tirto.id - Raja Keraton Ngayogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menjelaskan alasan Keraton Yogyakarta menggugat PT Kereta Api Indonesia (KAI) dalam kasus klaim kepemilikan lahan Kasultanan. Sultan beralasan, gugatan yang dilakukan Keraton Yogyakarta sebenarnya fokus pada kepastian hukum dan pengembalian hak atas tanah Kasultanan di Stasiun Yogyakarta. Gugatan juga berupaya menegaskan bahwa status tanah yang digunakan PT KAI merupakan Hak Guna Bangunan (HGB).
"[Lahan Stasiun Yogyakarta] itu kan punya aset yang dipisahkan dari negara. Nah, Sultan Ground menjadi aset BUMN, kan gitu. BUMN, PT KAI," ujarnya pada wartawan di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, pada Jumat (15/11/2024).
Pria yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini menjelaskan, bahwa Keraton Yogyakarta dan PT KAI telah sepakat untuk menertibkan administrasi tanah dengan luas 297.192 meter persegi itu. Dia turut membeberkan, proses penertiban administrasi pun telah berlangsung lama.
"Kami sepakat mereka tidak bisa mengeluarkan itu [status tanah sebagai aset PT KAI], [untuk menertibkan administrasi] harus dibatalkan lewat pengadilan. Prosesnya sudah lama. Sudah sepakat. Kalau enggak, enggak ke pengadilan," jelasnya.
Menurut Sultan, PT KAI hanya memiliki status hak guna bangunan (HGB) atas tanah di kawasan stasiun. Oleh karena itu, tuntutan dilakukan Keraton untuk memperjelas posisi hukum atas tanah Kasultanan yang selama ini diklaim oleh PT KAI sebagai bagian dari aktiva tetap mereka.
"Makanya nyuwun Rp1.000. Jadi yang terjadi kira-kita PT KAI punya aset HGB di atas Sultan Ground. Gitu saja," ucap Sultan.
Sultan juga mengatakan, luasan tanah tidak menjadi hal pokok dalam gugatan. Gugatan, kata Sultan, lebih menekankan pada aspek tertib administrasi.
"Prosesnya karena dinyatakan tanah negara, tapi sudah dipisahkan. Bukan digunakan negara, tapi BUMN. Dipisahkan, saya minta dikembalikan," tegas Sultan.
Meski ada gugatan di pengadilan, Sultan memastikan lahan Sultan Ground di Stasiun Yogyakarta tetap dimanfaatkan PT KAI. Hanya saja, status tanah berubah dari milik PT KAI menjadi milik Keraton Yogyakarta.
"Status tanahnya yang diubah, bukan aset BUMN. Luasnya nggak penting, yang penting [tertib] administrasinya aja. Tidak ada perubahan apa-apa," tandasnya.
Gugatan resmi ini diajukan GKR Condrokirono melalui kuasa hukum Keraton Yogyakarta, Markus Hadi Tanoto, pada 22 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta dengan nomor dengan nomor 137/Pdt.G/2024/PN YK. Dalam tuntutannya, Keraton meminta agar PT KAI dan Kementerian BUMN mencabut pencatatan atas tanah seluas 297.192 meter persegi yang terletak di area Stasiun Yogyakarta.
Tanah tersebut merupakan bagian dari tanah kasultanan yang tidak boleh dicatatkan atas nama pihak lain tanpa persetujuan resmi. Selain meminta penghapusan pencatatan kepemilikan tanah, penggugat juga mengharapkan agar PT KAI dan Kementerian BUMN tunduk pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan serta Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Andrian Pratama Taher