tirto.id - Di Indonesia berurusan dengan hukum adalah sesuatu yang mengerikan. Istilahnya kalau bisa dihindari kenapa harus dilalui. Prinsip ini tak berlaku bagi Jonathan Lee Riches. Pria asal AS ini, bisa dijuluki manusia yang paling hobi menggugat persoalan-persoalan “konyol” seperti menggugat satu kabinet George W Bush, artis, hingga orang yang sudah mati. Sampai-sampai Guinness Book of World Records pada 2009 menyematkan label world's most litigious man atau orang yang paling banyak berperkara hukum di muka Bumi.
Riches memang seorang yang hobi menggugat. Namun, ia merasa fakta Guinness Book of World Records tak sesuai. Ia pun menggugat lembaga pemberi rekor dunia ini. Alasannya, Guinness Book of World Records mencatumkan jumlah 5.500 gugatan, sementara versinya hanya 4.000 perkara gugatan. Ia pun dijuluki “Sue-per-man”, “The duke of lawsuits”, “Johnny Sue-nami”. Anehnya gugatan-gugatan tersebut dikirim saat dirinya berada di tahanan dan ditulis dalam tulisan tangan.
Maret 2016 lalu, Jason Dalton (45), sopir Uber yang menembak mati enam orang secara membabi buta di Michigan, AS malah menggugat Uber 10 juta dolar AS akibat peristiwa itu. Si “Sue-per-man” Jonathan Lee Riches mengaku di balik gugatan itu.
Dalam video YouTube yang dimuat abovethelaw.com, Riches mengklaim dirinya yang menulis gugatan itu atas nama Dalton. Tujuannya agar orang-orang mengikuti jejaknya demi memberikan hukuman kepada Dalton, supaya pembunuh itu punya banyak utang. Di AS, setiap gugatan yang masuk maka nama si penggugat harus membayar 350 dolar AS. Alasan pria yang pernah bebas dari penjara Maret 2012 lalu ini memang cukup aneh.
“Ketika saya keluar dari penjara, saya berencana memulai toko 101 gugatan dan mengajarkan publik Amerika bagaimana membuat gugatan,” kata Riches.
Untuk urusan menggugat hal konyol, Riches bukan satu-satunya. Di AS, kasus-kasus gugatan konyol seperti ketumpahan kopi yang menimpa nenek di gerai McDonald's pada 1992 lalu di AS, sempat jadi fenonemal. Dikutip dari abcnews.go.com, sang nenek menang di pengadilan dan mendapatkan kompensasi 2 juta dolar dikurangi potongan.
Setiap hari ada ratusan gugatan hukum dari yang serius hingga paling konyol. Kasus kopi McDonald's termasuk kasus gugatan konyol yang berhasil menang di pengadilan, selebihnya tak sedikit berakhir ditolak atau dimentahkan. Bagaimana dengan di Indonesia?
Pencari Harkat
Kisah Jonathan Lee Riches dan mereka-mereka yang menggugat konyol, memang terkesan mencari sensasi saja. Namun, setidaknya ia mampu membuktikan setiap orang punya hak untuk melakukan langkah hukum yang dianggapnya sebagai kebenaran.
Di Indonesia sosok persis semacam Riches memang tak ada. Tapi para penggugat perkara pencari harkat kepentingan publik atau pribadi-pribadi sebagai konsumen yang memperjuangkan keyakinannya, banyak mengisi panggung gugatan hukum di Indonesia, termasuk pengecara kondang David Tobing.
Biasanya, aksi hukum ini biasa disebut citizen lawsuit yang merupakan gugatan yang diajukan oleh seorang atau beberapa orang warga negara terhadap pelanggaran peraturan yang mengganggu hak konsumen atau publik. Bagi pengacara seperti David Tobing, gugatannya juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
David Tobing, belum lama ini menggugat Ford cuma Rp6.000 dalam kasus hengkangnya perusahaan otomotif asal AS tersebut dari Indonesia. Tentunya sesuatu yang aneh. Namun, upayanya membuahkan hasil, Ford akhirnya berjanji bertanggung jawab soal sparepart sebelum "kabur" dari Indonesia. Kasus gugatan terhadap Ford hanya segelintir dari kasus hukum David Tobing.
Berdasarkan penelusuran tim riset tirto.id, sejak 2000-2016, sedikitnya ada tujuh gugatan yang pernah dilayangkan oleh David Tobing. Beberapa kasusnya antara lain gugatan ke pengelola parkir, delay Lion Air, lambang Garuda di kaos Timnas, susu formula, perkara dengan Telkomsel, soal alumni UI koruptor, dan terakhir soal Ford. Nilai gugatan materi beragam dari paling rendah Rp1.000, Rp6.000, Rp100.000 hingga Rp60 juta. Salah satu senjata yang paling sering digunakan David Tobing dan konsumen lainnya adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
“UU ini untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan menumbuh kembangkan kesadaran, pengetahuan dan kepedulian konsumen untuk melindungi dirinya atau yang lebih dikenal dengan istilah konsumen cerdas,” kata David Tobing dikutip dari tulisannya soal “Hak Konsumen” dalam situs bpkn.go.id yang juga termuat dalam Buku Panduan Bantuan Hukum Indonesia.
Selain David Tobing, beberapa orang yang sadar terhadap hak-haknya juga melakukan gugatan sebagai konsumen terhadap produsen. Para orang sadar hukum ini mampu memenangkan perkara. Dalam tulisan “Hak Konsumen” beberapa konsumen menang dalam pasal jebakan terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) saat membeli properti antara lain kasus Modern Land dan kasus Palm Residence Jambangan Surabaya. Kasus Palm Residence Jambangan Surabaya melawan Martinus Teddy Arus Bahterawan mengenai pasal jebakan yang ada dalam PPJB.
Selain itu, beberapa kasus perbankan telah dimenangkan oleh konsumen. Misalnya kasus Agus Soetopo melawan Standard Chartered Bank. Kasus ini bermula dari yang bank menerapkan biaya administrasi bulanan secara sepihak dari sebelumnya gratis, tanpa sepengetahuan dan persetujuan nasabah.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa pihak bank telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerapkan biaya administrasi bulanan secara sepihak tanpa persetujuan konsumen dan menghukum bank untuk mengembalikan uang konsumen yang telah diambil secara sepihak.
Pada 2012, MA menangani perkara Hasjarjo Budi Wibowo melawan Air Asia, dan memutuskan maskapai penerbangan Air Asia dihukum membayar ganti rugi atas pembatalan penerbangan yaitu dengan ganti rugi materil senilai tiket maskapai lain yang harus dibeli konsumen dan juga ganti rugi immaterial sebesar Rp50 juta karena konsumen terlambat sampai di tempat tujuan.
Terkait kasus layanan jasa penerbangan, ada perkara hukum bagasi hilang, antara lain penggugatnya Herlina Sunarti melawan Lion Air. MA mengabulkan 13 gugatan konsumen dan mewajibkan maskapai mengganti rugi atas bagasi yang hilang seharga Rp25 juta. Kasus lainnya gugatan Robert Mangatas Silitonga terhadap Lion Air, MA kembali menghukum maskapai penerbangan Lion Air terkait kasus hilangnya bagasi. Lion Air diperintahkan membayar kerugian materil Rp19,1 juta dan immateril Rp19,1 juta.
Pada 2000, ada kasus Anie Gultom melawan Secure Parkir yang prosesnya memakan waktu sampai 10 tahun hingga ke tingkat MA. Kasus ini sebagai contoh perlawanan konsumen terhadap jasa parkir yang tidak mau beratanggung jawab terhadap hilangnya mobil milik konsumen. Akhirnya MA menghukum pengelola parkir untuk mengganti mobil yang hilang. Dalam catatan David Tobing hingga 2014 telah ada 6 putusan MA soal kehilangan kendaraan, antara lain 3 putusan tentang ganti rugi kehilangan motor, 2 putusan ganti rugi kehilangan mobil dan 1 putusan ganti rugi kehilangan barang dalam kendaraan.
Kasus kenaikan tarif parkir sepihak juga menjadi kasus gugatan oleh publik. Kasus semacam ini sudah pernah diajukan ke pengadilan yaitu pada 2003 dan 2010 dan dimenangkan oleh konsumen, dalam kasus 2003 Majelis Hakim Agung pada MA menghukum pengelola parkir untuk membayar ganti rugi senilai selisih tarif parkir yang telah dibayarkan oleh konsumen.
Gugatan dan Perubahan
Dampak positif kemenangan gugatan seorang konsumen tak hanya dinikmati oleh si penggugat tapi juga bisa berimbas pada kepentingan yang lebih luas. Pascakemenangan beruntun konsumen dalam kasus parkir, menurut David Tobing pemerintah Daerah DKI Jakarta telah merevisi Perda tentang Perparkiran yaitu dengan mencantumkan pasal yang menyatakan bahwa pengelola parkir bertanggung jawab atas kerusakan dan atau hilangnya kendaraan di area parkir dan melarang pengelola parkir mencantumkan klausula-klausula yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku pada karcis parkir.
Kasus delay atau keterlambatan penerbangan maskapai pada masa lalu sempat tak menjadi perhatian konsumen. Padahal itu merupakan pelanggaran hak-hak konsumen terkait layanan jasa penerbangan apalagi karena kelalaian maskapai. Pasca gugatan David Tobing melawan Lion Air pada 2008, membuahkan hasil hukuman terhadap maskapai untuk mengganti rugi kepada konsumen akibat delay.
“Konsumen jasa penerbangan mulai diperhatikan yaitu dengan terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 yang mengatur tentang tanggung jawab maskapai apabila terjadi keterlambatan yaitu dengan memberikan makanan dan minuman ringan, pengalihan ke maskapai lain dan akomodasi berupa penginapan selama belum diberangkatkan,” kata David Tobing yang pernah menjadi Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ini
Aturan soal delay diatur lebih spesifik lagi melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara, antara lain mengharuskan pihak maskapai mengganti atau bertanggung jawab kepada penumpang atas segala kehilangan atau kerusakan bagasi, pemberian ganti rugi berupa uang akibat delay lebih dari 4 jam, pembatalan penerbangan maupun kecelakaan dalam penerbangan yang mengakibatkan kematian atau luka-luka.
Aksi Jonathan Lee Riches di AS memberikan pelajaran bahwa siapapun punya hak untuk menggugat asalkan dengan pijakan kuat. Meski ngeyel, Riches berupaya menggugah kesadaran publik atau konsumen terhadap keberadaan instrumen hukum. Kisah David Tobing memberikan pesan bahwa gugatan hanyalah sebuah instrumen melakukan perubahan terhadap kepentingan lebih besar. Nilai materi gugatan yang tak seberapa kerap dianggap “konyol”, “ngeyel” karena memang intinya bukan pada nilai gugatannya tapi upaya perubahan. Gugatan-gugatan hukum oleh seseorang merupakan tangga untuk menaikkan harkat konsumen yang hakekatnya “raja” tapi kerap terlupakan.