Menuju konten utama

Kisruh di Tubuh Garuda Indonesia

Serikat karyawan dan asosiasi pilot Garuda mengancam mogok. Menuding kinerja direksi tak becus mengurusi maskapai pelat merah ini.

Kisruh di Tubuh Garuda Indonesia
Sejumlah pesawat Garuda Indonesia Boeing 777-300 diparkir di Garuda Maintenance Facility, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

tirto.id - Seraya bergegas meninggalkan kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, enam orang mewakili serikat pekerja termasuk pilot PT Garuda Indonesia menolak memberikan komentar. Keenam orang itu irit bicara meski didesak soal alasan meninggalkan ruang rapat, yang rencananya membahas keluhan mereka dengan manajemen PT Garuda Indonesia.

“Kami walk out,” ujar Kapten Bintang Hardiono, Presiden Asosiasi Pilot Garuda, saat ditemui Tirto di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, 6 Juni lalu.

Hari itu agenda mediasi antara perwakilan pekerja Garuda Indonesia dan Kementerian Perhubungan, yang diinisiasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dianggap melenceng dari rencana. Para pekerja termasuk pilot menyebut rapat itu tak membahas inti persoalan terkait keluhan mereka dengan manajemen Garuda Indonesia. Padahal, sebelum rapat, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan berjanji mendengarkan keluhan para pekerja Garuda.

“Bukan agenda kami, itu rapat mereka,” kata Ahmad Irfan Nasution, Ketua Umum Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia (Sekarga), menanggapi pertanyaan kami.

“Karena ada perwakilan Angkasa Pura. Buat apa? Berarti mereka tidak benar-benar serius menanggapi tuntutan kami,” tambah Irfan.

Sejak ada isu rencana pilot Garuda mogok kerja pada awal Mei 2018, jajaran manajemen Garuda dibikin repot mengingat ancaman itu berdekatan dengan arus mudik Lebaran. Tak mau menampar muka Presiden Joko Widodo yang tengah giat menyulap infrastruktur demi menopang kelancaran mudik Lebaran, Luhut menengahi permasalahan tersebut.

Luhut memanggil manajemen Garuda, juga perwakilan pilot guna mendengarkan keluhan mereka, ke kantornya. Hasilnya, Luhut berjanji bakal mendengarkan keluhan para pekerja dan membentuk satuan tugas guna menangani kisruh di tubuh Garuda Indonesia.

"Jadi dalam pertemuan itu nantinya mereka akan bicara, saya hanya memediasi,” ujar Luhut di kantornya, 6 Juni lalu.

Namun, rapat yang sedianya membahas keluhan pekerja, justru mengundang banyak pihak, salah satunya perwakilan dari PT Angkasa Pura. Itu membuat kesal perwakilan pekerja dan pilot Garuda. Baru saja rapat itu dimulai, perwakilan karyawan Garuda meninggalkan ruang rapat. "Mereka mengantisipasi rencana kami mogok,” ujar Kapten Bintang dengan nada kesal.

“Sejak kapan kami menyebutkan tanggal akan mogok?” ia menegaskan.

Sebelum ditengahi Luhut, upaya berkomunikasi dengan serikat karyawan dilakukan Linggarsari Suharso, Direktur Personalia Garuda Indonesia. Sejak April, manajemen Garuda menjajaki komunikasi dengan serikat pekerja. Puncaknya, komunikasi diupayakan Linggarsari sehari sebelum para pekerja menggelar keterangan pers. Melalui surat resmi, ia meminta bertemu dengan perwakilan serikat untuk duduk bersama mengatasi persoalan yang menjadi tuntutan para karyawan. Namun, permintaan tersebut ditolak Ahmad Irfan, ketua umum serikat, karena menilainya bukan solusi yang tepat.

“Dia kirim pesan ke saya sehari sebelum kami gelar jumpa pers,” kata Irfan seraya menunjukkan pesan Linggarsari di ponselnya, yang menyebutnya sebagai iktikad yang buruk.

Irfan berkata, pada 2017, serikat pekerja pernah meminta manajemen Garuda Indonesia untuk mencopot Linggarsari Suharso karena dinilai melahirkan "banyak kebijakan yang memicu banyak perselisihan." Irfan menyebut Linggarsari tidak memahami perkara hubungan industrial dalam mengelola karyawan di tubuh Garuda Indonesia.

“Percuma, karena tidak pernah nyambung,” katanya.

Mediasi baru dilakukan setelah Lebaran. Pada Senin, 25 Juni, Menteri Maritim Luhut Panjaitan memanggil perwakilan serikat pekerja dan pilot, serta mempertemukannya dengan Pahala Nugraha Mansury, Direktur Utama Garuda Indonesia. Solusi yang ditawarkan adalah membentuk satuan tugas, yang dijanjikan bisa bekerja untuk menuntaskan problem kisruh Garuda dalam seminggu ke depan atau hingga akhir bulan ini.

Bermula Dari Rapat Umum Pemegang Saham

Gejolak antara karyawan dan manajemen PT Garuda Indonesia tidak muncul belakangan ini. Selama setahun, para karyawan memilih diam dan melakukan advokasi secara internal atas hak-hak mereka yang diklaim mereka "dipangkas perusahaan" dengan alasan efisiensi.

Muaranya adalah perusahaan pelat merah yang mulai beroperasi pada akhir tahun 1940-an ini mengalami kerugian selama beberapa tahun terakhir. Namun, upaya mediasi di tingkat internal juga gagal mencapai kesepakatan.

Puncaknya, para pekerja menggelar keterangan pers terkait perseteruan mereka dengan manajemen Garuda Indonesia. Dalam jumpa pers itu, para pekerja dan pilot mengungkapkan kekecewaannya, dan berencana melakukan mogok massal jika tuntutannya tidak dipenuhi perusahaan.

“Penyulutnya sebenarnya banyak, ya, namanya juga akumulasi. Kumpulan kerikil-kerikil yang menjadi gunung,” ujar Kapten Bintang Hardiono, Presiden Asosiasi Pilot Garuda. Ia menegaskan bahwa kali pertama terjadi gesekan dengan manajemen bermula saat Rapat Umum Pemegang Saham pada April 2017.

“Ada dua jabatan direksi yang dihapus. Direktur Operasi dan Direktur Teknik,” kata Hardiono.

Ia berkata, ketika RUPS itu mengumumkan jajaran dewan direksi baru dipimpin oleh Pahala Nugraha Mansury, para pilot melihat ada keanehan dalam struktur jajaran petinggi Garuda. Rapat itu menghilangkan dua nomenklatur jajaran direksi, yakni direktur operasi dan direktur teknik. Padahal dua jabatan itu harus ada sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Penerbangan No. 1 Tahun 2009 tentang aturan keselamatan penerbangan sipil.

Pada RUPS tahun 2017, PT Garuda Indonesia mengganti jajaran dewan direksi. Direktur operasi dan direktur teknik, yang tadinya ada dalam dewan direksi, diganti menjadi direktur produksi.

Dua jabatan yang hilang itu kemudian ditanggapi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menurut Budi Karya, hal itu sangat berbahaya dalam perusahaan penerbangan.

"Jadi kalau tidak ada direktur operasional dan direktur maintenance bagaimana itu secara komprehensif, secara detail, secara performa [dalam penerbangan]?" ujar Budi Karya, seperti dikutip Kompas.com.

Menurut Kapten Bintang Hardiono, masalah itu lantas disuarakan para pilot kepada manajemen baru Garuda Indonesia. Dua jabatan direksi itu vital dalam penerbangan karena bisa mengancam izin operasional maskapai dibekukan. Sebagaimana klaimnya, protes karyawan agar ada orang yang mengisi dua direksi itu ditanggapi manajemen.

“Nah, akhirnya diangkat direktur operasi dan direktur teknik,” kata Hardiono, merujuk Direktur Operasi dijabat Triyanto Moeharsono dan Direktur Teknik dipegang oleh I Wayan Susena.

Toh, meski manajemen telah melantik dua direktur tersebut, penunjukannya menyalahi aturan karena tanpa RUPS Luar Biasa, menurut Hardiono.

Penghapusan dua direksi dibenarkan oleh Ikhsan Rosan, juru bicara PT Garuda Indonesia, yang berasal dari wewenang pemegang saham. “Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas tentu sudah mengkaji semua,“ ujar Ikhsan melalui telepon, Kamis kemarin (28/6/2018).

“Jadi penunjukan direksi bukan bagian dari wewenang manajemen, dia ditunjuk untuk melaksanakan tugas,” katanya.

Setelah mendengar aspirasi dari Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia dan Asosiasi Pilot Garuda, dua posisi direksi itu kembali diadakan selang beberapa bulan. "Mereka mengatakan direktur operasi dan teknik harus ada, nah pemerintah mengakomodir, maka diangkatlah,” katanya menyebut tuntutan serikat pekerja dan asosiasi pilot.

Penghapusan dua jabatan direktur ini sempat pula jadi sorotan para politikus dari Komisi VI DPR—yang menangani urusan industri, investasi, dan persaingan usaha. Pada medio 2017, atau sesudah RUPS, anggota Komisi VI menyebut bahwa pergantian direksi Garuda Indonesia itu menabrak aturan.

DPR melihat bahwa pembengkakan anggaran menyebabkan upaya pemulihan Garuda bakal meleset dari target. Penambahan direksi, yakni direktur kargo yang dijabat Sigit Muhartono, dinilai hanya membuang pengeluaran.

"Karena Garuda tidak punya pesawat kargo,” ujar Ahmad Irfan Nasution, Ketua Umum Serikat Karyawan kepada Tirto, 5 Juni lalu.

Dirut Garuda Pahala Mansury pernah menanggapi tuntutan karyawan soal perombakan direksi pada awal Mei 2018. Ia berkata bahwa manajemen tidak bisa menanggapi karena tuntutan tersebut bukan wewenangnya, melainkan Kementerian BUMN dan para pemegang saham.

Meski demikian, Pahala berencana mengajak serikat pekerja Garuda untuk berdialog membahas tuntutan mereka. "Pasti kami komunikasi, duduk bareng, selalu kami buka, kami minta untuk dilakukan komunikasi dengan Serikat Karyawan, sudah pasti," katanya.

Infografik HL Indepth Garuda Indonesia

Akumulasi Kekesalan Karyawan

Sesudah Rapat Umum Pemegang Saham tahun 2017, Ahmad Irfan mengklaim bahwa manajemen tak pernah menanggapi tuntutan karyawan, salah satunya mengenai penyesuaian upah bagi para karyawan.

“Awalnya mereka menolak,” ujar Irfan. Belakangan, penyesuaian upah antara karyawan darat dan awak kabin berakhir di Pengadilan Hubungan Industrial.

“Kami akhirnya menang dan masih tetap dinego, padahal pada saat itu kami meminta dinaikkan Rp100 sampai Rp200 ribu,” Irfan melanjutkan.

Serikat juga kesal soal kebijakan efisiensi, yang berimbas pada berkurangnya daya dukung kinerja para pilot Garuda Indonesia. Manajemen, kata Kapten Bintang Hardiono, menghapus fasilitas antar-jemput para pilot yang akan atau telah melakukan penerbangan. Puncaknya ketika sistem penjadwalan pilot dan awak kabin diubah, Garuda Indonesia mengalami delay parah pada 2017.

Buntutnya, kata Bintang, kebijakan itu membuat kinerja para pilot menurun karena sering terlambat menerbangkan pesawat.

“Banyak aturan tidak sesuai dengan kondisi kru di lapangan," ujar Hardiono. "Jelas ini merugikan kami dan perusahaan." Ia menegaskan, dampak kebijakan itu pula yang sering dihadapi para pilot karena harus berurusan dengan konsumen.

“Garuda itu maskapai bintang lima. Bintang lima itu [artinya] harus tepat waktu, safety, yang berhubungan dengan pengguna jasa,” tambahnya.

Karena kebijakan itu berimbas pada pelayanan konsumen, menurut Hardiono, para pilot yang tergabung dalam asosiasi akhirnya berteriak kepada manajemen Garuda Indonesia. Sayangnya, keluhan ini tak pernah mendapat tanggapan dari manajemen, klaim dia.

Kesal karena terus diabaikan, para pilot membuka persoalaninternal ini kepada publik. “Sampai kapan kami harus seperti ini? Sampai kapan, kalau memang tidak benar, saya harus diam?” kata Hardiono.

Ia mengatakan bahwa sebelum rencana mogok diumumkan, upaya mengirim keluhan para pekerja dan pilot telah dilayangkan kepada Kementerian BUMN Rini Soemarno dan Presiden Joko Widodo. Namun, upaya macam ini tak kunjung direspons. Kini kisruh dalam internal Garuda tambah meruncing, betapapun Menteri Luhut Panjaitan telah membentuk satuan tugas.

Menurut Hardiono, jika tuntutan para karyawan dan pilot tak bisa dipenuhi, bisa jadi mereka melancarkan rencana mogok.

“Ujung-ujungnya mogok, karena senjata kita cuma mogok,” ujar Kapten Bintang Hardiono.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam