tirto.id - Dalam satu rapat dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, awal September lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan ada 1.200 pilot Indonesia yang menganggur. Penyebabnya, terlalu banyak sekolah penerbangan sehingga mencetak lulusan yang minim kompetensi.
Namun, faktor penyebabnya tidaklah tunggal. Dari jumlah lowongan pekerjaan yang tak sebanding jumlah lulusan penerbang, persaingan dengan pilot asing, serta kendala kriteria bagi pilot pemula yang harus memegang lisensi menerbangkan pesawat bermesin ganda. Kementerian Perhubungan juga membatasi area pelatihan bagi sekolah pilot.
Selain itu skema tipe rating, alias pelatihan menerbangkan jenis pesawat, kini dibebankan oleh pilot, bukan lagi ditanggung oleh perusahaan dengan mekanisme masa kerja. Skema ini jadi keluhan lama asosiasi pilot, baik di Indonesia maupun Eropa, karena dinilai bentuk eksploitasi modern.
Namun, Budi Karya mengecilkan sejumlah faktor penyebab tersebut. Ia bilang, banyak pilot Indonesia menganggur karena para pilot pemula sungkan mengeluarkan keringat dan menolak bekerja pada rute penerbangan perintis.
“Pilot kita maunya langsung naik Jet, maunya Boeing 737, langsung ATR. Suruh pakai baling-baling ke Papua, enggak mau,” ujarnya dua pekan lalu.
Ditemani para bawahannya, Budi Karya menerima Arbi Sumandoyo dari Tirto di rumah dinasnya, bilangan Senayan, Jakarta Selatan, dalam wawancara mengenai isu pengangguran pilot. Berikut petikan wawancara selama 20-an menit dengan Budi Karya.
Apa problem banyak pilot pemula menganggur, bahkan Anda sebut angkanya sampai 1.200 orang?
Kalau lihat latar belakangnya, tujuannya tidak sama: antara mengizinkan sekolah dan industri tidak berbanding. Sehingga ada kelebihan suplai [lulusan pilot]. Tapi ada masalah lagi: masalah kualitas. Jadi sekolah-sekolah ini, saya harus katakan, berorientasi pada uang sehingga lulusan-lulusan itu tidak kompeten. Yang ekstrem ada satu sekolah hanya memiliki satu pesawat, muridnya 20 orang.
Menurut Anda itu tidak ideal?
Iya, ada aturan tertentu. Sehingga yang terjadi dalam wawancara saya dengan operator airlines, yang melamar segini (sambil menunjuk tumpukan tebal berkas), tapi yang kualitas cuma segini (sedikit).
Artinya tak sesuai dengan kebutuhan yang tersedia?
Sekolahnya tidak mumpuni. Mereka yang mendaftar menjadi pilot relatif bukan bibit unggul. Karena bibit unggul itu dilihat dari jumlah yang mendaftar dan diterima itu berapa?
Di sekolah pilot itu: satu banding dua. Di sekolah-sekolah lain, bahkan kalau di perguruan tinggi favorit—katakanlah kedokteran—bisa sampai seratus. Jadi, satu kandidat itu dipilih dari seratus, ini dipilih dari dua. Ya tentu itu dilihat dari biaya.
Karena itu, kami akan mengambil langkah-langkah. Langkah pertama mencari solusi bagi 1.200 (pilot) yang menganggur ini. Saya sudah menugaskan Dirjen Perhubungan Udara dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan untuk menyeleksi, dari 1.200 itu sebenarnya yang memenuhi kualifikasi itu berapa, sih? Nanti saya bersama dengan sekolah-sekolah itu, kami didik. Setelah dididik, mereka ada yang terbaik, kan? Ini kami berikan kepada industri.
Saya sudah punya konsep, nanti disampaikan ke Dirjen Perhubungan Udara. Jadi bagi mereka yang sudah lulus, kami magangkan ke maskapai-maskapai. Artinya, mereka tidak digaji penuh, tetapi mereka bisa standby.
Misal, rotasi kebutuhan pilot Garuda Indonesia atau Lion Air mandek, ia bisa supply ke situ. Maskapai penerbangan nanti mengamati: yang bagus benar berapa? Ia nanti masuk slot pilot internal. Ada proses yang kami lakukan di satu sisi.
Saya juga sudah menugaskan kepada Dirjen Perhubungan Udara untuk mengurangi jumlah sekolah, bisa dengan merger atau bisa juga menyetop. Hitung dengan daya serap airline berapa?
Anda tadi mengatakan jumlah lulusan tidak sebanding industri penerbangan, tapi pertumbuhan industri kita mencapai 6 persen. Artinya, ada peluang bagi lulusan-lulusan pilot. Berapa rasio seharusnya pesawat dan pilot?
Dirjen Perhubungan Udara yang tahu persis angka-angka itu. Takutnya saya salah. Tapi esensinya: over supply. Kalau setahun ada lulusan 600 pilot, pasti maskapai tidak bisa menampung.
Pilot ini, kan, profesi yang tinggi. Bagaimana jika kami serahkan kepada orang yang kurang kompetensi? Saya tidak menuduh apa-apa, tapi kalau memang kurang kompetensi, ya mari omong jujur. Karena dari omongan Lion dan Sriwijaya: banyak yang melamar, tapi sedikit yang memenuhi kualifikasi.
Problem kurang kompetensi adalah satu hal, tetapi dalam syarat lamaran, seperti tertera dalam Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Amandemen 12, pilot pemula wajib memegang lisensi bisa menerbangkan pesawat bermesin ganda. Padahal semua lulusan sekolah pilot hanya belajar mengendarai pesawat bermesin tunggal. Pendapat Anda?
Jadi peraturan itu mengacu standar internasional. Dan kami memberi kesempatan sekolah dengan satu pesawat singleengine demi kemudahan. Kalau saya enggak mau tahu, sekolah mesti menyediakan pesawat multi engine. Dan kita masih memberi uji coba kepada pilot-pilot itu apakah dia punya talenta atau enggak dengan biaya yang relatif murah. Setelah itu memang harus sekolah lagi. (Untuk siswa yang menempuh sekolah penerbangan kedinasan di bawah Kementerian Perhubungan; terdapat di Tangerang, Banten, dan Banyuwangi, Jawa Timur.)
Kalau peraturan, kami harus ikut. Masak ada peraturan internasional, kami tidak mau ikut? Jadi, kalau mau omong kami tidak berpihak, justru kami terlalu berpihak.
Kementerian Perhubungan juga membatasi tempat pelatihan. Banyak sekolah pilot swasta, bahkan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia yang notabene di bawah kementerian Anda, mengeluhkan pembatasan tempat berlatih.
Saya itu sampai marah besar. Kelompok-kelompok sekolah ini masak ngangkangin Bandara Adi Sumarno (Surakarta)? Sampai berapa sekolah tuh, lima atau segala macam. Kan, ini enggak benar. Sekolah tidak harus di kota-kota besar. Ada Cilacap, Cirebon, Banyuwangi, Jember, dan masih banyak ruang.
Kalau mereka bilang pengurangan titik pelatihan, itu manja aja. Kepengin di kota besar, padahal kami butuh banget bandara ini. Masak dipakai untuk sekolah aja?
Sekolah-sekolah ini tidak mempersiapkan diri dengan baik, peralatan seadanya, lulusannya banyak, terima duit banyak, menimbulkan stagnasi. Saya juga marah, "Kok enggak dikurang-kurangi jumlah sekolah?" Apa sekolahnya punya mereka?
(Catatan: Budi Karya menuding pertanyaan ini pertanyaan titipan dari sekolah penerbangan. Faktanya, Kementerian Perhubungan memang membatasi ruang gerak pelatihan bagi sekolah penerbangan swasta, termasuk sekolah di bawah Kemenhub. Dari 25 lapangan terbang, yang diizinkan hanya enam yang memenuhi kualifikasi untuk dipakai sebagai tempat latihan.)
Jadi menurut Anda, sekolah penerbangan ini hanya terpusat di kota-kota besar?
Iya. Ngapain sih mesti di kota? Kan, bisa satu tahun sekolah di Cilacap. Di Jember juga OK. Masak maunya di Solo? Dan yang punya wewenang ini, kan, saya sendiri. Tidak boleh begitu. Jangan enak sendiri, dong. Pantesan Solo enggak bisa tumbuh penumpangnya.
Karena bandara itu dipakai untuk latihan sekolah pilot?
Karena bandara dipakai untuk itu dan segala macam. Saya tidak anti-sekolah, tetapi kalau mau membuat sekolah yang bagus sekalian. Jangan hanya mau mengeduk duit.
Ada juga yang menilai, ada pilot asing yang bekerja di Indonesia, sehingga berimbas pilot lokal menganggur. Berapa jumlah pilot asing yang bekerja di sini?
Detailnya tanya dengan Dirjen. Tapi yang saya lihat, pilot asing itu mau keringetan. Pilot kita maunya langsung naik jet. Yang namanya pilot itu seperti tentara. Mereka enggak mau ke daerah, orang asing ini mau. Saya tidak mengatakan semua pilot asing mau ke sana, tetapi kebanyakan mereka di daerah.
Saya suka diskusi dengan Bu Susi (Menteri Perikanan dan Kelautan, pemilik Susi Air). Tanya deh dengan Bu Susi, saya tidak mau jawab. Dia mengalami. Kalau mau cari pilot yang menembus ke Timika, Wamena, dan ke segala macam, kalau orang kita takut, tidak mau dan segala macam.
Pernyataan Anda menarik karena dari wawancara saya dengan seorang pilot pemula, Maret lalu ada lowongan pilot untuk penerbangan perintis di Papua, dan kebanyakan yang melamar adalah lulusan pilot baru. Artinya, banyak pilot pemula yang tertarik.
Ya mau. Tapi baru sekarang karena sudah terdesak. Sudah terdesak, baru mau. Satu tahun terakhir, dan ini sudah tahun kedua. Dari tahun lalu sudah saya suruh. Dan sudah dua tahun mereka menganggur. Kebanyakan pilot pemula ini punya uang Rp600 juta buat sekolah pilot dari keluarga-keluarga terpandang. Jadi daripada menganggur, pergi ke sana. Tahun lalu, mereka tidak mau.
Jadi banyak pilot pemula yang enggan terjun ke penerbangan perintis?
Iya. Baru mau terakhir-terakhir ini. Saya prihatin, tetapi saya juga simpati kepada 1.200 lulusan pilot ini. Maka saya paksakan, kalau perlu, keluar anggaran APBN tidak apa-apa. Harusnya asosiasi pilot berterima kasih kepada saya, bukan marah-marah kepada saya.
Seberapa efektif moratorium sekolah pilot ini mengurangi pengangguran lulusan pilot?
Saya tidak bisa omong seberapa efektif, tapi saya punya variable. Kalau itu dijalankan benar, maka efektif. Maka saya bilang insyaallah. Atau memang ada alternatif lain? Ditutup semua?
Mulai kapan moratorium ini akan berlaku?
Saya sudah instruksikan. Saya sudah omong dua minggu lalu. Jadi kalau belum, saya akan keluarkan sendiri, saya pakai dapur sendiri, saya konsepkan sendiri. Apakah bentuknya melalui surat edaran atau apa, tetapi harus. Itu kejam, tapi ini buat kebaikan. Supaya lulusannya lebih berkualitas.
Para pilot senior menyebut soal kelebihan jam terbang, yang melanggar Peraturan Keselamatan Penerbangan. Kemenhub sebagai regulator mestinya bisa memantau perkara ini. Jika ini benar, seharusnya jumlah pengangguran, yang Anda sebut ada 1.200 pilot, bisa tertampung?
Tanya Pak Dirjen. Saya tidak mengerti. Saya tidak memperhatikan itu. Tapi aturannya ada, kita akan tegakkan itu dan ini ada mekanismenya. Saya takut salah omong. Tapi industri aviasi ini memang butuh tahap, butuh efisien. Jangan karena demi orang yang mau kerja, terus mengorbankan efisiensi.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam