Menuju konten utama

Lebur bak Kulit Telur: Risiko Terburuk Pesawat Mendarat di Air

Kondisi ombak, timing, hingga kepiawaian sang pilot menentukan hasil akhirnya: selamat atau hancur lebur.

Lebur bak Kulit Telur: Risiko Terburuk Pesawat Mendarat di Air
Ilustrasi mendarat darurat di air. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Akun Twitter Sutopo Purwo Nugroho kembali ramai pada Senin (29/10/2018) siang. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu mempublikasikan foto dan video serpihan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan dekat Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Terlihat robekan badan serta kursi pesawat, ekor pesawat yang terdapat logo Lion Air, plastik, kertas, pelampung, dan lain-lain. Terekam pula barang-barang pribadi milik penumpang, seperti tas atau ponsel yang telah terkoyak.

Sutopo mengabadikan yang sudah diangkut ke atas kapal Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

“Saat ini tim SAR Basarnas melakukan penyelaman.. Basarnas dibantu Kementerian Perhubungan, TNI, Polri & relawan terus melakukan evakuasi,” demikian isi cuitan Sutopo, yang sudah dibagikan ribuan kali oleh warganet.

Pendaratan darurat adalah salah satu materi pembelajaran yang wajib dikuasai oleh calon pilot. Saat mesin mati, misalnya, pilot mesti segera mempertimbangkan dan memutuskan metode pendaratan darurat dengan kemungkinan keselamatan tertinggi.

Jika opsi mendarat di daratan tidak memungkinkan, maka mendarat di perairan pun jadi. Dalam dunia penerbangan internasional, pendaratan darurat di perairan kerap diistilahkan sebagai ditching. Contoh yang paling legendaris adalah pendaratan Penerbangan 1549 US Airways.

Pesawat US Airways itu beroperasi dari Bandar Udara Laguardia di New York menuju Bandar Udara Internasional Charlotte/Douglas di North Carolina pada 15 Januari 2009. Pilot utamanya Chesley “Sully” Sullenberger. Ia ditemani Jeffrey Skiles selaku ko-pilot.

Dua menit usai mengudara, Sully menyadari bahwa kedua mesin pesawat mati. Ia kemudian dihadapkan pada dua keputusan penting: disetir hingga Bandara Teterboro di New Jersey atau mendarat darurat di lokasi yang lebih dekat?

Sully memilih opsi kedua. Bukan di darat, sebab ia terbang di atas rimba beton yang dipenuhi gedung pencakar langit dan jalanan kota yang ramai oleh kendaraan pribadi. Ia memilih Sungai Hudson, area perairan yang cukup luas, pemisah teritori New York dan New Jersey.

Sully sukses mengeksekusi pendaratan darurat karena terbantu oleh permukaan sungai yang tenang. Cuaca sore itu juga cukup cerah, sehingga tidak mengganggu penglihatan Sully.

Tim evakuasi datang ke lokasi dengan cepat. Sebanyak 155 orang yang berada di dalam pesawat, baik penumpang maupun kru, selamat. Beberapa di antaranya hanya luka-luka kecil.

Pengalaman Sully kini dianggap sebagai teladan bagi proses ditching. Sayangnya, tidak semua percobaan ditching menuai tingkat keberhasilan yang sama. Ambil contoh Penerbangan 111 Swissair yang beroperasi dari Bandara Internasional John F. Kennedy di New York ke Bandara Internasional Cointrin di Jenewa, Swiss.

Di saat mengudara pada 2 September 1998, pesawat tiba-tiba mengalami kebakaran. Ko-pilot tak mampu mendaratkannya dengan mulus di atas Samudera Atlantik. Pesawat hancur berkeping-keping dan menewaskan ke-229 penumpang plus awaknya.

Laporan Andrew C. Revkin dari New York Times mengenai kecelakaan tersebut mengandung analisis penting: pendaratan darurat di atas perairan bisa jauh lebih berbahaya ketimbang pendaratan darurat di daratan. Hal ini tetap berlaku meski sang pilot tetap memiliki kontrol atas pesawat.

Ada berbagai faktor penyebab. Salah satunya, yang paling jadi pertimbangan, adalah kondisi atas permukaan laut, danau, atau sungai. Semakin besar ombaknya, maka akan semakin tipis peluang pesawat bisa mendarat tanpa patah atau hancur.

“Lebur seperti kulit telur,” kata Harry Robertson kepada Revkin. Robertson telah menyelidiki kecelakaan pesawat selama empat dekade. Ia pernah diserahi tanggung jawab memimpin Crash Research Institute, sebuah sekolah untuk investigator kecelakaan di Tempe, Arizona, AS.

Robertson menjelaskan proses ditching yang mesti dilalui dengan cara menyejajarkan alur pendaratan dengan arah ombak, bukan melintang atau menyeberanginya. Kedua, pilot mesti memilih perairan yang bebas jembatan, kapal, atau ojek-objek lain yang bisa memicu tabrakan mematikan.

Idealnya, pilot pesawat komersial sudah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan pendaratan darurat. Ada prosedur yang mesti dijalankan sebagaimana proses pendaratan darurat di daratan.

Laporan BBC News Magazine usai kejadian yang menimpa pesawat Sully menjelaskan bagaimana pilot pertama-tama harus melakukan panggilan darurat (mayday). Pilot kemudian memberitahu kru kabin dan memastikan roda pesawat tidak dalam posisi terjulur ke luar. Penyejuk udara juga harus dimatikan untuk mencocokkan tekanan di dalam dan luar kabin.

Waktu (timing) adalah segalanya. Jika sempat, pilot disarankan untuk mengosongkan bahan bakar agar bobot pesawat semakin ringan. Saat hampir mencapai permukaan air, sayap dibuka lebar-lebar untuk membantu proses pengereman.

Perlahan-lahan adalah kunci, sebab badan pesawat akan mudah patah atau hancur jika terlalu cepat menghantam air.

Infografik Mendarat Darurat di Air

“Kau perlu mendaratkan pesawat selambat-lambatnya tanpa mogok. Kau juga mesti mendaratkan kedua mesin di air dalam waktu bersamaan. Kena ujung salah satu sayap duluan, pesawat akan memutar,” kata Frank Ayers, profesor ilmu aeronautika di Embry Riddle Aeronautical University, Florida, kepada jurnalis NPR Andrew Prince.

Prince kemudian meminta pendapat beberapa ahli penerbangan lain, yang memberi tips agar bagian pertama yang menyentuh air adalah ekor pesawat. Setelahnya, selama menyeimbangkan posisi pesawat, biarkan air bekerja memperlambat laju pesawat.

Usai berhasil mendarat, pilot harus mempertahankan sayap pesawat agar tetap dalam posisi horizontal. Di masa-masa inilah para penumpang seharusnya bisa melakukan prosedur penyelamatan sesuai panduan kru pesawat atau yang tertera dalam lembaran instruksi keselamatan.

Sekali lagi, waktu adalah segalanya. Sebelum pesawat tenggelam, penumpang dan kru mesti sudah mengenakan jaket pelampung dan bersiap menggelembungkannya. Sabuk pengaman dilepas, lalu keluar melalui pintu darurat, dan turun ke perairan memakai balon seluncur darurat.

Ilustrasi di atas bersifat teoretis, sementara situasi di lapangan kerap berkata sebaliknya—termasuk yang kemungkinan menimpa pesawat Lion Air JT-610. Basarnas pada Senin (29/10/2018) sore menyatakan prediksi tidak ada korban yang selamat.

“Prediksi saya itu sudah tak ada yang selamat. Karena korban saja beberapa potongan tubuhnya sudah tidak utuh. Kemungkinan 189 [orang di pesawat] itu sudah dalam keadaan meninggal dunia semua," kata Direktur Operasi Basarnas Brigadir Jenderal Bambang Suryo di kantor Basarnas.

Tim SAR disebut sudah menemukan sejumlah potongan tubuh di sekitar perairan Tanjung Karawang. Bagian-bagian tubuh itu telah dibawa ke Jakarta untuk diidentifikasi di Rumah Sakit Polri di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur.

"Proses pencarian akan dilanjutkan selama 24 jam. Saya prediksi, dengan banyaknya puing di permukaan dan baru ditemukan beberapa potongan tubuh, saya prediksi banyak korban di dalam pesawat," ujar Suryo.

Baca juga artikel terkait LION AIR JATUH atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Teknologi
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf