Menuju konten utama

Kenapa Garuda Terus Merugi?

Laporan Keuangan Garuda Indonesia tak kunjung membaik. Kisruh internal terus saja awet. Harga saham terus turun.

Kenapa Garuda Terus Merugi?
Pengunjung memesan tiket pesawat di stan agen perjalanan saat Garuda Indonesia Travel Fair (GATF) 2017 fase II di Surabaya, Jawa Timur (22/9/2017). ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - “Saya rasa, kinerja perusahaan saat ini terus membaik,” ujar Pahala Nugraha Mansury, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Tbk), menjawab pertanyaan Tirto usai rapat di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, 6 Juni lalu.

Ia merespons tudingan Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda, yang menyebut kinerja perseroan terus menurun lantaran kerugian masih menjerat dalam laporan kuartal satu 2018.

“Angka kami pada triwulan pertama 36 persen membaik dibandingkan tahun lalu, dan kelancaran operasional pun angkanya membaik dibandingkan tahun lalu,” kata Pahala.

“Jadi kalau kami lihat indikator-indikatornya terus mengalami perbaikan,” ia menegaskan.

Klaim Pahala memiliki pijakan. Pada awal Mei, ketika ia mengumumkan laporan keuangan kuartal pertama 2018, kondisi kinerja perseroan mengalami perbaikan. Dibandingkan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya (2017) yang merugi 101,2 juta dolar AS, kinerjanya bisa diperbaiki hingga 36,5 persen atau 64,3 juta dolar AS pada tahun ini.

Artinya, jika kinerja perusahaan pada triwulan pertama tahun lalu rugi Rp1,366 triliun, tahun ini kerugian itu bisa ditekan ke angka Rp868,050 miliar (dengan kurs Rp13.500).

Pahala beralasan, performa perseroan masih minus karena disebabkan beberapa faktor, di antaranya peningkatan biaya operasional yang dipengaruhi kenaikan biaya perawatan, imbas dari naiknya harga minyak dunia.

"Beban cukup besar dengan porsi 30,1 persen harus ditanggung dari kenaikan harga bahan bakar akibat kenaikan harga minyak dunia," ujar Pahala.

Meski kerugiannya menyusut pada kuartal pertama tahun ini, toh cerita perusahaan penerbangan milik negara ini terus rugi bukanlah kabar baru. Sejak 2013, turbulensi keuangan maskapai belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Saat itu pengujung periode kedua Emirsyah Satar sebagai direktur utama Garuda Indonesia. Meski pernah mencapai pertumbuhan laba bersih tertinggi hingga 110 juta dolar AS pada 2012, tetapi keuntungan itu tergerus dalam waktu satu tahun. Emir kemudian mengundurkan diri sebelum masa jabatannya rampung tiga bulan lebih cepat.

Upaya memulihkan keuangan Garuda pun dilakukan oleh Arif Wibowo, mantan petinggi Citilink Indonesia, yang didapuk menggantikan Emir pada 2015. Baru saja menjabat, Arif diberikan pekerjaan rumah berupa kerugian sebesar Rp371 juta dolar AS dalam laporan keuangan Garuda tahun 2014.

Kerugian itu timbul akibat gembrotnya beban usaha Garuda, semula 3,7 miliar dolar AS pada 2013 menjadi 4,2 miliar dolar pada 2014. Operasional penerbangan naik menjadi 2,5 miliar dolar pada 2014, yang semula hanya 2,2 miliar dolar pada 2013. Adapun pemeliharaan melonjak dari 287 juta dolar pada 2013 menjadi 420 juta dolar pada 2014.

Upaya Arif memperbaiki kondisi keuangan Garuda lumayan berhasil pada 2015, dengan perolehan laba mencapai 77 juta dolar AS. Namun, perbaikan itu tak berlangsung lama. Setahun setelah laba bersih tersebut, keuntungan perusahaan merosot 9,3 juta dolar AS atau 87,99 persen pada 2016.

Arif kemudian menanggalkan jabatannya pada April 2017, dan digantikan Pahala Nugraha Mansury, seorang bankir senior dengan posisi terakhir sebelum bergabung ke Garuda adalah direktur keuangan Bank Mandiri.

Nilai Saham Terus Anjlok

Meski Pahala Mansury menyebut kinerja perusahaan membaik, di sisi lain nilai saham Garuda Indonesia masih saja sempoyongan. Tercatat, hingga Kamis sore kemarin (28/6), harga per lembar saham perusahaan dengan kode emiten GIAA ini Rp240, atau turun 4 persen dari hari sebelumnya sebesar Rp250.

Level itu turun 16,7 persen dibanding posisi akhir 2017 sebesar Rp300 per lembar saham. Harga Saham Garuda Indonesia terus tergerus sejak perusahaan itu melepas saham perdananya kepada publik (IPO) pada 2011 senilai Rp750 per lembar.

Tim riset Tirto merangkum perkembangan harga saham PT Garuda Indonesia selama kurun tiga tahun terakhir, dari 2015 hingga 2017. Hasilnya, harga saham Garuda tak pernah naik signifikan, dan terus turun dari penawaran harga saham perdana.

Pada penutupan tahun 2015, nilai harga saham GIAA pada posisi Rp309 per lembar. Meski pada tahun itu sempat mencapai harga penawaran tertinggi pada kuartal I dan II, yakni Rp 650 per lembar, tetapi kemudian harganya sempat tergerus hingga Rp290 per lembar saham.

Kondisi serupa pada 2016. Meski pada kuartal kedua harga saham GIAA mencapai Rp605 per lembar, tetapi pada kuartal selanjutnya tergerus hingga Rp338 per lembar saham. Meski begitu, perkembangan saham pada tahun itu terbilang naik 9,4 persen dibandingkan tahun 2015 yang minus 44,3 persen.

Terakhir, sepanjang 2017, harga sahamnya tak pernah melewati ke angka Rp400 per lembar, tertinggi hanya Rp380 pada 13 April 2017 (kuartal I) dan Rp371 pada 27 Oktober 2017 (kuartal IV), yang ditutup pada pengujung tahun sebesar Rp300 per lembar saham.

Pada tahun ini, harga per lembar saham Garuda sempat naik pada angka Rp336 (15 Februari 2018), tetapi hingga kuartal kedua ini terus merosot sampai Rp240 per lembar saham (28 Juni 2018).

Infografik HL Indepth Garuda Indonesia

Salah satu isu kencang yang menerpa Garuda adalah kasus suap Emirsyah Satar pada Januari 2017, yang proses pengembangan penyidikannya masih berlanjut sampai sekarang.

Ketika mantan Direktur Utama Garuda Indonesia itu ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, manajemen Garuda Indonesia segera menyampaikan komentar guna meredam isu ini tak berimbas buruk pada harga saham.

Betapapun isu itu bisa diredam, Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital, mengatakan bahwa laporan kinerja keuangan maskapai ini belum kunjung membaik. Ia bilang kerugian inilah yang jadi faktor terkuat anjloknya harga saham Garuda. “Ditambah beban operasional, dampak dari kenaikan harga minyak dan devaluasi dolar,” ujarnya.

“Yang sangat fundamental itu karena mereka belum bisa membukukan laba. Meski pada tahun 2017 sudah ada komitmen, tapi belum ada realisasi,” ujar Nainggolan.

Menurut Kapten Bintang Hardiono, Presiden Asosiasi Pilot Garuda, harga saham anjok terkait salah kelola manajemen. Namun tudingan mengaitkannya dengan kinerja Garuda Indonesia dibantah Dirut Garuda Pahala Mansury.

Menurut Pahala, evaluasi dari serikat pekerja dan asosiasi pilot soal kondisi Garuda yang terus merugi bukan menjadi salah satu indikator harga saham perseroan terus tergerus. "Saya rasa bukan dari situ, ya,” ujar Pahala singkat, tanpa memberi penjelasan yang lebih terang, saat Tirto mengonfirmasi. Ia tetap meyakini bahwa kinerja operasional Garuda membaik, meski masih ada kerugian yang belum teratasi.

Dampak Kisruh Internal

Seiring kisruh internal perusahaan dibawa ke publik dan jadi sorotan pemberitaan, harga saham Garuda tak pernah merangkak pada level Rp300 per lembar seperti pada penutupan akhir 2017.

Sepanjang rencana mogok pilot dan karyawan pada Mei lalu, saham Garuda terus anjlok di lantai bursa. Pada 18 Mei, misalnya, tiga minggu setelah karyawan dan pilot menggelar jumpa pers mengenai perselisihannya dengan manajemen, nilai saham Garuda terus turun. Hingga akhir Mei, nilai saham Garuda hanya mencapai Rp254 per lembar. Level itu tak beranjak naik hingga isu rencana mogok pilot menguat pada awal Juni.

“Selain karena laporan kinerja yang belum membukukan laba, pasar juga mendapat informasi ada persoalan di internal. Ini berpengaruh meski tidak signifikan,” ujar Alfred Nainggolan, analis kapital.

Menyikapi kisruh yang kini ditengahi Menteri Maritim Luhut Panjaitan, Pahala Mansury berharap persoalan internal bisa segera selesai dan tidak merugikan kedua belah pihak.

“Dengan pembentukan tim [satgas], paling tidak akan memfasilitasi komunikasi, yang mudah-mudahan akan lebih baik,” ujar Pahala.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam