tirto.id - Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus sistem kerja alih daya atau outsourcing, yang jadi salah satu tuntutan buruh dalam perayaan May Day 2025. Bahkan, ia meminta Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional—yang akan dibentuk dalam waktu dekat—untuk menjalankan agenda tersebut secepat-cepatnya.
Meski demikian, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan penghapusan sistem alih daya masih memerlukan kajian dan evaluasi mendalam. Sebab, kendati sistem tersebut tak menjamin peningkatan karier serta mendorong peningkatan kualitas pekerja, sistem outsourcing berkelindan dengan kepentingan dan kebutuhan para pemilik usaha.
Lagi pula, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 168 tahun 2023, sistem alih daya dalam Undang-Undang Cipta kerja masih dianggap sah dan konstitusional. "Jadi tentu kita akan berangkat dari regulasi. Tadi ada harapan Pak Presiden, regulasi. Tentu nanti prosesnya juga harus meaningful participation," ujar Yassierli.
Komitmen Prabowo yang disampaikan dalam Perayaan Hari Buruh di Monas, Kamis (1/5/2025), itu mendapat dukungan penuh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Di era saat ini, hematnya, sistem kerja alih daya mirip dengan praktik perbudakan modern.
Ia memandang hanya ada lima jenis pekerjaan yang masih bisa menerapkan model outsorucing, yakni jasa catering, cleaning service, sopir (driver), serta jasa pertambangan mineral dan minyak. “Kontrak karyawan harus dibatasi. Kalaupun outsourcing masih ada, hanya lima jenis pekerjaan,” ungkapnya usai perayaan Hari Buruh.
Dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia, outsourcing merupakan istilah yang mengacu pada penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dengan perjanjian pemborongan secara tertulis. Namun, dalam implementasinya, pola kerja ini dianggap merugikan buruh karena perusahaan kerap memberlakukan sistem kontrak tanpa adanya insentif atau upah lebih, perlindungan kerja minimal, hingga tidak adanya kepastian jenjang karier.
Buku ‘Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Metal di Indonesia’ (Indrasari Tjandraningsih dkk) mengungkap salah satu contoh praktik buruk tersebut, di mana upah para pekerja alih daya industri metal lebih rendah 26 persen dari pekerja tetap untuk jenis pekerjaan dan masa kerja yang sama.
Pun demikian, outsourcing memiliki pasarnya sendiri. Menurut Statista, dalam laporan berjudul ‘Business Process Outsourcing–Indonesia’, bisnis alih daya di Indonesia diperkirakan akan mengantongi pendapatan 1,93 miliar dolar AS atau sekitar Rp32,52 triliun (asumsi kurs Rp16.850 per dolar AS) pada 2025. Jumlah itu masih jauh lebih rendah dibanding Amerika Serikat—pasar tenaga outsourcing terbesar di dunia—yang ditaksir mencapai revenue 152,81 miliar dolar AS di tahun ini.
Resistansi Pengusaha
Dari sisi pengusaha, ikrar Prabowo kepada para buruh tersebut mendapatkan resistansi. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, menilai outsourcing tak bisa sembarangan dihapus karena dibutuhkan di bidang atau sektor tertentu. Jangan sampai, kata dia, niat memperbaiki kehidupan buruh malah akan mengurangi kesempatan kerja masyarakat Indonesia. Apalagi, sampai saat ini fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih saja terjadi.
“Kami harapkan juga menjadi salah satu materi yang harus dilakukan hal-hal yang sangat teliti. Jadi, untuk itu masalah ini menurut hemat kami, ini perlu suatu diskusi yang memang perlu dihapus atau tidak,” jelasnya, kepada Tirto, Minggu (4/5/2025).
Di sisi lain, pembahasan mengenai penghapusan sistem outsourcing juga penting untuk dilakukan dua arah dengan melibatkan pekerja dan pemberi kerja. Dus, diharapkan akan ada jalan keluar dan jawaban yang tepat atas masalah-masalah yang berkaitan dengan isu kesejahteraan pekerja.
“Kalau misalkan yang menjadi aspirasi dari pekerja-pekerja kita bahwa dengan outsourcing ada kekhawatiran bahwa ini katakanlah upahnya murah, kemudian gampang di-PHK, saya rasa ini bisa diadopsi dalam aturan-aturan yang baru nanti, supaya berbagai kekhawatiran itu bisa diperjelas dan dipertegas, diberikan guarantee dalam UU Ketenagakerjaan yang baru,” tutur dia.
Pendapat serupa disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Haykal Hubeis. Ia menegaskan, sektor andalan dan strategis seperti pertambangan dan industri hilirisasi mineral akan mengalami dampak langsung jika kebijakan penghapusan alih daya tak dilakukan hati-hati.
Sebab, industri pengolahan dan pemurnian mineral mengandalkan alih daya untuk efisiensi operasional, khususnya pada pekerjaan non-inti (non-core) seperti perawatan (maintenance), keamanan, dan logistik.
“Apakah dengan penghapusan outsourcing itu tidak menurunkan daya saing, efisiensi dan produktivitas Mengingat potensi tambang dan hilirisasi sejak beberapa tahun lalu sampai beberapa tahun ke depan masih menjadi andalan penerimaan negara dan masih berpotensi besar untuk terus dikembangkan dan terpenting level kompetitif di sektor ini jangan sampai terganggu,” jelas Haykal, saat dihubungi Tirto.
Pengusaha, menurutnya, justru akan lebih setuju jika pemerintah berniat membenahi regulasi outsourcing agar lebih akuntabel, adil dan sesuai kondisi masa kini—meski tetap memerlukan kajian mendalam dan pertimbangan matang, apakah keputusan tersebut tepat diambil di masa ekonomi yang sulit seperti ini.
“Perlu dikaji dan dipertimbangkan matang dalam semua aspek termasuk momentumnya pas atau tidak?” sambung Haykal.
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, mengatakan dampak penghapusan sistem outsourcing dalam industri pertambangan akan tergantung dari sudut pandang dan konteks kebijakan serta implementasinya.
Meski dinilai dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja, kebijakan ini perlu memperhatikan kepastian stabilitas pekerjaan serta peningkatan loyalitas dan produktivitas di masa depan.
“Penghapusan outsourcing dapat memperjelas hubungan kerja dan tanggung jawab, baik dari sisi legal maupun operasional; peningkatan citra perusahaan; kepatuhan terhadap prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) akan meningkat, terutama aspek ‘S’ (sosial), yang penting untuk investor internasional,” terangnya kepada Tirto, Minggu (4/5/2025).
Sebaliknya, penghapusan sistem outsourcing akan menaikkan biaya operasional perusahaan tambang karena adanya lonjakan biaya tenaga kerja, utamanya untuk pekerjaan non-core. Sebab, ketika tenaga outsourcing mendapat status sebagai karyawan kontrak atau tetap, perusahaan harus menyediakan tunjangan, pelatihan dan fasilitas tambahan untuk mereka.
Lonjakan biaya itu pun berpotensi menurunkan fleksibilitas operasional, sehingga ada potensi perusahaan akan menyesuaikan skala operasional yang mendorong terjadinya efisiensi dalam hal ketenagakerjaan. Selain itu, pengelolaan tenaga kerja yang lebih besar membutuhkan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih kompleks dan biaya administrasi tambahan.
“Beberapa perusahaan outsourcing sangat spesialis dan efisien dalam menjalankan tugas tertentu. Menginternalisasi fungsi tersebut bisa membuat biaya dan waktu penyelesaian meningkat,” imbuh Djoko.
Dalam hal ini, ketika sistem outsourcing dihapus akan ada banyak perusahaan penyedia jasa (vendor pertambangan) bisa kehilangan kontrak dan mengalami penurunan bisnis, bahkan gulung tikar. Pada akhirnya, wacana ini dapat menimbulkan efek domino terhadap Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang menjadi bagian dari ekosistem industri pertambangan juga bisa terjadi.
“Penghapusan outsourcing tidak harus bersifat total. Pemerintah atau perusahaan bisa menetapkan batasan tegas: outsourcing hanya untuk pekerjaan non-core, seperti kebijakan sebelumnya di Indonesia. Hal ini menjaga keseimbangan antara efisiensi perusahaan dan perlindungan tenaga kerja,” tegas Djoko.
Pakar Pertambangan dan Energi, Ferdy Hasiman, menilai wacana penghapusan sistem outsourcing adalah ide yang bagus untuk mengakhiri neoliberalisme dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Namun, melihat sepak terjang Prabowo dalam memimpin Indonesia selama hampir 7 bulan terakhir, ia ragu wacana ini akan terealisasi.
“Kalau misalkan mau hapus outsourcing, juga belum tentu akan dihapus juga. Dia memang mau bohong (ke) buruh, supaya buruh bisa ikut (dukung) dia terus,” jelasnya kepada Tirto.
Alih-alih menjanjikan hal yang sulit diwujudkan, Ferdy menyarankan agar pemerintah lebih baik meningkatkan kompetensi para pekerja, khususnya di sektor pertambangan melalui pendidikan vokasi atau menggencarkan pelatihan.
Sebab, selama ini yang menjadi masalah utama tenaga kerja di sektor pertambangan adalah masih banyaknya tenaga kerja yang tidak kompeten. Sehingga, mendorong perusahaan tambang untuk merekrut orang-orang dengan keahlian tertentu melalui sistem alih daya.
“Jadi mereka kesulitan ketika masuk ke sini, tenaga kerja belum banyak yang siap misalnya untuk mengendalikan alat engineering di Indonesia atau segala macam. Jadi, menurut saya yang paling penting adalah bagaimana pendidikan vokasi. Itu perlu didorong supaya nggak ada lagi outsourcing ke depan,” tambah dia.
Bukan Wacana Baru
Penghapusan outsourcing merupakan rencana klasik yang selalu disuarakan ketika perayaan Hari Buruh. Namun, bagi buruh, penghapusan sistem outsourcing menjadi isu yang selalu disuarakan karena sampai saat ini perlindungan terhadap tenaga alih daya yang mayoritas merupakan pekerja kontrak sangat lemah.
Pada saat yang sama, pengawas ketenagakerjaan, yang dalam hal ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan pun memiliki posisi yang juga lemah dan tak cukup mampu dan mau memperjuangkan hak-hak pekerja kontrak. Hal ini dibarengi dengan kurangnya regulasi yang mengatur soal kesejahteraan pekerja.
“Ada 5 jenis pekerjaan, itu jelas di Pasal 17 (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012), bahwa pekerjaan yang bisa di-outsourcing seperti misalnya security, planning service, office boy, driver, ada usaha pertambangan di lepas pantai dan sebagainya. Hanya 5 itu. Nah muncul Undang-Undang 11 tahun 2020, membebaskan seluruhnya,” jelas Pakar Ketenagakerjaan sekaligus Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, saat dihubungi Tirto, Jumat (2/5/2025).
Dus, ruang untuk sistem kerja outsourcing terbuka lebih lebar. Namun, mengakhiri sistem ini bukan hal mudah karena Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap outsourcing sebagai sistem kerja yang diatur secara konstitusional, selain juga merupakan sistem kerja yang memang menjadi tren dunia, menjadi praktik biasa di kancah bisnis internasional maupun di Indonesia.
“Menurut saya, yang lebih strategis sebenarnya adalah bagaimana memastikan sistem kerja outsourcing ini dibatasin. Itu sebenarnya yang paling strategis. Membatasi lima jenis pekerjaan seperti yang ada di Permenaker 19 tahun 2012. Tidak boleh untuk seluruhnya,” tukas Timboel.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id






































