tirto.id - “Saya mau kasih pesan ke maskapai agar menghargai penumpangnya dan menaati peraturan.”
Begitu yang dikatakan David Tobing saat Tirto hubungi, Kamis (5/4/2018). Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) itu menyampaikan maksud dirinya melaporkan PT Garuda Indonesia Tbk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan David dipicu persoalan yang seringkali dianggap lumrah masyarakat, yakni keterlambatan keberangkatan penerbangan. David mengaku tidak menuntut Garuda Indonesia untuk kerugian material, melainkan hanya kompensasi berupa makanan ringan.
“Dengan ini, saya hanya mau kasih pesan bahwa urusan kecil jangan diabaikan. Walau hanya makanan ringan, tapi bisa juga jadi potensi gugatan,” ungkap David.
Gugatan terhadap maskapai penerbangan ini bukan pertama kalinya. David telah mulai memperkarakan delay pesawat saat berperkara dengan Wings Air pada 2007. Saat itu, kasus keterlambatan penerbangan belum begitu menjadi perhatian konsumen.
Ia memenangkan gugatan terhadap PT Lion Mentari Airlines (LMA) selaku operator penerbangan Lion Air dan Wings Air. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhi hukuman kepada PT LMA untuk membayar ganti rugi sebesar Rp718.500,00 karena telah menelantarkan David.
“Saya menggugatnya karena harus mengganti tiket saya yang akhirnya pakai pesawat lain. Karena dia delay dua jam, saya minta [ganti rugi] seharga tiket pesawat baru,” jelas David menceritakan kembali pengalamannya saat itu.
Munculnya Beberapa Regulasi
Beberapa bulan setelah kemenangannya itu, David mengklaim pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) langsung mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.(PDF)
Dalam Permenhub tersebut, pemerintah menekankan tanggung jawab maskapai apabila terjadi keterlambatan, yakni dengan memberikan makanan dan minuman ringan, pengalihan ke akomodasi lain, dan akomodasi berupa penginapan selama sebelum diberangkatkan.
Kebijakan tersebut lantas lebih dispesifikkan melalui Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara.(PDF)
Sejumlah aspek di dalam Permenhub yang diatur ialah keharusan maskapai untuk mengganti dan bertanggung jawab kepada penumpang atas segala kehilangan atau kerusakan bagasi, pemberian ganti rugi berupa uang akibat delay lebih dari 4 jam, pembatalan penerbangan maupun kecelakaan dalam penerbangan yang mengakibatkan kematian atau luka-luka.
Empat tahun setelahnya, Kemenhub menerbitkan Permenhub Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
Jika mengacu pada Permenhub tersebut, penumpang harus mendapatkan kompensasi berupa minuman ringan untuk keterlambatan 30-60 menit. Sedangkan untuk keterlambatan 61-120 menit, kompensasi berupa makanan ringan dan minuman, lalu untuk keterlambatan 121-180 menit, kompensasinya adalah makanan berat dan minuman.
Lebih lanjut, penumpang harus mendapatkan kompensasinya berupa minuman dan makanan ringan, ditambah juga makanan berat untuk keterlambatan 181-240 menit. Sementara untuk keterlambatan lebih dari 240 menit, penumpang berhak memperoleh ganti rugi sebesar Rp300 ribu.
Selain David, Mahkamah Agung juga sempat menangani perkara Hasjarjo Budi Wibowo yang melawan Air Asia pada 2012. Saat itu, Hasjarjo memenangkan perkara sehingga Air Asia harus membayar ganti rugi atas pembatalan penerbangan, yakni berupa tiket maskapai lain yang harus dibeli konsumen dan ganti rugi immaterial senilai Rp50 juta.
Ada Masalah Lain
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai langkah konsumen yang memperkarakan soal delay pesawat sebagai sesuatu yang pantas. Menurut Tulus, konsumen memang memiliki hak untuk menuntut ganti rugi sehingga tidak semena-mena dalam melayani konsumennya.
“Karena memang secara regulasi kan diatur. Kalau penerbangan delay sampai lewat batas tertentu, harus ada kompensasi. Itu kan kelalaian,” ucap Tulus kepada Tirto.
Kendati demikian, Tulus menilai Permenhub Nomor 89 Tahun 2015 sudah seharusnya direvisi. Masalah keterlambatan penerbangan juga bisa disebabkan faktor bandara.
Tulus menilai pesawat yang terlambat berangkat karena padatnya lalu lintas bandara bukan lagi tanggungan maskapai penerbangan. Pihak bandara semestinya juga memberikan kompensasi jika delay yang dipengaruhi faktor operasional maskapai.
“Pihak bandara juga harus membenahi kondisi di bandara, sehingga traffic tidak merugikan konsumen,” jelas Tulus.
Menurut Tulus, kasus kepadatan lalu lintas pada landasan pacu di bandara acap kali terjadi di sejumlah bandara besar seperti Bandara Soekarno-Hatta (Cengkareng), Bandara Juanda (Surabaya), dan Bandara Adisutjipto (Yogyakarta).
Senada dengan Tulus, anggota Komisi V DPR RI Alex Indra Lukman juga mendukung langkah yang diambil David. Alex menyebutkan Komisi V DPR RI sendiri sudah pernah menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub agar memaksimalkan pengawasan terhadap maskapai dan bandara yang sering abai dalam memenuhi hak konsumen.
“Yang paling bertanggung jawab tentu saja maskapai dan juga Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai pihak regulator,” ujar Alex.
Alex menilai masalah delay kerap dianggap tidak signifikan sehingga kerap diabaikan, padahal delay ini berujung pada semakin banyaknya jumlah penerbangan yang molor dari jadwal semestinya.
Ia pun sepakat dengan pendapat Tulus yang menilai lalu lintas udara yang semakin sibuk menyebabkan antrean di landasan pacu. “Lagi-lagi di sinilah harusnya peran penting Kemenhub dalam membuat pengaturan memanfaatkan fasilitas bandara yang tersedia,” kata Alex.
Garuda Akan Temui Penggugat
Dihubungi secara terpisah, Senior Manager Public Relations Garuda Indonesia Ikhsan Rosan mengatakan akan bertemu dengan David Tobing dalam waktu dekat. Untuk itu, Ikhsan mengaku tidak bisa berbicara banyak saat dimintai keterangannya terkait kasus pelaporan.
Kendati demikian, Ikhsan mengklaim tingkat ketepatan waktu Garuda Indonesia mencapai 90 persen, di saat standar Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik adalah 85 persen. Sehingga delay pada pesawat Garuda Indonesia cenderung terjadi karena ada hal yang perlu ditangani teknisi awak pesawat.
Saat disinggung mengenai kepadatan lalu lintas udara, Ikhsan tidak menampiknya. Akan tetapi, ia menekankan Garuda Indonesia dan Angkasa Pura selaku pengelola bandara terus bersinergi.
“Yang terpenting bagaimana maskapai bisa mengatasinya. Terkait traffic, kami memahami karena adanya pertumbuhan pasar,” jelas Ikhsan kepada Tirto.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Mufti Sholih