tirto.id - Seorang instruktur perempuan penerbang sedang beraktivitas seperti biasa pada 7 Desember 1941. Pagi itu, ia tengah menuntun seorang pelajar mengendalikan pesawat latih kecil di dekat Pearl Harbor.
Tiba-tiba, sebuah pesawat Zero Jepang melintas dengan kecepatan tinggi dan mengejutkan mereka. Dengan sigap Cornelia Fort, instruktur itu, langsung mengambil alih kemudi dan menstabilkan pesawatnya agar bisa segera melakukan pendaratan darurat.
Peristiwa itu menjadikan Fort dan muridnya sebagai salah satu pilot AS pertama yang berhadapan dengan Angkatan Udara Jepang selama serangan mereka di wilayah AS.
Minat Cornelia Fort pada dunia penerbangan sudah terlihat sejak remaja. Ia terlahir dari keluarga kaya dan terkemuka di Tennessee. Ayahnya pendiri National Life and Accident Insurance Company, perusahaan asuransi jiwa dan kecelakaan nasional. Status ekonomi yang baik membuka kesempatan Fort untuk menjalani pendidikan formal yang baik.
Ia lulus dari Lawrence College sebelum bergabung dengan Junior League of Nashville. Di sana Fort berlatih menerbangkan pesawat hingga mendapatkan lisensi pilot. Kala itu, Fort menjadi perempuan kedua di Nashville yang berhasil mendapatkan lisensi. Selain itu, ia juga menjadi perempuan pertama di Nashville yang mendapatkan lisensi instruktur penerbang.
Bermodalkan lisensi instrukturnya, Fort melamar ke banyak sekolah penerbangan. Ia pun bekerja di sekolah penerbangan Colorado. Di sanalah Fort mendapat tawaran untuk bekerja di Hawaii.
Kejadian di Pearl Harbor rupanya meninggalkan kesan mendalam baginya. Sejak itu ia berkomitmen untuk mengabdikan diri untuk Angkatan Udara AS.
Fort kemudian menerima tawaran Nancy Love untuk bergabung dalam Women’s Auxiliary Ferrying Squadron (WAFS) pada 1942. Belakangan, skuadron ini dikembangkan menjadi Women Airforce Service Pilot (WASP) yang merupakan program penerbangan inovatif yang muncul selama Perang Dunia II.
Organisasi sipil ini dibentuk pada 1943 dengan misi memanfaatkan keterampilan para perempuan untuk kebutuhan transportasi udara di masa perang. Jasa mereka diperlukan karena kala itu para pilot laki-laki lebih banyak ditugaskan di luar negeri, sehingga ada kekosongan tenaga penerbang pada rutinitas penerbangan domestik non-tempur.
Sementara itu, ide menempatkan pilot perempuan di Angkatan Udara AS memang sudah diutarakan oleh Nancy Love ketika membentuk WAFS. Sebagai komandan pertama, Nancy akhirnya dipercaya untuk mengemban tanggung jawab besar kala membentuk WASP.
Publik AS menyambut baik inisiatif membangun organisasi ini. Sekitar 25 ribu perempuan mendaftar untuk ambil bagian. Namun pemerintah AS menetapkan syarat seleksi ketat, antara lain harus berusia antara 21 hingga 35 tahun, memiliki lisensi terbang dan punya jam terbang minimal 35 jam. Selain itu, juga ada syarat kebugaran fisik dan lain-lain. Akhirnya, hanya 1.830 orang yang diterima untuk menjalani pembekalan.
Dalam masa pelatihan, mereka dibagi dalam 18 kelompok. Nancy Love memimpin pelatihan kelompok pertama yang merupakan rekrutan awal. Fort pun tergabung dalam kelompok ini. Di akhir pelatihan, hanya 1.074 yang lulus ujian dan diterima bertugas resmi di WASP. Kelompok ini menjadi perempuan pertama yang menerbangkan pesawat militer US Air Force.
Sarah Byrn Rickman menceritakan kisah penugasan Fort dalam buku Nancy Love and the WASP Ferry Pilots of World War II (2008:108). Bersama Fort, para penerbang lain seperti Barbara Twone, Evelyn Sharp, Barbara Jane Erickson, dan Beatrice Batten ditugaskan di wilayah Long Beach.
Fort mengalami nasib buruk. Pada 21 Maret 1943 ia tewas saat menjalankan tugas.
Ketika terbang dalam perjalanan dari Long Beach menuju Love Field di Dallas, roda pendaratan pesawat petugas penerbangan Frank Stamme Jr bertabrakan dengan sayap kiri pesawat Fort. Meski berupaya semampunya untuk mengendalikan pesawat, Fort dan pesawatnya jatuh dan tenggelam sekitar 10 mil sebelah selatan Merkel, Texas.
Pengakuan Militer yang Terlambat
Pada praktiknya, peran WASP selama Perang Dunia II jauh melebihi ekspektasi. Para perempuan penerbang itu bekerja mengangkut pesawat dari pabrik ke pangkalan militer, mengorganisasi latihan penerbangan, hingga menguji kelayakan pesawat yang baru dibuat.
Molly Merryman dalam buku Clipped Wings: The Rise and Fall of the Women Airforce Service pilots (WASPs) of World War II (1998:78) menyebutkan bahwa selama masa tugas yang terbilang singkat itu, para pilot WASP sudah terbang sejauh 60 juta mil yang terbagi-bagi di semua lintasan dan jenis pesawat militer milik AS.
Kinerja yang baik dan kontribusi signifikan mereka berhasil membungkam banyak kritik dan keraguan publik yang bias gender. Akan tetapi, rupanya kinerja itu tidak serta merta menjamin pengakuan terhadap status militer mereka.
Di sepanjang masa perang, status mereka tetap menjadi pegawai negeri sipil. Dengan begitu, meski mereka menghadapi risiko yang sama tinggi, mereka tidak akan menerima hak-hak yang sama dengan rekan laki-laki mereka di dunia penerbangan militer.
Dengan perlakuan demikian, keluarga 38 pilot WASP yang kehilangan nyawa saat bertugas tidak menerima tunjangan militer yang semestinya diterima oleh keluarga seorang anggota militer yang terluka parah atau gugur dalam tugas.
Kurangnya pengakuan itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Puncaknya ketika WASP dibubarkan begitu saja pada Desember 1944 bahkan saat perang belum berakhir.
Informasi dan data para pilot itu bahkan disimpan rapi serta disegel resmi menjadi rahasia pemerintah. Hal ini semakin membuat kontribusi penting mereka tidak terlihat dalam sejarah penerbangan militer AS.
Terlepas dari terlambatnya pengakuan militer atas jasa-jasa mereka, WASP meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah penerbangan dunia. Mereka membongkar stigma dalam bidang yang secara tradisional dikuasai laki-laki.
Oleh karena itu, para ahli sejarah pun menempatkan WASP dalam narasi mengenai kesetaraan gender di AS karena mereka menjadi pelopor dalam menghilangkan stereotipe berbasis gender dalam industri penerbangan.
Kisah WASP menjadi salah satu pendorong bagi Akademi Angkatan Udara AS yang pada 1970-an resmi membuka pintu bagi perempuan. Di era itu juga, undang-undang mengatur kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan di militer. Bagi para penerbang WASP, penghargaan akhirnya diberikan pada 1977 ketika mereka mendapatkan status sebagai veteran perang.
Dicabutnya kebijakan eksklusi tempur di awal 1990-an menjadi tonggak penting lainnya yang secara signifikan meningkatkan peran pilot perempuan AS di bidang-bidang yang lebih variatif seperti teknik intelijen dan layanan medis.
Pada 2009, lebih dari enam dekade setelah pengabdian mereka, akhirnya para penerbang WASP yang masih hidup dianugerahi Congressional Gold Medal, penghargaan sipil tertinggi di AS.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi