tirto.id - Tomi, 24 tahun, salah seorang lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang, bercerita sudah setahun terakhir belum juga mendapatkan pekerjaan. Lulusan sekolah kedinasan di bawah Kementerian Perhubungan ini berujar, ada beberapa kendala ia sulit menjadi penerbang.
Selain minim informasi lowongan kerja, lisensi yang dipegangnya belum memenuhi kriteria beberapa maskapai penerbangan. Selama tiga tahun menjalani pendidikan di STPI, ia hanya memiliki ijazah diploma dengan mengantongi lisensi pilot komersial (CPL) dan Instrument Rating (IR). Sementara, menurutnya, ada beberapa maskapai yang meminta syarat bagi pelamar pilot memiliki lisensi Multi Engine Rating (MER).
“Beberapa ada yang meminta syarat itu,” ujar Tomi.
IR adalah izin terbang tambahan untuk melengkapi CPL bagi pilot profesional yang bisa menerbangkan pesawat dalam kondisi cuaca agak buruk di bawah instrument flight rules dan visual flight rules, dengan menambah 20 jam terbang demi menggenapkan 200 jam terbang CPL. Sementara MER adalah lisensi pilot pemula bisa menerbangkan pesawat bermesin ganda.
Namun, kebanyakan sekolah penerbangan di Indonesia, seperti yang didapatkan Tomi, hanya mengeluarkan Private Pilot License, CPL dan IR, yang sebatas bisa menerbangkan pesawat bermesin tunggal. Ketika mereka mencari pekerjaan, mereka terhambat karena tak punya lisensi MER.
Lantaran itu, Tomi memilih melamar ke maskapai yang tidak mensyaratkan lisensi pilot yang bisa menerbangkan pesawat bermesin ganda.
“Saya saja sekolah hanya bayar Rp26 juta sampai lulus,” ujar Tomi. “Hampir 50 persen teman-teman saya di STPI ambil lisensi ini.”
Selain problem lisensi, para penerbang pemula ini terhambat oleh biaya pelatihan menerbangkan tipe pesawat—dalam istilah penerbangan disebut type rating. Pelatihan ini berupa pengetahuan sistem pesawat hingga prosedur darurat sampai handling.
Biayanya hingga ratusan juta saat pilot junior diterima di sebuah maskapai penerbangan. Biasanya, buat membayar biaya tipe rating, maskapai mengikat pilot dengan kontrak kerja dan memotong gajinya. Biaya ini di luar penalti yang harus dibayarkan pilot jika memutuskan keluar dari pekerjaan.
Ros, salah satu pilot pemula yang baru bekerja beberapa pekan lalu di sebuah maskapai penerbangan swasta, berkata skema tipe rating menghambat pilot pemula begitu diterima kerja di industri penerbangan. Dari tiga maskapai yang ia lamar, semuanya menyodorkan biaya tipe rating yang harus ia tandatangani saat terikat kontrak kerja.
Ros menceritakan, biaya untuk tipe pesawat yang kini ia terbangkan, jika diuangkan sekitar Rp75 juta. Ia tidak langsung melunasinya, melainkan perusahaan mengikat Ros harus “mengabdi” selama dua tahun.
“Padahal pesawat yang saya bawa adalah pesawat angkut yang hanya muat 12 orang,” ujar Ros melalui sambungan telepon, dua pekan lalu.
Ia mengatakan, karena biaya itu pula, gaji bulanan yang ia terima sebagai pilot penerbangan perintis sebesar Rp7 juta.
“Mau enggak mau saya ambil untuk menambah jam terbang. Kalau enggak, saya akan bersaing dengan ribuan pilot lain,” ujar Ros, yang berkata menghabiskan sekitar Rp1 miliar untuk lulus dari sekolah penerbangan.
Berdasarkan pengalamannya mengirim surat lamaran ke sejumlah maskapai penerbangan, ada yang bahkan membebankan biaya tipe rating kepada pilot pemula sebesar Rp470 juta.
Biaya itu, kata Ros, harus dibayar dengan mengabdi selama 17 tahun, selain harus dicicil oleh pilot selama 10 tahun.
“Kalau ditotal, bayarnya lebih. Bisa hampir Rp1 miliar. Gaji maskapai itu besar, tapi harus banting tulang,” ujarnya.
Baca juga: Biaya Sekolah Pilot Ratusan Juta, Lulus Jadi Pengangguran
Bermula dari Bajak-membajak Pilot
Salah seorang pilot senior yang pernah bekerja di perusahaan penerbangan pelat merah menceritakan kepada saya bahwa beban biaya tipe rating mulai diterapkan sejak sepuluh tahun lalu. Semula biayanya ditanggung oleh maskapai tempat pilot itu bekerja dan dibayar dengan jaminan masa kerja—istilahnya training bond. Biaya tipe rating itu hanya akan dibayar oleh pilot jika ia mengundurkan diri.
Namun, sejak pertumbuhan industri penerbangan, khususnya makin banyak maskapai komersial yang membutuhkan banyak pilot, pasar tenaga kerja spesialis ini bak pasar transfer pemain liga sepakbola Eropa. Bajak-membajak pilot dari satu maskapai ke maskapai lain lazim belaka. Istilah yang ia pakai adalah transfer fee: misalnya, Garuda mau melunasi biaya pelatihan si pilot yang dibajaknya ke maskapai sebelumnya di Lion Air.
Fenomena ini menambah masalah baru: kenaikan biaya tipe rating. Jika dulu biayanya hanya sekitar Rp250 juta hingga Rp350 juta, menurut pilot senior tersebut, kini biaya itu naik menjadi sekitar Rp500 juta.
Perkembangan lain, para pilot juga harus mencicil biaya tipe rating hingga puluhan tahun.
Sementara bagi pilot yang sudah memiliki tipe rating sesuai pesawat yang digunakan oleh maskapai bersangkutan, ada juga biaya tambahan, yakni pangkat kapten bagi pilot tersebut.
Alvin Lie, pengamat penerbangan dan komisioner Ombudsman Republik Indonesia, berkata sejak marak bajak-membajak pilot, muncul istilah pay-to-fly bagi pilot asing yang mencari jam terbang di Indonesia.
Lantaran motivasinya mencari jam terbang, menurut Alvin, “Ada [dari mereka] yang bersedia membayar untuk terbang.”
Karena faktor itu juga banyak pilot pemula Indonesia yang lantas tersingkir dari pasar transfer pilot.
“Pilot asing ini hanya mendapatkan tunjangan seperti uang makan dan akomodasi,” ujar Alvin.
Skema tipe rating, termasuk di dalamnya mau membayar maskapai buat mengoleksi jam terbang, juga menjadi sorotan European Cockpit Association (ECA), sebuah perkumpulan yang mewakili lebih dari 38.000 pilot se-Eropa. Mereka mendesak Uni Eropa menyetop skema perbudakan ini dan jadi salah satu kampanye mereka lewat sebuah petisi online.
Membahayakan Keselamatan Penerbangan
Tak hanya di Eropa, sorotan atas skema tipe rating ini menjadi keluhan lama oleh banyak pilot. Mereka menyebutnya sebagai bentuk eksploitasi modern alias perbudakan model baru dalam dunia penerbangan di Indonesia.
Pilot mau tak mau menuruti permintaan maskapai. Buntutnya, banyak pilot yang dipaksa mengudara melebihi jam terbang dan tak sesuai Peraturan Keselamatan Penerbangan.
Redaksi Tirto pernah menurunkan laporan tentang sengkarut pilot dengan Lion Air, salah satu maskapai swasta di Indonesia, pada Agustus 2016.
Salah seorang pilot di maskapai itu menuturkan, ia dipaksa bekerja melebihi aturan keselamatan penerbangan karena terikat kontrak dan denda yang harus dibayar jika mengundurkan diri. Mau tak mau, katanya, para pilot menuruti pihak maskapai meski melebihi jam terbang.
Baca juga:
Kemelut Pilot Versus Manajemen Lion Air
Alvin Lie berpendapat, jika pemantauan jam terbang dijalankan dengan baik oleh Kementerian Perhubungan di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, bukan tidak mungkin jumlah pengangguran pilot bisa dikurangi.
Namun, Alvin menilai, Kementerian Perhubungan “tak serius” mengawasinya. Jika terus-menerus dibiarkan, dengan sistem yang berjalan saat ini, imbasnya justru membahayakan keselamatan penerbangan.
“Gampang sebenarnya lihat jam terbang para pilot, semua sudah menggunakan sistem. Coba buka rute dan jadwal para pilot, di sana akan ketahuan jika jam terbang mereka berlebih,” ujar Alvin.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi enggan mengomentari hal ini. Ia malah berkata tidak mengetahui bagaimana pemantauan jam terbang para pilot di bawah Dirjen Perhubungan Udara. Namun, katanya, ia akan menegakkan aturan jika ada pelanggaran.
“Saya tidak mengerti, saya tidak memperhatikan itu. Tapi aturannya ada, ada mekanismenya. Nanti bisa tanya Pak Dirjen, saya takut salah omong,” ujar Budi, dua pekan lalu.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam