tirto.id - Pesawat Lion Air JT-610 sempat meminta return to base (putar balik kembali ke bandara) sebelum akhirnya hilang dari radar. Catatan komunikasi terakhir ini mengindikasikan pilot menyadari adanya situasi tak normal pada pesawat dengan tipe B737-8 Max itu. Lion Air JT-610 akhirnya ditemukan jatuh di perairan dekat Tanjung, Karawang, Jawa Barat pada Senin (29/10/2018).
Pesawat membawa 178 penumpang dewasa, 1 penumpang anak-anak, dan 2 bayi, dengan 2 pilot dan 5 FA. Lion Air JT-610 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng pada 06.10 WIB menuju Pangkalpinang. Sesuai jadwal, pesawat seharusnya mendarat di Pangkal Pinang pada pukul 07.10 WIB. Namun mereka hilang kontak pada pukul 06.33 WIB. Hingga kini tim Basarnas masih terus melakukan upaya pencarian.
Dari runutan panjang sejarah penerbangan di dunia dapat disimpulkan beberapa faktor yang menjadi penyebab kecelakaan fatal pada pesawat. Laman Plane Crash Info menganalisis 1.104 kecelakaan fatal dari tahun 1960 hingga 2015. Laman ini menyimpulkan kesalahan pilot sebagai faktor penyebab kecelakaan pesawat paling besar, yakni sekitar 59 persen. Bukan hanya kapten pilot yang bertanggung jawab atas kecelakaan, melainkan tim penerbang secara keseluruhan.
Di urutan kedua baru menyusul masalah teknis berupa kerusakan mesin sebanyak 17 persen, faktor cuaca 17 persen, sabotase 9 persen, dan lainnya 10 persen. Hasil analisa laman ini juga diperkuat penelitian dari Clinton V. Oster bertajuk "Why Airplanes Crash: Causes of Accidents Worldwide". Ia menganalisis 700 kecelakaan fatal penerbangan yang terjadi di seluruh dunia antara tahun 1990 dan 2006 dalam layanan penumpang komersial.
Hasilnya tak berbeda jauh. Tiga besar faktor kecelakaan masih sama seperti laman Plane Crash Info: pilot, mesin, dan cuaca. Oster menyimpulkan kegagalan peralatan memiliki andil sebanyak 23 persen. Sisanya adalah faktor cuaca 10 persen, terorisme 4 persen, tubrukan dengan benda lain di udara 2 persen, kontrol lalu lintas udara 1 persen, kesalahan awak pesawat ground/kabin 1 persen, dan lain-lain 19 persen.
"Kendali pilot menjadi faktor terbesar penyebab kecelakaan, sebanyak 40 persen," tulis Oster dalam laporan tersebut.
Sementara itu, masih dari laman Plane Crash Info, terdapat grafik yang menunjukkan persentase kecelakaan pesawat berdasar waktu terbang. Data ini disusun dari kecelakaan pesawat komersil dari tahun 1959-2008. Peluang kecelakaan pesawat saat melakukan persiapan terbang, 12 persen, sama besar risikonya saat lepas landas (take off) 12 persen. Ketika pesawat mulai tahap awal naik ke udara, risikonya menjadi 8 persen, sementara tahap naik untuk terbang stabil memiliki risiko 10 persen.
Ketika pesawat berada di ketinggian tetap, risiko kecelakaan berada di angka 8 persen. Lalu saat ia memulai turun, risikonya jadi 4 persen, tahap penurunan kedua memiliki risiko 10 persen, dan tahap penurunan akhir risikonya 11 persen. Sementara pendaratan memiliki risiko paling besar sebanyak 25 persen.
Cara-Cara Bertahan Hidup
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk semaksimal mungkin bertahan hidup saat terjadi kecelakaan penerbangan, seperti yang dirangkum Telegraph.
Pertama, dengarkan baik-baik petunjuk keselamatan yang diperagakan awak pesawat dan ingat untuk membaca kartu keselamatan. Poin ini seringkali dianggap remeh oleh penumpang padahal sangat membantu dalam upaya penyelamatan.
Anda harus mengingat pintu keluar terdekat, termasuk jarak dari baris tempat duduk ke pintu keluar. Kemampuan mengingat ini diperlukan karena Anda dapat terjebak dalam keadaan gelap atau asap tebal di dalam pesawat. Info penyelamatan ketika terjadi kecelakaan udara penting diketahui sebagai dasar bertahan hidup.
Kedua, beberapa penelitian secara implisit juga mendorong penumpang memilih kursi deretan belakang supaya lebih aman. “Mereka yang duduk enam baris dari pintu keluar, lebih kecil kemungkinannya untuk bertahan hidup,” ungkap hasil studi Universitas Greenwich, seperti ditulis Telegraph.
Majalah Popular Mechanics juga menganalisis kecelakaan udara setelah tahun 1971 hingga tahun 2007. Ulasan media ini menyimpulkan kursi belakang yang berada di belakang sayap merupakan tempat paling aman. Penumpang yang duduk di sana memiliki tingkat ketahanan hidup sebesar 69 persen, dibandingkan 56 persen penumpang di kursi atas sayap dan 49 persen penumpang bagian depan.
Ketiga, tempatkan tubuh serendah mungkin (posisi brace) untuk mengurangi efek benturan dan risiko terhirup asap. Posisikan kaki di belakang lutut, letakkan tas tangan di bawah kursi depan, dan pergunakan sebagai pelindung tambahan kepala. Singkirkan benda-benda berbahaya di sekitar seperti pensil, pulpen, atau gigi palsu. Pertahankan posisi ini sampai pesawat berhenti.
Keempat, kenakan sabuk pengaman dengan benar dan pelajari cara melepasnya di saat yang tepat. Pada saat panik, orang cenderung bingung melepas sabuk pengaman.
Kelima, jika terjebak dalam kondisi berasap, sebisa mungkin cari penutup hidung, basahi dulu dengan air, atau urine. Asap dapat menyebabkan kesadaran hilang, sehingga perlu mengurangi kadar hirupan asap menggunakan kain basah. Lalu ingatlah untuk meninggalkan barang karena benda-benda tersebut akan membatasi gerak penyelamatan.
Terakhir, meski sulit, usahakan tetap tenang, mendengarkan, dan mengikuti instruksi awak pesawat pesawat. Pemerhati penerbangan, Saman Phartaonan, mengatakan pilot dilatih untuk mengatasi prosedur darurat. Mereka akan memberikan informasi keputusan kepada Air Traffic Services (pelayanan lalu lintas udara) yang sedang berjalan. Ketika kondisi sudah genting mereka dapat menggunakan Frequency Emergency 121.50. Semua lalu lintas pesawat dapat mendengarkan informasi yang disampaikan pilot.
“Penumpang tetap menunggu perintah dari awak karena mereka yang paham kondisi pesawat. Urutan pemberi informasi pada awak dimulai dari kapten, first officer, purser, assistant purser, dst,” katanya kepada Tirto.
Namun, laman Telegraph mengungkapkan apabila awak pesawat ikut panik atau tertegun saat harus memandu, maka penumpang diperbolehkan membuat keputusan penyelamatan mandiri. Periode emas untuk menyelamatkan diri hanya berlangsung sekitar dua menit. Jadi, Anda harus segera keluar dengan cepat!
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani