Menuju konten utama

Langkah Budi Karya Mengatasi Jumlah Pilot Pengangguran

Mengapa industri penerbangan Indonesia yang bergairah tidak diimbangi penyerapan lulusan sekolah penerbang?

Pilot senior Garuda Indonesia di bandar udara Soekarno-Hatta, Tangerang, ANTARA FOTO/Lucky R.

tirto.id - Klaim jumlah 1.200 pilot Indonesia yang menganggur terlontar dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ketika membuka Rapat Kerja Dinas di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara awal September lalu. Masalah ini, katanya, karena banyak sekolah penerbangan yang gagal menghasilkan lulusan dengan kompetensi bagus.

Karena itu, Budi berencana melakukan moratorium penerimaan siswa penerbang untuk menekan angka pengangguran pilot. Ia juga akan menerapkan syarat baru penerimaan siswa sekolah pilot menjadi sarjana atau diploma empat.

Selain itu, Kementerian Perhubungan akan menyatukan sekolah-sekolah pilot swasta. Ia juga akan membatasi usia pesawat latih sehingga bisa mengurangi jumlah sekolah penerbangan di Indonesia.

“Yang ekstrem itu, satu sekolah hanya memiliki satu pesawat. Muridnya 20 orang,” ujar Budi Karya kepada reporter Tirto di rumah dinasnya, dua pekan lalu. Ia menilai lulusan sekolah pilot swasta itu bukanlah “bibit unggul.”

“Karena bibit unggul itu dilihat dari jumlah yang mendaftar dan diterima itu berapa?” katanya, menambahkan bahwa ada sekitar 24 sekolah penerbangan yang “tidak memiliki fasilitas memadai.”

Imbasnya, kata Budi, berdampak pada lulusan pilot yang minim kompetensi.

Namun, Agustus lalu, Kementerian Perhubungan melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia malah membuka penerimaan taruna dan taruni baru dari provinsi Jawa Barat untuk berkarier menjadi pilot. Hal ini tentu janggal dan berseberangan dengan pernyataan Budi Karya.

Berdasarkan surat yang ditandatangani Bambang Sutarmadji, Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, yang diperoleh redaksi Tirto bertanggal 24 Agustus 2017, institusi di bawah Kementerian Perhubungan itu membuka penerimaan siswa baru bagi lulusan pesantren di lima kabupaten wilayah Jawa Barat bagian selatan: Ciamis, Cianjur, Garut, Sukabumi, dan Tasikmalaya.

Pernyataan Budi Karya yang berkebalikan dengan langkah terbaru kementeriannya menuai kritik dari sejumlah kalangan, termasuk oleh Alvin Lie, Komisioner Ombudsman RI dan pemerhati penerbangan. Ia mempertanyakan maksud penerimaan siswa baru itu karena bertolak belakang dengan pernyataan bahwa ada ribuan pilot yang belum terserap oleh industri penerbangan tanah air.

“Ini, kan, jadi aneh. Katanya kelebihan, tapi membuka penerimaan baru?” ujar Alvin melalui sambungan telepon, awal pekan lalu.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/25/Prediksi-Kebutuhan-Pilot--INDEPTH--Mojo.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Pilot" /

Berseberangan dengan Rencana Strategis

Berdasarkan Rencana Strategis Direktorat Perhubungan Udara Tahun 2015-2019, apa yang dilontarkan Budi Karya tidaklah sejalan dengan pertumbuhan industri penerbangan, baik itu untuk penerbangan sipil maupun kargo, yang diperkirakan naik hingga 10 persen. Kenaikan ini diimbangi prediksi pertumbuhan Angkutan Udara dari 2015 hingga 2019.

Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dari Dirjen Perhubungan Udara memprediksi, pertumbuhan angkutan udara terus meningkat. Misalnya, untuk penerbangan berjadwal atau disebut AOC 121, tercatat ada penambahan 65 pesawat antara 2016-2017. Pada rentang yang sama, penerbangan carter (AOC 135) juga bertambah 39 pesawat.

Jumlah itu dibarengi kebutuhan sumber daya manusia. Artinya, ada permintaan jumlah pilot. Mengutip data Direktorat Kelaikan Udara, prediksi sumber daya manusia yang bekerja pada perusahaan penerbangan melonjak: dari 804 orang pada 2016-2017 menjadi 867 orang pada 2018.

Jika menilik data ini, rencana moratorium penerimaan siswa penerbang justru membuat Indonesia kembali kekurangan pilot. Kekurangan itu akan terus bertambah hingga 2019, yang diprediksi membutuhkan 977 pilot.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, Direktorat berencana mengurangi penerimaan pilot asing dan sepenuhnya menggunakan pilot lulusan Indonesia, selain akan menambah sekolah penerbangan.

Misalnya pada 2018, Direktorat akan menambah 29 sekolah penerbangan. Meski saat ini ada 24 sekolah, yang izin operasinya diberikan oleh Kementerian Perhubungan, jumlahnya akan bertambah menjadi 31 sekolah hingga 2019.

Kapten Bambang Adisurya Angkasa, Ketua Umum Ikatan Pilot Indonesia, menilai isu “ribuan” pilot yang menganggur memang harus dilihat dari berbagai aspek.

Salah satu aspek itu dengan melihat pertumbuhan maskapai penerbangan Indonesia dan ketersediaan pilot sesuai kriteria. Ia tidak sependapat dengan Budi Karya yang menyebut lulusan pilot di Indonesia minim kompetensi.

“Masih bisa dikatakan belum sebanding. Namun sangat mudah untuk mengetahui perbandingannya,” ujar Bambang melalui pesan elektronik, awal pekan lalu.

Budi Karya tak menampik bahwa demi memenuhi kebutuhan pilot, pemerintah masih kurang sekolah penerbangan. Tapi, dengan dalih minim kompetensi para lulusan pilot, ia bakal tetap melakukan moratorium.

“Saya melihat sekolah-sekolah tidak mempersiapkan diri dengan baik. Peralatan seadanya, lulusannya banyak, terima duit banyak, menimbulkan stagnasi,” ujar Budi.

Kapten Rudy Rooroh dari Dewan Pengawas Perkumpulan Institusi Pendidikan Penerbangan Indonesia menilai rencana moratorium itu, termasuk menyatukan sekolah pencetak pilot, bakal “membunuh” institusi pendidikan.

Padahal, katanya, menilik kebutuhan pilot dan pertumbuhan industri penerbangan regional, seharusnya pemerintah mendukung langkah perbaikan dunia pendidikan penerbangan. Apalagi, peluang pasar sekolah penerbangan di Indonesia juga sangat menarik untuk dikembangkan.

Indonesia, kata Kapten Rudy, bisa menjadi salah satu negara yang menjadi "tempat belajar menarik" bagi para calon penerbang internasional.

“Tiap tahun membutuhkan 1.544 penerbang baru. Sedangkan di Cina, setiap tahun dibutuhkan 4.500 penerbang baru,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PILOT atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam