tirto.id - Setelah Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) berdiri pada 6 Maret 1960, Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra dibentuk empat tahun kemudian, tepatnya pada 1964. “Kegiatan penggalangan dana untuk kelompok ini pada dasarnya dilakukan melalui perusahaan induk, yang disebut PT Dharma Kencana Sakti, yang memegang saham di sejumlah perusahaan lain,” tulis Damien Kingsbury dalam Power Politics and the Indonesian Military (2005:210).
Kostrad, dalam sejarahnya terkait dengan nama Mandala. Cikal-bakal pasukan pemukul yang waktu itu bernama Korps Tentara/Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra/Tjaduad), disebut sebagai Komando Mandala yang terjun dalam Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat. Dalam bahasa sansekerta, Mandala diartikan sebagai lingkaran. Tak heran jika lambang kesatuan ini berbentuk cakra.
Di tubuh Kostrad, terdapat perwira yang dikenal ahli keuangan: Sofjar. Ia adalah perwira asal Minangkabau yang terkenal jiwa dagangnya. Pangkatnya waktu itu masih Kolonel. Terakhir pangkatnya Brigadir Jenderal. Nama Sofjar bisa ditemukan dalam sampul album piringan hitam bertajuk Untukmu Opy. Ada 12 lagu yang direkam Elshinta Records ini. Di album itu, band Dharma Putra Kostrad menjadi pengiring dari penyanyi-penyanyi seperti Opy Sofjar, Enrico, dan Teddy. Sofjar tercatat sebagai pengasuh band ini.
Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:73-74), Soeharto pernah menugaskan Sofjar bekerja sama dengan Liem. Dia diserahi tanggung jawab mengelola Yayasan Dharma Putra dan Yayasan Trikora. Kas Dharma Putra berasal juga dari PT Bogasari milik Liem. Sofjar juga menjadi Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin).
Sofjar terkait juga dengan Bank Windu Kencana—yang berdiri pada 1967, yang juga milik Liem Sioe Liong. Selain Sofjar, Brigadir Jenderal Soerjo Wirjohadiputro juga ahli keuangan yang cukup penting di Kostrad. Dia pernah menjadi Staf Pribadi (SPRI) Presiden Soeharto. Dalam operasi pembebasan Irian Barat, dirinya turut dilibatkan. Sama seperti Sofjar, Soerjo juga dekat dengan Liem.
Setelah Soeharto jadi Presiden pada 17 April 1969, Soerjo dan Sofjar—ditambah Adil Aljol, Mayor Udara Soegandi Partosoegondo, Kasbi Indradjanoe, dan Darwin Ramli—mendirikan maskapai penerbangan di bawah PT Dharma Kencana Sakti dengan nama Mandala Air. Armada awal perusahaan pengangkutan udara ini, menurut Moch Nurhasim dalam Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma, Filipina, dan Korea Selatan (2003:117) berasal dari “penghibahan enam pesawat Transall C-160 dengan suku cadangnya dari PT Pelita Air Service. PT Pelita adalah unit bisnis dari Pertamina.” Ketika Mandala Air berdiri, Direktur Utama Pertamina dijabat oleh Ibnu Sutowo.
Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, Bank Windu Kencana ikut menyuntikkan dana untuk mengembangkan Mandala. Sofjar, yang dijuluki sebagai Manusia Uang Kostrad beserta Soerjo yang disebut Teman Semua Cukong, pernah menjadi pimpinan dari maskapai ini.
Pada 1970an, Mandala disatukan dengan Seulawah Air Service, maskapai yang ikut didirikan sekitar 1969 oleh bekas Kepala Staf Angkatan Udara PDRI, Komodor Hubertus Suyono. Jadilah maskapai ini bernama Seulawah Mandala Air Service. Namun, nama ini tidak lama dikenal orang. Orang-orang hanya ingat Mandala Air.
Jika Sempati Air terkait dengan Hutomo Mandala Putra Soeharto alias Tommy Soeharto, maka Mandala Air yang sebelumnya terkait dengan Kostrad belakangan dikait-kaitkan dengan Sigit Harjojudanto, anak Soeharto yang lain. Mandala Airlines, menurut George Junus Aditjondro dalam Dari Soeharto ke Habibie (1998:23), saham-sahamnya pernah dikuasai Nusantara Ampera Bakti (Nusamba) pimpinan Bob Hasan sebanyak 45 persen; Sigit Harjojudanto 15 persen dan PT Dhanna Putera Kencana—atas nama Yayasan Dharma Putra Kostrad-- 40 persen.
Maskapai ini mengalami jatuh bangun setelah Soeharto lengser. Pada 2005, Mandala terlilit utang sebesar Rp800 miliar. Pada 2011, kepemilikan Mandala Air berubah. Saratoga Group milik pengusaha Sandiaga Uno, menguasai 51 persen saham. Disusul Tiger Airways, perusahaan Singapura, sebesar 33 persen, dan sisanya dipegang pemilik saham lama dan para kreditor. Namun, pada 2014, maskapai yang sekarang dikenal sebagai Tiger Air Mandala ini terhenti operasinya. Tak jelas kapan maskapai ini bangkit lagi.
Mandala Air dan juga Sempati Air—yang dulu di bawah naungan Yayasan Kartika Eka Paksi—adalah bukti jika perwira-perwira bisa membuat maskapai penerbangan, meski kebesarannya tidak bisa disandingkan dengan Garuda. Bicara soal jenderal, beberapa jenderal memang terlibat dalam pendiriannya. Jika Mayor Jenderal Soerjo dan Brigadir Jenderal Sofjar ada di belakang Mandala, maka di Sempati—yang sering diplesetkan singkatannya menjadi Sembilan Perwira Tinggi—ada Brigadir Jenderal Rudy Pirngadie. Keduanya tetap saja tak lepas dari restu Jenderal besar Soeharto.
Jika Sempati hanya seumur dengan berkuasanya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, maka Mandala sempat bertahan setelah Orde Baru tumbang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono