Menuju konten utama

Penumpang Pesawat Seluruh Dunia, Berserikatlah!

Perlindungan hak konsumen kerap dilupakan maskapai penerbangan demi mengejar profit.

Penumpang Pesawat Seluruh Dunia, Berserikatlah!
Sejumlah penumpang antri memasuki pesawat di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, Senin (18/5/15). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

tirto.id - Jarang sekali pesawat terbang mengalami kecelakaan saat mengudara. Bahkan trennya semakin menurun. International Civil Aviation Organization (ICAO) mencatat ada 7 kecelakaan jenis itu pada 2008. Pada 2012, hanya ada 1 kejadian. Sementara tahun lalu, sebanyak 2 pesawat terbang mengalami kecelakaan di udara.

Pada Senin (29/10/2018) kemarin, ketika pesawat jenis JT-610 milik maskapai penerbangan Lion Air dikabarkan hilang kontak dan kemudian puing-puingnya ditemukan di perairan Tanjung, Karawang, jumlah kecelakaan pesawat tahun ini pun bertambah. Menurut data manifes penumpang, pesawat itu mengangkut 178 penumpang dewasa, 1 anak, dan 2 bayi.

Kecelakaan tersebut hanya satu dari sederetan kasus kerugian yang menimpa penumpang pesawat terbang. Skytrax, konsultan pemeringkatan maskapai penerbangan dan bandara, pernah mengeluarkan daftar keluhan yang paling banyak disampaikan penumpang pesawat terbang. Menurut Skytrax, banyak konsumen maskapai penerbangan mengeluh kehilangan kopor dan penundaan jadwal terbang (delay).

Laporan yang dilansir Departemen Transportasi Amerika Serikat (AS) pada Desember 2017 menyebutkan dari sekitar 56,8 juta penumpang pesawat terbang domestik di AS pada Oktober 2017, sebanyak 116 ribu di antaranya melaporkan kopornya hilang (PDF). Sementara Direktorat Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub mencatat tingkat ketepatan waktu operasional (on-time performance) maskapai penerbangan untuk rute domestik di Indoensia pada 2017 baru mencapai 80,14 persen.

Penumpang, Konsumen yang Mesti Dilindungi

Sebagai konsumen, hak penumpang pesawat terbang diatur melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ada tiga lembaga yang diamanatkan undang-undang tersebut untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, yakni Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

BPSK bertugas menyelesaikan sengketa hukum yang dihadapi konsumen secara gratis. Sedangkan BPKN berperan memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah tentang kebijakan dan peraturan perlindungan konsumen.

Pengacara sekaligus Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Maruhum Lumban Tobing menjelaskan BPKN telah beberapa kali berhasil mendorong pemerintah menggolkan kebijakan pro penumpang pesawat terbang yang mengalami delay.

"Kebijakan refund untuk penumpang yang mengalami delay merupakan rekomendasi dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan kemauan dari Kemenhub," ujar David saat dihubungi Tirto, Senin (29/10/2018).

Menurut David, delay terjadi karena kinerja buruk maskapai penerbangan. Biasanya sebuah maskapai memasang terlalu banyak rute, sementara pesawat dan kru yang dimiliki maskapai tersebut tidak mampu memenuhinya. Regulasi refund tersebut gol pada 2015.

David juga mencatat BPKN pula yang merekomendasikan Kementerian Agama membuat acuan harga umroh.

"[Harga acuan umroh] pada tahun 2016 sudah dibikin, meskipun tidak dijalankan sehingga muncul kasus First Travel dan sebagainya," ujar David.

Sementara itu, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat di Indonesia mencakup organisasi seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang saat ini dipimpin Tulus Abadi dan KKI pimpinan David.

Menurut David, masyarakat sebetulnya sudah banyak membentuk LSM perlindungan konsumen. Namun, dia menekankan pentingnya komunitas tersebut untuk terdaftar sebagai badan hukum di Kementerian Kehakiman, Hukum, dan HAM dan terdaftar sebagai LSM di Kementerian Perdagangan.

"Dengan syarat itu, LSM tersebut bisa mengadvokasi konsumen. Bahkan bisa menggugat pelaku usaha tanpa surat kuasa dari konsumen," ujar David.

Pada Maret 2018, David menggugat PT Garuda Indonesia Tbk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. David merasa dirugikan karena tidak diberikan kompensasi berupa makanan ringan atas delay selama 70 menit.

David juga menggugat Garuda Indonesia karena mendadak menghapus rute penerbangan Jakarta-London, padahal banyak orang sudah memesan jadwal penerbangan itu sejak jauh hari.

"Orang yang beli 6 bulan sebelumnya melihat rute tersebut masih ada. Namun, karena tidak ada regulasi maskapai dengan sepihak bisa membuat rute Jakarta-London tidak ada. Harusnya, ketika maskapai membuat suatu jadwal dan rute, itu tidak bisa diubah dalam jangka waktu 1 tahun atau 6 bulan. Itu yang jadi loophole sehingga maskapai bisa memberlakukan konsumen dengan seenaknya," ucap David.

Sebelumnya, David juga menggugat Lion Air atas kasus delay pada 2007. Putusan gugatannya tersebut keluar pada 2008. Pada tahun yang sama, Kemenhub menyadari kasus delay maskapai penerbangan mesti diatur lebih lanjut.

"Karena gugatan itu, Departemen Perhubungan berinisiatif bahwa urutan delay ini harus diatur. Hasil saya gugat itu, [dikeluarkanlah] Peraturan Menteri No 25 Tahun 2008 tentang tanggung jawab maskapai apabila pesawat terbang mengalami delay. Sehingga sekarang ada makanan ringan, minuman ringan untuk kompensasi delay," kata David.

Tiga tahun kemudian, Peraturan Menteri 77 Tahun 2011 terbit. Selain kompensasi delay, dengan peraturan baru itu penumpang kini mendapat ganti rugi apabila kehilangan barang di bagasi atau mengalami kecelakaan.

"Kenapa konsumen harus menggugat? karena regulator selama ini tidak tanggap atas kejadian yang berulang menimpa konsumen. Paling-paling hanya peringatan. Harusnya ada sanksi yang membuat efek jera," tegas David.

Infografik Nasib penumpang pesawat

LSM Perlindungan Konsumen Penerbangan

"Setahu saya belum ada asosiasi khusus konsumen di bidang jasa atau produk tertentu."

Kalimat tersebut diucapkan David ketika ditanya apakah ada LSM di Indonesia yang khusus menangani konsumen maskapai penerbangan. LSM seperti YLKI dan KKI selama ini menangani konsumen segala bidang. Perlindungan konsumen yang dikaji YLKI, misalnya, mencakup nasabah bank sampai konsumen Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), meskipun juga menangani penumpang pesawat terbang.

David mendukung mereka yang ingin membentuk lembaga perlindungan konsumen maskapai penerbangan selama itu memang bisa memberikan manfaat kepada konsumen untuk mengadvokasi regulasi atau membela diri di depan peradilan atau proses pidana.

Yang penting, menurut David, LSM tersebut berbadan hukum dan digerakkan para pakar dunia penerbangan dan industri maskapai penerbangan.

"Itu bisa dilakukan dengan membuat LSM berbadan hukum khusus bergerak di bidang konsumen penerbangan. Untuk menguatkan posisi dan statement ke publik harus diisi orang-orang yang punya pengalaman di bidang penerbangan," tegas David.

Kondisi perlindungan hak penumpang pesawat di Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, ada sebuah organisasi bernama National Association of Airline Passengers (NAAP). Organisasi yang dibentuk pada 2010 tersebut bertujuan mengadvokasi aspirasi anggotanya, yaitu para penumpang pesawat terbang, agar dapat memengaruhi atau mengubah kebijakan pemerintah dan industri penerbangan.

Laman resmi NAAP menyebutkan lima tujuan yang dikejar organisasi tersebut, mulai dari melindungi penumpang pesawat dari tindak kekerasan akibat kebijakan dan petugas Kantor Keamanan Transportasi AS hingga menuntut adanya kursi dan ruang kaki yang lebih luas bagi penumpang. Organisasi itu juga ingin mereformasi kebijakan biaya penerbangan, improvisasi kebijakan barang rusak dan hilang, dan toilet yang dapat diakses kursi roda di pesawat terbang.

NAAP juga sempat mengajukan petisi kepada Federal Aviation Administration (FAA). Ia menuntut FAA mengatur maskapai penerbangan di AS supaya menyediakan kursi yang nyaman dan tidak terlalu sempit bagi penumpang.

Asosiasi tersebut juga menempuh upaya hukum untuk menggugat penggunaan alat pindai tubuh yang disebut Advanced Imaging Technology (AIT) yang diterapkan Transportation Security Administration di AS.

Direktur NAAP Douglas Kidd juga mengomentari industri penerbangan di AS yang semakin mementingkan profit dan pengamanan berlebihan ketimbang keselamatan dan kenyamanan penumpang.

Penulis blog perjalanan Gary Leff mengatakan kepada New York Timesbahwa industri penerbangan komersial di AS semakin tidak bersahabat sejak peristiwa 9/11. Setelah peristiwa itu, ada aturan yang mengharuskan penumpang mengikuti instruksi awak maskapai. Penumpang yang tidak menghiraukannya bakal dicap sebagai ancaman.

"Petugas maskapai memegang posisi kekuasaan dan kewenangan yang begitu ekstrem," ujar Leff.

Resesi global dan kenaikan harga bahan bakar pada 2008 juga menyebabkan merosotnya jumlah maskapai penerbangan dan harga tiket pesawat terbang melambung tinggi.

Setelah 2008, maskapai penerbangan menghitung tas bagasi dan makanan sebagai fasilitas berbayar. Maskapai juga mengurangi jumlah pesawat yang beroperasi tetapi mengangkut penumpang lebih banyak. Maskapai sekarang terjebak dalam praktik seperti itu, meskipun ekonomi sudah pulih.

Padahal, sebelumnya, dengan diberlakukannya Undang-undang Deregulasi Maskapai Penerbangan pada 1978, pemerintah mengendalikan harga tiket dan rute, sementara para maskapai berlomba-lomba menyediakan fasilitas makanan dan ruang kaki senyaman mungkin.

"Kebijakan mereka [maskapai penerbangan di AS]: pendisiplinan kapasitas adalah kunci mempertahankan profit maskapai. Dulu, banyak maskapai yang berlomba-lomba merebut pangsa pasar. Sekarang, dengan adanya konsolidasi, tersisa empat hingga lima maskapai besar, mereka tidak perlu khawatir tentang pangsa pasar,” ujar Kidd.

Kini, Badan SAR Nasional tengah melakukan upaya evakuasi penumpang dan awak pesawat Lion Air JT-610. Tentu, kecelakaan dan kerugian semacam itu tidak perlu berulang kali lagi terjadi di kemudian hari. Sehingga pendirian LSM perlindungan konsumen maskapai penerbangan menjadi suatu gagasan yang patut dipertimbangkan.

Baca juga artikel terkait LION AIR JATUH atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan