dari Populi Center, Usep S. Ahyar, memandang pasangan Riza-Marshel muncul karena kebuntuan antara Golkar dan Gerindra di Pilkada Banten. Imbas dari hal itu, kemungkinan besar Golkar dan Gerindra bakal tetap berseberangan pada sebagian besar kontestasi pilkada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten.
“Gerindra berupaya melawan koalisinya Golkar di wilayah Banten. Memang terasa Gerindra melawan Golkar tingkat provinsi, seperti sapu bersih juga di tingkat bawah [kabupaten/kota]. Masalahnya, Gerindra kekurangan kader kuat di kabupaten/kota,” ujar Usep kepada reporter Tirto, Selasa (9/7/2024).
Menurut Usep, munculnya Riza-Marshel turut menandakan Gerindra sebetulnya kekurangan kader kuat untuk diusung di tingkat kabupaten/kota wilayah Provinsi Banten. Usep menilai keputusan Gerindra merekomendasikan Marshel terkesan asal dan menjadi kurang serius untuk melawan petahana dari Golkar di Tangsel.
“Saya menduga Marshel untuk dipasang dari sisi popularitasnya. Memang modal, tapi tidak serta merta popularitas itu dibarengi elektabilitas,” terang Usep.
Usep memandang seharusnya tokoh seperti Riza bisa lebih kuat jika disandingkan dengan sosok yang menjadi vote getter. Sosok semacam itu tidak hanya memiliki popularitas tinggi, namun juga punya elektabilitas yang mumpuni.
Di sisi lain, Gerindra diduga menilai Riza bakal lebih potensial maju di Tangsel daripada disodorkan berlaga di Pilkada Jakarta. Pertimbangannya, kata Usep, pemilih di Tangsel memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan Jakarta.
“Catatannya maka tidak mudah, karena persoalannya bukan cuma masalah popularitas tapi elektabilitas. Seperti asal ini [di Tangsel] untuk menyaingi Golkar, terus dipasang siapa saja di Banten jadinya,” terang Usep.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menilai pasangan Riza-Marshel tercipta karena efek deadlock parpol KIM di Banten. Terutama, kata dia, tidak adanya titik temu antara Golkar dan Gerindra.
“Golkar ada kecenderungan akan mengusung kader mereka Benyamin-Pilar untuk yang kedua kalinya. Dan tak ada ruang bagi partai lain di KIM untuk duet dengan jagoan Golkar,” kata Adi kepada reporter Tirto.
Menurut Adi, Gerindra punya alasan kuat memajukan Marshel mendampingi Riza. Misalnya, Gerindra sangat yakin mesin politik mereka di Tangsel mampu melawan dominasi jagoan Golkar.
Di sisi lain, potensi perang saudara antara Golkar dan Gerindra memang berpotensi terjadi di Pilkada Jakarta dan sekitarnya. Langkah Gerindra mengusung Marshel disebut sebagai upaya mereka mendongkrak elektabilitas di Tangsel.
“Sebagai pemenang pilpres, sepertinya Gerindra punya level of confidence cukup tinggi untuk menang sekalipun calon yang diusung belum terlampau kompetitif. Memajukan Marshel ada keyakinan akan meningkatkan elektabilitas,” terang Adi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz