tirto.id - Riset dan analisis kami, dengan mengkroscek keterangan dari sejumlah narasumber yang paham perkara penerbangan, menjelaskan pesawat Lion Air JT 610 memang bermasalah sebelum dipakai mengangkut penumpang dari Cengkareng ke Pangkal Pinang.
Pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP ini menghadapi kendala—atau kami menyebutnya "kejanggalan"—terutama saat terbang dari Denpasar ke Jakarta pada malam hari 28 Oktober 2018. Artinya, jika saja manajemen Lion Air mau kritis dan terbuka terhadap histori penerbangan pada pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 ini, terbuka kemungkinan peristiwa nahas pada Senin pagi, 29 Oktober, bisa dihindari.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mulai menyelidiki informasi soal kondisi penerbangan pesawat yang baru berumur 2,4 bulan ini terutama dari Bandara Ngurah Rai ke Bandara Soekarno-Hatta. Meski begitu, menurut investigator KNKT Ony Suryo Wibowo, "datanya dengan sangat menyesal belum bisa disampaikan karena harus kami verifikasi. Kami juga harus hati-hati."
Sebelum Jatuh: Selama Tiga hari Selalu Terlambat
Jadwal keberangkatan (scheduled time of departure) belum tentu sesuai waktu keberangkatan (actual time of departure). Semua tergantung faktor cuaca, kepadatan lalu lintas udara, maupun kondisi pesawat.
Tiga hari sebelum jatuh atau sejak hari Jumat, pesawat PK-LQP selalu delay dalam enam penerbangan secara berturut-turut. Padahal, seminggu sebelumnya, proses lepas landas selalu sesuai jadwal; jika pun terlambat tak kurang dari 45 menit.
Delay pertama saat PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-776 rute Denpasar-Manado pada Jumat, 26 Oktober. Pesawat mestinya terbang pukul 09.55 malah molor nyaris 4 jam dan baru terbang menuju Manado pukul 13.35.
Setelah tiba di Manado pukul 15.31, pesawat langsung ke Tianjin, Cina, dan tiba pukul 11 malam. Satu jam kemudian, pesawat kembali ke Manado dan tiba pukul 07:00 di Bandara Sam Ratulangi pada 27 Oktober.
Kedatangan itu terlambat lebih dari satu jam karena mestinya tepat jam tujuh pagi pesawat harus sudah lepas landas dari Manado menuju Denpasar dengan nomor penerbangan JT 775.
Setelah tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai, pesawat direncanakan kembali ke Manado dan lepas landas pukul 09.55. Tetapi, karena baru tiba pukul 10.11, otomatis delay selama 4 jam 44 menit. Pesawat baru meluncur ke Manado pukul 14.34 siang.
Penyebab delay: armada PK-LQP dipakai untuk jadwal penerbangan pergi-pulang Denpasar-Lombok. Ia kembali ke Denpasar pukul 13.30; satu jam kemudian, baru melanjutkan terbang ke Manado.
Esok harinya, Minggu, 28 Oktober, armada PK-LQP yangmenginap di Manado kebagian penerbangan pagi ke Denpasar. Lagi-lagi delay; mestinya berangkat pukul 06:40 malah molor 1 jam 13 menit.
Kejanggalan saat Mendarat di Denpasar
Usai tiba di Denpasar kejanggalan terjadi: pesawat mendarat cukup lama. Tiba pukul 10:00, armada PK-LQP ini baru dijadwalkan terbang pukul 19.30. Kejadian ini menyimpang dari pola biasanya.
Sejak didatangkan dari Seattle, kota terbesar di Washington, pada pertengahan Agustus lalu, pesawat mulai efektif dipakai nonstop per 18 Agustus. Sampai 29 Oktober, PK-LQP telah terbang 439 kalidi bawah Lion Air. Rerata, PK-LPQ kebagian 6 kali penerbangan per hari.
Apa yang terjadi di Denpasar adalah kejanggalan—atau setidaknya memancing pertanyaan—sebab sejak 18 Agustus, PK-LQP tak pernah mendapatkan jatah kurang dari 4 kali penerbangan. Ia sempat kebagian 2 kali penerbangan dalam sehari pada 24 Oktober dan 3 kali penerbangan pada 26 Oktober. Tetapi saat itu Lion Air PK-LQP kebagian jadwal pergi-pulang menuju Cina yang ditempuh lebih dari 6 jam sekali jalan.
Soal ngetem lama di Bandara Ngurah Rai ini dibenarkan Direktur Utama Lion Air Edward Sirait kepada Tirto, "Di Bali memang grounded, itu diperbaiki ganti sparepart." Meski begitu, ia membantah pesawat grounded lebih dari 12 jam.
Klaim ini tidak sinkron jika merujuk catatan pengelola Bandara Ngurah Rai. Sejak tiba di Denpasar pukul 10.00, pesawat Lion Air PK-LQP mestinya menuju Jakarta pukul 19.30. Tapi, faktanya, pesawat baru lepas landas pukul 22.21.
Jika memang pesawat sudah di bandara sejak pagi, kenapa masih delay? Jika merujuk penerbangan lain dengan jam serupa seperti Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-728 dan GA-7048, atau dengan Emirates EK-451 dan Lion Air JT 2611—semuanya terbang sesuai jadwal.
Spekulasi berkembang bahwa pesawat ini memang bermasalah sejak tiba dari Manado. Saat dipakai dengan nomor penerbangan JT 43 tujuan Jakarta, ada gangguan teknis.
Meski begitu, hal itu ditampik Edward Sirait. "Jika pesawat rusak, mustahil pesawat bisa diizinkan terbang dari Denpasar. Ketika kami menerima laporan kru pesawat, kami secepatnya membenahi," kilahnya.
Penerbangan Denpasar-Jakarta Memang Bermasalah?
Klaim Edward tak sepenuhnya akurat. Ada hal tak lazim saat Lion Air PK-LQP terbang dari Denpasar menuju Jakarta. Dari data Flightradar24 terlihat proses menaikkan lambung pesawat tak stabil, malah turun dari ketinggian.
Proses anjlok dari ketinggian cukup drastis: 1 menit 4 detik setelah lepas landas mencapai ketinggian 480 meter. Dalam tempo 20 detik, pesawat turun jadi 410 meter. Lalu pilot menarik tuas mesin hingga 453 km/jam dan pesawat kembali naik.
Selang 2,3 menit kemudian ketinggian pesawat berkisar 1700 meter. Dan, lagi-lagi, Lion Air PK-LQP anjlok drastis. Ketinggian pesawat turun hingga 300 meter dalam tempo 25 detik.
Ada beberapa kemungkinan penyebab kondisi tersebut: cuaca buruk, turbulensi, atauangin yang menghempas ke bawah (downdraft).
Masalahnya, cuaca malam itu di Bandara Ngurah Rai normal, terlebih jika dibandingkan maskapai lain yang lepas landas pada jadwal sama, seperti Citilink QG 691, Singapore Airline SQ 949, atau Batik Air OD 157 (masih satu grup dengan Lion Air). Pesawat-pesawat itu menjalani proses climbing secara mulus.
Konklusi sama kami bisa temukan saat membandingkan data Lion Air PK-LQP (Minggu, 28 Oktober) dengan penerbangan Lion Air rute Denpasar-Jakarta memakai jenis Boeing 737 Max 8: misalnya seperti nomor penerbangan JT 41. Saat memakai pesawat PK-LQK, PK-LGP, dan PK-LQH, proses climbing mereka terlihat normal.
Soal kejanggalan ini dibenarkan oleh praktisi penerbangan sekaligus mantan Direktur Teknik Sriwijaya Air Ananta Wijaya. "Dari situ memang kelihatan ada yang tidak normal saat pesawat mau climbing," ucapnya kepada Tirto.
Pola ini menimpa Lion Air JT 610 sebelum hilang kontak, yang kemudian ditemukan di perairan Tanjung Karawang. Semenit pertama, JT 610 naik ke ketinggian 625 meter, lalu turun 450 meter dalam tempo 25 detik. Pada titik inilah Kapten Bhayve Suneja menarik tuas sekencang-kencangnya hingga laju pesawat mencapai 630 km/jam, sehingga JT 610 naik ke ketinggian 1660 meter.
Dua menit kemudian, alih-alih semakin tinggi, pesawat stagnan pada ketinggian tersebut. Yang terjadi: dalam tempo empat menit selanjutnya pesawat keluaran Boeing terbaru ini anjlok drastis hampir 250 meter dari 1630 ke 1370 meter, dengan jeda 55 detik.
Lalu, si kapten berusaha kembali ke posisi normal; kemudian, sinyal terputus. Beberapa detik sebelum jatuh, kru dan penumpang mengalami gaya tarik gravitasi alias G-force atau terayun-ayun. Seketika ketinggian pesawat menukik hampir 365 meter dalam tempo 10 detik.
Membaca Kejanggalan Lion Air PK-LQP dari Logbook JT 43
Kemarin, di media sosial, beredar Logbook Lion Air dengan nomor penerbangan JT 43—pesawat sama untuk nomor penerbangan JT 610. Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait membenarkan dokumen ini, "Semua dokumen sudah kami serahkan ke KNKT biar diinvestigasi."
Ada dua Logbook beredar di sosial media. Perbedaan keduanya hanya pada bagan corrective action: yang satu kosong dan satu lagi sudah diisi teknisi Lion Air. Dalam Logbook itu ada dua poin penting yang dikeluhkan si pilot.
Keluhan pertama soal tak munculnya data ketinggian dan indicated airspeed (IAS).
Rahmat Budiarto, pengamat teknologi aviasi, menyebut keluhan ini bisa jadi hal serius. Contoh kasus yang beririsan dengan masalah ini adalah Air France 447 yang jatuh pada 1 Juni 2009 dan menewaskan 228 orang.
"Kalau tidak sinkron data altitude dan IAS, biasanya isu penting. Karena data itu bisa memengaruhi kinerja auto pilot. Karena itulah mungkin kenapa penerbangan JT 43 tak memakai auto pilot," ucap sosok yang juga jadi Sekjen di Ikatan Alumni Penerbangan Institut Teknologi Bandung ini.
Selain Logbook, beredar pula catatan teknisi Lion Air, yang memaparkan masalah tersebut. Dari catatan inilah diketahui sistem auto pilot saat itu tak berfungsi.
"STS (speed trim system) juga berjalan ke arah yang salah, dicurigai karena perbedaan kecepatan. Diidentifikasi instrumen pilot tidak dapat diandalkan dan menyerahkan kontrol kepada ko-pilot," tertulis dalam catatan itu.
Rahmat menyebut pengambilalihan kendali pesawat ke ko-pilot karena data komputer di layar pilot mungkin kacau dan layar panel ko-pilot masih menunjukkan data normal. Sulit mengaitkan penyebab masalah ini dengan gangguan PK-LQP saat climbing sebab saat proses menaikkan lambung pesawat, sistem kendali autopilot biasanya belum terpakai.
Keluhan kedua: ada perbedaan feel pressure.
Secara garis besar feel pressure difungsikan untuk memberikan beban kepada setir (control column) menyimulasikan tekanan aerodinamika di bilah kendali supaya terasa natural. Dalam Logbook, Kapten William Martinus mengeluhkan beban berlebih yang diterima saat memegang kendali setir.
Feel different pressure bisa jadi pertanda ada kerusakan serius di bagian elevator (kemudi angkat di bagian ekor). Elevator punya fungsi kontrol mengarahkan hidung pesawat untuk naik atau turun.
"Data feel diff pressure itu diambil dari sistem pilot di elevator. Feel ditansmisikan ke setir. Di setir, komputer feel elevator menggunakan sistem hidrolik atau tekanan. Itu dipilih mana yang angkanya paling besar. Jika dua sistem ini gangguan, maka komputer feel di elevator akan merasakan differential pressure yg berlebih," katanya.
Demi menjawab keluhan pilot penerbangan JT 43, perihal yang dicek si teknisi pun memang bagian elevator, dan hal ini bisa dilihat di Logbook. Dalam laporan, si teknisi menulis elevator itu tak bermasalah. "Performed cleaned electrician plug of elevator feel computer test on the ground found ok," tulisnya.
Logbook JT 43 memang bisa jadi analisis awal, meski tak bisa jadi acuan mencari musabab jatuhnya pesawat PK-LQP di perairan Tanjung Karawang.
"Kita mesti menunggu investigasi pihak terkait terutama data dari Black Box," tukas si teknisi.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam