tirto.id - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dengan kode emiten GIAA masih mencatat kerugian 64,3 juta dolar AS atau senilai Rp868,050 miliar (dengan kurs Rp13.500) pada kuartal I-2018. Kerugian ini menyusut dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 101,2 juta dolar AS atau senilai Rp1,366 triliun.
"Perseroan berhasil menekan potensi kerugian sebesar 36,5 persen pada Q1/2018 menjadi 64,3 juta dolar AS dibandingan kerugian pada Q1-2017 sebesar 101,2 juta dolar AS," ujar Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia, Pahala N. Mansury di kantor Garuda Indonesia Jakarta pada Kamis (3/5/2018).
Pahala menyebutkan pendapatan operasional (operating revenue) pada kuartal I-2018 sebesar 983 juta dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 910,7 juta dolar AS.
Pahala beralasan, masih meruginya kinerja keuangan korporasi ini dipengaruhi karena kenaikan biaya operasional Garuda sebesar 2,5 persen dari 1,023 miliar dolar AS menjadi 1,049 miliar dolar AS. Peningkatan biaya operasional ini didongkrak oleh kenaikan biaya perawatan dan bahan bakar.
"Beban cukup besar dengan porsi 30,1 persen harus ditanggung dari kenaikan harga bahan bakar akibat kenaikan harga minyak dunia," sebutnya.
Biaya bahan bakar naik 8,1 persen dari 292,3 juta dolar AS menjadi 316 juta dolar AS. Pahala berharap peningkatan harga bahan bakar bisa stabil sehingga tidak terlalu membebani perusahaan. "Saat ini harga minyak sudah mencapai 73 dolar AS hingga 75 dolar AS per barel,” terang Pahala.
Selain harga bahan bakar, kata Pahala, biaya operasional juga terdongkrak naik oleh menguatnya mata uang dolar AS terhadap mata uang lain, termasuk nilai tukar rupiah. Ia mengatakan Garuda melakukan antisipasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan meningkatkan porsi lindung nilai (hedging) dari 12 sampai 15 persen menjadi 26 sampai 28 persen.
"Turut dipengaruhi oleh kinerja rute internasional pada periode Januari – Februari yang masih mengalami tekanan akibat dampak travel warning erupsi Gunung Agung oleh sejumlah negara pada awal 2018, dan tidak adanya peak season," tambahnya.
Kendati demikian, pada kuartal I-2018 ini Garuda Indonesia mencatatkan jumlah passenger carried dapat meningkat sebanyak 8.8 juta atau 5 persen (year on year/YoY). Sementara, kargo yang diangkut juga meningkat sebesar 3,2 persen menjadi 111.9 ribu ton.
Lalu, kinerja terkait ketepatan waktu penerbangan (On Time Performance/OTP) mencapai 88,8 persen atau meningkat dibandingkan catatan capaian OTP pada tahun lalu sebesar 86.5 persen. Kemudian, tingkat keterisian penumpang (SLF) mencapai 71,4 persen. Indikator lain yang meningkat antara lain aircraft utilization meningkat dari 9.19 jam menjadi 9.41 jam.
Dalam rangka memperkuat kinerja keuangan dan operasional perusahaan secara berkelanjutan, Garuda Indonesia bersama jajaran anak perusahaan diawal tahun 2018 mencanangkan strategi bisnis jangka panjang bertajuk Garuda Indonesia Group (Sky Beyond 3.5) yang akan menjadi value-driven aviation group dengan pencapaian target valuation group sebesar 3.5 milyar dolar AS pada 2020.
Garuda Indonesia Group melalui "Sky Beyond 3.5" pada 2020 menargetkan profit perusahaan mencapai 170 juta dolar AS dengan jumlah penumpang diangkut mencapai 45 juta orang dengan capaian tingkat ketepatan waktu hingga 92 persen dengan standarisasi layanan bintang 5.
"Tentunya cukup banyak rute-rute merugikan yang kami lakukan review, beberapa yang misalnya tidak lagi kita operasikan, dulu sempat kita operasikan Ujung Pandang-Medan," sebutnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Agung DH