tirto.id - Brigadir Jenderal Haji Sadikin dengan berani mendatangi atasannya, para perwira Jepang, di Kemayoran pada malam 16 Agustus 1945. Itu sehari sebelum Indonesia merdeka dan dua hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu. Sadikin waktu itu bintara Heiho (pembantu tentara Jepang).
“Besok kami akan merdeka,” kata Sadikin, seperti diceritakan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997:63) dan dikutip Mischa de Vreede dalam Selamat Merdeka: Kemerdekaan yang Direstui (2013:75). Nasution adalah kolega Sadikin.
Sadikin lalu menyuruh para perwira Angkatan Darat Kekaisaran Jepang—yang mendadak jadi pecundang itu—untuk tetap tinggal di barak masing-masing. Sadikin kemudian berpidato: “Mulai hari ini, kami merdeka! Tentara Peta (tentara sukarela Pembela Tanah Air) serta tentara Heiho dicanangkan menjadi tentara nasional!”
Nasution lantas membandingkannya dengan Sukarno. “Saat Sukarno masih ada di Vietnam dan memikirkan kapan ia akan memproklamasikan [kemerdekaan], Sadikin sudah memproklamasikan apa yang tidak berani dikatakan oleh Sukarno.” Waktu Proklamasi, Sukarno malah tidak terpikir soal tentara untuk menjaga Republik.
Apa yang dilakukan Sadikin dkk. pada dasarnya adalah mengambil alih instalasi artileri pertahanan udara Jepang. Itu jelas penting. Namun bukan cerita populer dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam sejarah militer sendiri.
Menjelang 17 Agustus 1945, kabar Jepang telah menyerah pada 14 Agustus sampai juga ke telinga orang-orang yang bekerja pada militer penjajah, setidaknya ke telinga anggota Heiho di Jakarta. Informasi itu didapat dari orang-orang gerakan bawah tanah yang dicap kiri dan antifasis seperti Wikana.
“Wikana terus melakukan hubungan-hubungan secara periodik dengan perwira-perwira Peta dan Heiho, antara lain dengan Sadikin, seorang Heiho dari kesatuan pertahanan anti pesawat udara di Kemayoran,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar proklamasi 17 Agustus 1945 (2000:53).
Meski hanya bintara, sama seperti waktu di Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), Sadikin termasuk orang yang diajak para pemuda untuk bergerak sekitar 17 Agustus 1945. Sadikin yang menguasai meriam-meriam Jepang tentu dianggap penting oleh kelompok pemuda di Menteng 31 atau Prapatan 10—yang menggerakkan rakyat untuk kemerdekaan.
AM Hanafi dalam Menteng 31 Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45 (1996:41) menyebut dia dan pemuda Said pernah mengusulkan agar Sadikin diberikan tugas menembakkan salvo dari meriam di pangkalan Kemayoran sebagai tanda penyerbuan dan pengambilalihan gedung-gedung yang dikuasai Jepang. Namun hal itu akhirnya tidak terjadi.
Meski tak bertindak keras kepada otoritas Jepang pada pertengahan Agustus, Sadikin tak ragu berdiri di belakang Republik. Buktinya ia tak ragu bergabung dengan Badan Keamanan Rakjat (BKR) di Jakarta setelah merdeka.
Sadikin mungkin tak seterpelajar Nasution, namun jelas lebih banyak pengalaman militer. Pada 1935, waktu Nasution masih sekolah guru, Sadikin sudah merasakan pahitnya jadi serdadu bawahan KNIL—yang di zaman itu tergolong pekerjaan hina.
Tidak sulit bagi Sadikin mencari pengikut. Selain bekas anak buah, banyak pemuda yang mau dipimpin olehnya. Tak heran jika dia menjadi komandan Resimen Cikampek—pasukan infanteri yang bersenjata terbatas.
Sadikin barangkali bukan pemuda sempurna yang bisa mengikuti kemauan semua pihak, namun cukup mewakili semua elemen penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Banyak anggota TNI di awal kemerdekaan adalah mantan tentara Belanda dan mantan tentara atau pembantu tentara Jepang seperti Sadikin. Sadikin, seperti tercatat dalam Kami Perkenalkan, masuk KNIL pada 1935 dan hingga 1939 berada di Surabaya dengan pangkat kopral. Dia lalu dipindahtugaskan ke Bandung dengan jabatan sersan, dan masuk Heiho pada 1942.
Setelah 1950, ia pernah menjadi Panglima Tentara dan Teritorium III Jawa Barat (Siliwangi) dan Tentara dan Teritorium VI Tanjungpura (Kalimantan). Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:270), Sadikin juga pernah menjadi Inspektur Jenderal Teritorial dan Pertahanan Rakyat di Markas Besar Angkatan Darat dan kemudian Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII).
Sepanjang karier militer di bawah bendera yang berbeda-beda, Sadikin mengalami apa yang dirasakan sebagian besar prajurit TNI: pernah di pangkat terbawah. Tak semua jenderal pernah merasakan pahitnya jadi bawahan. Sudirman, misalnya, jelas perwira “karbitan”. Ia merupakan didikan Peta yang dalam hitungan bulan punya pangkat setara mayor.
Ringkasnya, Brigadir Jenderal Haji Sadikin, yang lahir di Purwokerto 11 April 1916 dan tutup usia di Jakarta 1 Maret 1986, adalah prajurit ideal yang mewakili kelompok prajurit rendahan dan perwira elite.
Lebih dari itu, apa yang dilakukan Sadikin pada 16 Agustus 1945 jelas merupakan tindakan yang cukup penting dalam sejarah militer Indonesia. Ia mendahului Soekarno-Hatta. Di banyak daerah, Jepang juga baru dilucuti setelah 17 Agustus, baik dengan damai maupun jalan kekerasan. Atas semua itu, tidak heran jika Sadikin dijadikan teladan seluruh prajurit Angkatan Darat.
Tidak salah pula jika Angkatan Darat menjadikan 16 Agustus, tanggal di mana Sadikin mengambil alih kepemimpinan markas artileri antiserangan udara Kemayaron, sebagai hari ulang tahun alih-alih 5 Oktober atau 15 Desember. Jika hari jadi 16 Agustus, maka Angkatan Darat akan mirip Marinir Amerika Serikat, yang lebih tua dari negara Amerika Serikat itu sendiri.
Selama ini Angkatan Darat adalah kekuatan penting Republik. Sebagai pengawal, bukan hal aneh jika Angkatan Darat lebih dulu muncul sebelum Repubik.
Editor: Rio Apinino