tirto.id - PK-LQP pertama kali terbang pada 8 Agustus 2018, dari Seattle—kota terbesar di Washington—ke Moses Lake dan kembali lagi ke Seattle pada hari yang sama.
Sepekan setelah terbang pertamanya, ia tiba di Jakarta. Pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 itu telah dipesan oleh PT Lion Mentari Airlines atau lebih dikenal Lion Air.
Tiga hari setelah tiba di Jakarta, PK-LQP terbang perdana di bawah payung Lion Air, menempuh jarak sekitar 1.476 kilometer dari Jakarta ke Banjarmasin. Di hari yang sama, ia kembali ke Jakarta, lalu terbang ke Palembang, kembali lagi ke Jakarta, lalu terbang ke Jayapura.
Keesokan harinya, 19 Agustus 2018, PK-LQP terbang lebih sering tujuh kali sehari: dari Jayapura ke Merauke lalu kembali ke Jayapura kemudian terbang lagi ke Makassar, kembali ke Jakarta, lanjut ke Pontianak, balik lagi ke Jakarta dan berakhir di Jayapura. Total menempuh 17.506 km.
Dalam sehari, ia bisa terbang empat sampai delapan kali, dan paling sering terbang enam kali sehari. Sejak resmi di tangan Lion Air sampai 28 Oktober, PK-LQP telah terbang 439 kali.
Senin, 29 Oktober, PK-LQP akan memulai hari dengan terbang dari Jakarta ke Pangkal Pinang. Hari ke-76 itu pesawat ini membawa 178 penumpang dewasa, 1 anak, 2 bayi, dan 8 kru pesawat.
Sayangnya, ia gagal tiba di Pangkal Pinang. Hanya 13 menit setelah lepas landas, kontak komunikasi terputus antara pilot dan petugas di Air Traffic Control (ATC) Bandar Udara Soekarno-Hatta. PK-LQP jatuh di perairan Karawang. Usianya masih sangat muda: hanya 2,4 bulan.
Penyebab jatuhnya PK-LQP belum diketahui pasti. Hasil analisis dari kotak hitam belum diumumkan secara resmi.
PK-LQP bukanlah satu-satunya pesawat baru milik Lion yang mengalami kecelakaan. Pada 13 April 2013, pesawat Boeing 737-8GP(WL) milik Lion dengan nomor penerbangan JT 904 gagal mendarat di landasan pacu dan mendarat di laut dekat Bandara Ngurah Rai. Badan pesawat terbelah dua, tetapi semua penumpang dan kru selamat.
Saat kecelakaan terjadi, pesawat dengan nomor register PK-LKS itu tergolong baru: kurang dari tiga bulan.
'Adaptasi dengan Pesawat Baru Paling Cepat Tiga Bulan'
Usia pesawat dan tingkat risiko kecelakaan tak selalu relevan. Semakin muda usia pesawat belum tentu semakin kecil risiko kecelakaan. Sebaliknya, pesawat-pesawat tua belum tentu lebih rawan dibandingkan yang muda.
Analis perkara penerbangan Gerry Soejatman mengatakan pesawat-pesawat baru malah punya tingkat risiko kecelakaan yang tinggi. Alasan utamanya pihak maskapai belum memahami betul dan terbiasa dengan permasalahan-permasalahan teknis pesawat tersebut. Menurutnya, maskapai butuh waktu paling cepat tiga bulan untuk beradaptasi dan benar-benar paham kondisi pesawat baru.
“Tiap pesawat itu, kan, beda-beda, ‘penyakit-penyakitnya’ itu baru ketahuan oleh maskapai seiring waktu,” ujar Gerry kepada Tirto. Jadi, sambung Gerry, ada kemungkinan risiko kecelakaan yang cukup besar pada pesawat-pesawat baru.
Sementara untuk pesawat-pesawat tua, selama dirawat dengan sempurna dan diperbaiki berkala, tentu tetap bisa dioperasikan. “Bukan usianya yang menentukan pesawat itu aman atau tidak, tetapi apakah ia di-maintain dengan baik atau tidak,” kata Gerry.
Pada 14 Januari 2002, pesawat Boeing 737-291 milik Lion Air dengan nomor penerbangan JT 386 jatuh setelah lepas landas di Bandara Syarif Kasim II, Riau. Pesawat menuju Batam itu sudah berusia 32,2 tahun. Sayap bagian kanannya rusak, tetapi tidak ada korban jiwa.
Sepanjang 2004 sampai 2009, beberapa pesawat tua di atas 10 tahun milik Lion mengalami kecelakaan. Pada 23 Februari 2009, pesawat bernomor penerbangan JT 792 mendarat di Hang Nadim International Airport, Batam, tanpa roda pendaratan. Pesawat jenis McDonnell Douglas MD-90-30 ini berusia 22,7 tahun saat kecelakaan.
Usia Rata-Rata Armada Sriwijaya Paling Tua
Di Indonesia, rerata usia pesawat tiap maskapai berbeda-beda. Sriwijaya Air dan maskapai satu grupnya, NAM Air, memiliki usia rata-rata armada (average fleet age) paling tua: 17,8 tahun untuk NAM Air dan 17,5 tahun untuk Sriwijaya. Namun, dalam 18 tahun terakhir, tidak ada catatan kecelakaan fatal yang menimpa dua maskapai itu.
Lion Air memiliki usia rata-rata armada yang jauh lebih muda dibandingkan Sriwijaya, hanya 6,3 tahun. Ia juga lebih muda dari Garuda Indonesia dan Indonesia Air Asia, masing-masing berusia 6,6 tahun dan 8 tahun.
Di antara delapan maskapai komersial dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia, Batik Air dan Wings Air—juga tergabung dengan Lion Group—merupakan dua maskapai dengan usia rata-rata armada paling muda: Batik 2,9 tahun dan Wings 4,7 tahun.
Tak ada patokan soal usia maksimal pesawat selama masih laik pakai dan mampu terbang dengan nyaman, tak peduli setua apa, ia tetap aman untuk diterbangkan. Hal yang biasanya dijadikan pertimbangan untuk memensiunkan pesawat adalah nilai keekonomian. Bila mengganti suku cadang dinilai tidak signifikan dari hitung-hitungan ekonomi, maskapai biasanya memilih membeli pesawat baru. Apalagi pesawat keluaran terbaru cenderung didesain lebih hemat bahan bakar.
Begitu pula soal jam terbang pesawat. Menurut Gerry, satu pesawat bisa saja diterbangkan lebih dari 10 jam dalam sehari.
Tidak ada batas maksimal soal jam terbang. Selama pesawat selalu dipastikan baik-baik saja tiap menyelesaikan satu rute, ia bisa terbang lagi dan lagi, menurut Gerry.
=======
- Lion Air dan Rusdi Kirana: dari Calo Tiket hingga Maskapai
- Gurita di Belakang Singa
- Perlawanan "Singa" Penguasa Angkasa
- Mengapa Lion Air Getol Belanja Pesawat Besar-besaran?
- Kisruh di Tubuh Garuda Indonesia
- Kenapa Garuda Terus Merugi?
- Upaya Serikat Pekerja dan Pilot Selamatkan Garuda
- Mandala Air: dari Kostrad ke Saratoga
- Sempati Air: Bisnis Militer yang Surut Bersama Soeharto
- Merpati Nusantara Airlines: Jembatan Udara yang Putus
- Biaya Sekolah Pilot Ratusan Juta, Lulus Jadi Pengangguran
- Mengeksploitasi Pilot & Bahaya bagi Keselamatan Penumpang
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam