tirto.id - Eddy Rusdi lebih santai setelah pensiun. Rutinitasnya adalah orang berusia 64 tahun yang bangun pagi, menonton televisi, dan menghabiskan waktu seharian di rumah. Termasuk pada Senin kemarin, 29 Oktober, ketika berita di televisi mengabarkan pesawat Lion Air jatuh di Tanjung Karawang. Itu mengingatkannya pada pekerjaan lama sebagai sopir angkutan barang.
Dulu ia kerap mondar-mandir naik Lion Air. Misalnya suatu ketika ia menerima pekerjaan mengantarkan barang dan mobil dari Jakarta ke Palembang; mobil dan muatannya ditinggal di sana, lantas ia pulang ke Jakarta naik Lion Air. Sama sekali tidak terlintas bakal ada kecelakaan seperti yang terjadi pagi itu.
Berita kecelakaan Lion Air tujuan Cengkareng ke Pangkal Pinang itu disimaknya sambil lalu. Sama sekali tak mengusiknya. Ia mematikan televisi lalu beraktivitas seperti biasa di rumah. Semua seperti biasa, paling tidak sampai sore hari. Sekitar pukul lima sore sebuah panggilan telepon berdering dari ponselnya.
"Tumben Ayuk Ning telepon, biasanyo sayo yang menelepon,” kata Eddy kepada Ningsih, kakak iparnya, dengan logat Palembang yang masih kental meski ia sudah tinggal di Jakarta sejak 1970.
Basa-basi itu dijawab tangisan. “Anak kau di pesawat itu,” ujar Ayuk Ning menyebut Resky Amalia, anak bungsu Eddy yang berumur 27 tahun.
Eddy seketika menangis. Ia cepat memanggil istrinya agar menyalakan televisi, mencari saluran berita kecelakaan pesawat. “Ada apa?”
Pertanyaan itu diabaikan Eddy. Di ujung telepon, Ayuk Ning masih bicara. Sore ini, David, kakak pertama Resky, akan tiba di Jakarta. “Kau cari anak kau, yo. Kawani David, dio idak tahu Jakarta.”
Ayuk Ning masih berharap Resky selamat. Setelah telepon ditutup, Eddy meneruskan kabar ke istrinya. Istrinya pingsan di depan televisi.
Anak Yatim dan Pintar
Sejak ayah Resky meninggal pada 2000, Eddy sudah menganggap empat anak Ayuk Ning seperti anak sendiri, terutama Resky yang sejak kecil lengket dengan Eddy. Resky tumbuh sebagai anak cerdas. Ia bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan dan ditempatkan di Pangkal Pinang. Pada awal 2018, Resky menikahi seorang polisi.
Sementara David menjadi pribadi pendiam dan paling terpukul atas kepergian ayahnya. Ia sempat stres dan meninggalkan pekerjaannya. Kini David membuka warung di rumahnya di Palembang. Kondisi itu yang membuat Eddy menaruh perhatian lebih kepada David.
Sepanjang malam pikiran Eddy kalut. Ia memikirkan janjinya kepada Ayuk Ning untuk mencari Resky. Apa yang harus dikatakannya pada Ayuk Ning jika Resky tak dapat ditemukan? Bagaimana jika memang tidak ada yang selamat dari peristiwa itu?
Malam itu ia sempat nekat hendak berangkat ke Cengkareng dari rumahnya di Tambun, Bekasi, untuk mencari tahu informasi soal Resky. Tetapi David mencegahnya melalui telepon. David meminta Eddy menemuinya besok pagi di Hotel Ibis Cawang, tempat menginap para keluarga korban Lion Air JT 610. Setelah itu mereka akan mencari kabar Resky.
Eddy menyanggupi. Namun, sepanjang malam, ia susah tidur. Ia terus memantau berita di televisi. Kabar terakhir dari televisi sudah ada beberapa korban yang ditemukan tapi belum teridentifikasi. Kondisi korban sudah tidak utuh. Ucapan “potongan tubuh” yang didengarnya di televisi bikin hati Eddy mencelos.
Setelah mengikuti berita sepanjang malam, harapan Eddy yang semula penuh, pelan-pelan menipis seperti balon mengempis. Selama lebih dari 12 jam evakuasi, tidak ada kabar korban selamat; tim Basarnas hanya membawa 24 kantong mayat. Meski hatinya menolak, tapi Eddy mencoba menerima fakta bahwa nyaris nol kemungkinan penumpang selamat.
Namun itu bukan bagian paling berat. Justru yang terberat mengabarkan kepada Ayuk Ning. Terlebih setelah mengetahui dalam sehari kemarin Ayuk Ning sudah tiga kali pingsan. Apalagi fisik Ayuk Ning, perempuan 67 tahun, sudah susah payah untuk berjalan sekalipun. Karena alasan ini pula Ayuk Ning tak ikut bersama David ke Jakarta.
“Macam mano bilangnyo? Keluarga besok la kumpul di Palembang sano. Nunggu kabarlah dari kami yang di sini."
Bagian Terberat
Pukul lima pagi, diantar anaknya dengan sepeda motor melintasi jalanan selama satu jam, Eddy menemui David di Hotel Ibis Cawang. Di depan lobi hotel, Eddy bertemu dengan Erwin, kakak ipar Resky, yang rupanya ikut ke Jakarta bersama David. Mereka berangkat ke Rumah Sakit Bhayangkara Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur.
Di jalan, mereka ikhlas kalau-kalau Resky tidak selamat. Mereka tiba di Kramat Jati sekitar pukul 8:30, lalu menuju Posko Ante Mortem [artinya 'sebelum kematian'] di gedung Identifikasi Korban Bencana (DVI). David, kakak kandung Resky, masuk ke gedung itu untuk menyerahkan data dan tes DNA. Erwin menemani David. Sedangkan Eddy menunggu di luar, membaur dengan keluarga korban Lion Air yang lain.
Eddy berusaha membuka obrolan dengan siapa saja di dekatnya. Selain mengusir suntuk, ia menganggap obrolan bisa meringankan hatinya yang kacau. “Memang harus dibawa ngobrol, ketawa, biar enggak sedih terus,” katanya.
Meski demikian ia tetap gusar. Ia berkali-kali melirik layar ponselnya yang butut, mengecek pesan atau jam, lalu melongok ke pintu utama gedung DVI, berharap David segera keluar. Begitu terus sampai tengah hari.
Sementara Erwin beberapa kali keluar masuk, memberikan informasi kepada Eddy. “Di dalam baru diwawancara. Belum biso tes DNA karena harus ibu atau anak. Kalau saudara kandung tetap idak biso,” ujar Erwin, menghabiskan sebatang rokok, lalu masuk lagi ke gedung DVI.
Selang beberapa menit, Erwin keluar lagi. Ia memberitahu keluarga Resky akan melakukan tes DNA di Palembang. Barang-barang pribadi Resky sudah diserahkan ke RS Bhayangkara Palembang dan hasilnya segera dikirim ke Kramat Jati.
Erwin sudah mulai membuka obrolan tentang rencana pemakaman. “Mau dimakamkan di Palembang atau Pangkal Pinang, nanti dibicarakan dengan suaminya,” kata Erwin.
Eddy kali ini diam. Ia melirik jam pada ponselnya, sudah pukul 1 siang. Eddy menelepon David.
“David sudah makan siang belum? Ini ado makan di luar, KFC dari orang BPK. Makan dulu sini, kagek masuk angin.”
Di ujung telepon, David menjawab sudah makan dan memberitahu tak akan lama lagi selesai urusannya lalu telepon ditutup.
Setelah Erwin masuk ke gedung DVI lagi, Eddy menarik napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Ada kabut di balik kacamatanya. Ia tahu ini saatnya ia menelepon Ayuk Ning.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam