Menuju konten utama

Gurita di Belakang Singa

Lion Air Group pernah membuat gebrakan bisnis dengan transaksi pembelian 464 pesawat jenis Boeing 737 dan Airbus A320 pada tahun 2011 dan 2013. Mereka harus membayar Rp595 triliun. Dari mana duitnya? Siapa raksasa di belakang Lion yang memberi jaminan sehingga pihak Boeing atau Airbus percaya kepada Rusdi Kirana? Benarkah Temasek ada di belakang Lion?

Gurita di Belakang Singa
lion Air. Foto/www.airbus.com

tirto.id - Lima tahun silam, Lion Air Group bikin geger. Mereka membuat kesepakatan besar dengan Boeing yang nilainya mencapai ratusan triliun. Dua presiden menyaksikan langsung penandatanganan kesepakatan tersebut. Selang dua tahun kemudian, Lion Air Group kembali membuat gempar dengan memborong Airbus. Penandatanganan kesepakatan dilakukan di Istana Kepresidenan Perancis, dan disaksikan langsung Presiden Hollande.

Secara total, transaksi yang dilakukan Lion Air Group pada 2011 dan 2013 itu mencapai , $45,7 miliar atau sekitar Rp595 triliun. Rinciannya adalah $21,7 miliar dengan Boeing dan $24 miliar dengan Airbus.

Pada 18 November 2011, maskapai yang berdiri di tahun 2000 itu, meneken kontrak pembelian sebanyak 230 pesawat Boeing 737, senilai $21,7 miliar atau sekitar Rp282 triliun. Penandatanganan kesepakatan pembelian 230 pesawat Boeing dilakukan di sela-sela acara KTT ASEAN, di Nusa Dua, Bali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Barack Obama menyaksikan langsung kesepakatan bisnis raksasa itu.

Transaksi tersebut merupakan penjualan pesawat komersial terbesar Boeing sepanjang sejarah. Presiden Obama memuji Lion sebagai salah satu maskapai dengan pertumbuhan tercepat di kawasan Asia Pasifik. Ia senang Lion Air Group bisa membantu menggerakkan roda perekonomian Amerika Serikat dengan pesanan yang besar ke Boeing. Maklum saja, ketika itu Amerika Serikat baru saja mengalami pemulihan setelah sempat didera krisis parah.

“Ini adalah kesepakatan terbesar -- jika saya tidak salah – yang pernah dibuat Boeing. Kita melihat lebih dari 200 pesawat akan terjual. Pemerintah AS dan Ex-Im Bank, secara khusus, penting dalam memfasilitasi kesepakatan ini,” ujar Obama ketika itu.

Selanjutnya pada Maret 2013, Lion Air Group kembali meneken kontrak pembelian 234 pesawat Airbus A320 dan A321 senilai $24 miliar atau Rp312 triliun. Penandatanganan jual beli dilakukan di Istana Kepresidenan Elysee, dan disaksikan langsung oleh Presiden Perancis Francois Hollande.

“Pemesanan dalam jumlah besar dan nilai kontrak yang sangat besar ini menegaskan perekonomian Indonesia sangat luar biasa,” puji Presiden Hollande.

Dua kali transaksi pembelian spektakuler dilakukan Lion. Nilainya $45 miliar, atau setara dengan 45 persen dari cadangan devisa Indonesia yang ketika itu berkisar $100 miliar. Transaksi itu tentu saja langsung mengundang kecurigaan tentang siapa pihak yang mau mendanai transaksi sebesar itu.

Lion mengaku dana itu berasal dari kredit yang dikucurkan konsorsium pimpinan US Exim Bank untuk pembelian Boeing. Presiden Obama dalam pidatonya sudah mengkonfirmasi adanya bantuan pembiayaan dari US Exim Bank. CEO Lion Air Group, Rusdi Kirana pun menyatakan hal yang sama.

“Saya tidak bisa berbicara terlalu terperinci karena sangat confidential. Kami juga menjalin hubungan cukup lama dengan Boeing sejak membeli 178 unit 737-900 ER. Bisnis tak harus berbicara tentang uang. Modal kami adalah trust. Boeing dan Bank Exim Amerika Serikat tidak akan begitu saja berbisnis dengan Lion Air. Tentu mereka sudah mempelajari rekam jejak kami,” katanya dalam wawancara dengan Tempo, yang diunggah pada Senin (23/2/2015).

Sementara untuk pembelian Airbus, Rusdi Kirana mengaku didukung oleh sindikasi Export Credit Agency (ECA) di Inggris, Perancis dan Jerman.

“Saya mendapat kredit 10 tahun hingga 15 tahun untuk satu pesawat,” jelas Rusdi, dalam wawancaranya di sela-sela penandatanganan kesepakatan itu di Paris, seperti dikutip dari Kontan, 21 Maret 2013 lalu.

Rusdi mengaku kreditnya berbunga murah, hanya LIBOR plus 2 persen. Kredit baru akan berjalan setelah pesawat diantarkan. Pengiriman Airbus ini dilakukan secara bertahap, dan tuntas pada 2027. Ini artinya, kredit baru akan tuntas pada 2037 – 2042.

Namun sejumlah pertanyaan mengemuka, mengingat aturan di dunia internasional dalam hal jual beli pesawat menyebutkan, pemilik maskapai harus menyediakan modal minimal 30 persen dari total nilai pembelian. Artinya, Rusdi Kirana harus memiliki dana senilai Rp120 triliun lebih. Jika dana itu dirogoh dari kantor pribadi Rusdi Kirana, jelas tidak mungkin. Menurut kalkulasi majalah Forbes, total kekayaan Rusdi di tahun 2012 hanya di kisaran angka Rp 8,5 triliun.

Lalu bagaimana soal uang jaminan karena total kekayaannya menurut Forbes hanya Rp 8,5 triliun? “Forbes salah menghitung, hahaha… Pertanyaan yang sama pernah ditanyakan beberapa menteri. Jawabannya, saya menjual negara ini, yang saya jual itu Merah Putih,” katanya Rusdi, dalam wawancara khususnya dengan Tempo.

Menurut Rusdi, saat melobi Bank Exim Amerika Serikat dan Paribas di Perancis, dia tidak pernah menjual diri sendiri. “Yang saya jual adalah prospek negeri ini. Memiliki bentangan dari Sumatera ke Papua sepanjang 5.000 kilometer, penduduknya 230 juta jiwa, perekonomiannya tumbuh 7 persen, dan transportasi udara yang paling murah. Mereka pasti berpikir, mendanai saya adalah hal yang masuk akal,” katanya ketika itu.

Gurita Temasek di Indonesia

Benarkah cukup dengan menjual potensi Indonesia, maka kedua pabrikan pesawat terbesar di dunia itu percaya? Pastinya tidak semudah itu. Yang pasti, dalam sebuah transaksi kredit yang lumrah, pinjaman hanya bisa diberikan jika ada kolateral ataupun penjamin. Dalam hal ini, tidak jelas kolateral yang diberikan oleh Lion Group, termasuk penjamin sehingga kreditur bersedia mengucurkan dananya. Lion hanya menyatakan adanya lembaga kredit yang membantu mereka untuk belanja pesawat.

Spekulasi pun bermunculan tentang siapa yang membantu Lion sehingga bisa mendapatkan kepercayaan untuk mendapatkan kredit sebesar itu. Dalam forum-forum diskusi tentang penerbangan, sempat muncul nama Temasek. Namun, tidak pernah ada konfirmasi baik dari Lion Air maupun Temasek soal keterkaitan bisnis. Temasek tak pernah menyebut ada kesepakatan bisnis dengan Lion Air.

Dalam portofolio Temasek di sektor transportasi, tidak ada nama Lion Air. Temasek hanya mencantumkan Singapore Airlines dalam daftar portofolio kepemilikannya. Temasek tercatat menguasai 56,48 persen saham Singapore Airlines.

Mengapa Temasek dikait-kaitkan dengan Lion Air? Sebelum terjadi pembelian spektakuler tadi, Lion Air menjadi maskapai pertama di dunia yang mengopreasikan pesawat terbaru produksi Boeing, yakni 737-900 ER. Peresmian pertama pengoperasian perdana Boeing 737-900 ER milik Lion Air itu dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla , pada Senin (30/4/2007).

Peresmian oleh Wapres JK menjadi logis, jika melihat fakta lainnya bahwa nama Halim Kalla, adik kandung JK, ada di jajaran komisaris Lion Air yang didirikan Rusdi dan kakaknya Kusnan Kirana pada tahun 2000.

Bukaka yang merupakan grup perusahaan milik keluarga Kalla, pernah bekerja sama dengan Singapore Telecommunications (SingTel) Limited. Pada tahun 1996, pernah didirikan PT Bukaka SingTel International, perusahaan yang memenangkan tender senilai Rp1,1 triliun untuk pembangunan 403 ribu sambungan baru.

Hal yang harus dicatat, SingTel yang kini juga menguasai 35 persen saham PT Telkomsel, operator seluler terbesar di Indonesia, tak lain merupakan anak perusahaan Temasek Holdings Pte, BUMN milik pemerintah Singapura yang telah menjelma menjadi konglomerasi bisnis.

Semua itu memang hanya benang merah, yang belum jelas konfirmasinya. Hanya saja, keterkaitan itu muncul karena tidak ada keterbukaan dalam sebuah transaksi besar, seperti yang dilakukan Lion Air Group. Apalagi jika melihat fakta bahwa penandatanganan kontrak antara Lion Air dengan pihak Boeing dan Airbus selalu melibatkan para pemimpin negara. Selubung yang tak tersingkap akhirnya memunculkan beragam spekulasi.

Baca juga artikel terkait LION AIR atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Bisnis
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti