tirto.id - Omar Dhani jelas dicap sebagai Menteri Panglima Angkatan Udara (Men/Pangau) yang Sukarnois. Dia memang cukup dekat dengan Presiden Sukarno dan akan ikut apa kata Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu. Setelah meletusnya Peristiwa G30S pada Oktober 1965, Angkatan Udara ikut dituduh sebagai biang keroknya dan kebintangan Omar Dani pun meredup kemudian.
Sewaktu Marsekal Madya Udara Boediardjo sedang di Jakarta pada awal Oktober 1965, dia menyaksikan sendiri perundungan terhadap perwira-perwira Angkatan Udara. Misalnya, Mayor Udara Bambang Sudarsono yang dilempari batu oleh sekelompok tentara Angkatan Darat yang emosional saat prosesi pemakaman jenderal-jenderal korban G30S. Padahal, dia tidak ikut-ikutan G30S atau berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Boediardjo juga mendengar beberapa petugas di bandara yang bilang, “Tahan saja, kan cuma AURI.”
“Bukankah lebih banyak oknum Angkatan Darat yang terlibat dalam penculikan itu?” tulis Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (1996, hlm. 135).
Di mata Boediardjo yang saat itu menjabat sebagaiDeputi Menteri/Pangau, semua tuduhan dan perundungan itu adalah hal yang sebenarnya tidak tepat sasaran. Namun, Angkatan Udara selalu jadi pihak yang tersudut karena narasi sejarah itu dibakukan olehOrde Baru sebagaimana ditampilkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar tiap malam 30 September.
Transisi Kepemimpinan Angkatan Udara
Setelah Omar Dhani jatuh, jabatan Menpangau dipegang oleh Laksamana Madya Udara Sri Mulyono Herlambang. Namun, kepemimpinannya dianggap tidak memuaskan oleh para pendiri Orde Baru. Sri Mulyono pun dicopot dari jabatannya pada 31 Maret 1966.
Pencopotan Sri Mulyono itu terjadi kala pamor politik Presiden Sukarno sudah hancur. Soeharto saat itu pun telah menguasai Angkatan Darat atas restu Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan (Menko Hankam) Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), kekuatan politik Soeharto dan Angkatan Darat secara umum makin menguat.
Sejak itu, Soeharto bisa lebih leluasa mengotak-atik Angkatan Udara.Perubahan struktural pun terjadi. Kini, nomenklatur Menpangau dihapus dan diganti dengan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
“Angkatan Darat mengusulkan agar Wiryosaputro sebagai KSAU,” tulis Boediardjo.
Kebanyakan petinggi Angkatan Udara menolak usulan itu karena dia dianggap belum cukup bobotnya. Wiryosaputro yang dimaksud adalah Imam Suwongso Wiryosaputro, anak Kapten Wardiman yang dulunya pernah jadi navigator KNIL. Anak Kapten Wardiman lainnya juga ada yang jadi petinggi Angkatan Udara, yaitu Untung Suwignyo Wiryosaputro.
Sementara itu, Jenderal Sumitro mengusulkan agar Boediardjo saja yang mengisi pos KSAU. Namun, Boediardjo menolak usulan itu. Boediardjo yang orang radio di kesatuan itu merasa tak pantas karena jabatan KSAU semestinya adalah jatahnyapara penerbang. Orang yang kemudian dipilih menjadi KSAU adalah Laksamana Madya Udara Roesmin Noerjadin.
“Rusmin dikenal sebagai antagonis Omar Dhani,” tulis Boediardjo dalam memoarnya. Sebelum diangkat menjadi KSAU, Roesmin menjadi Atase Udara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok dan kemudian Moskow.
Angkatan Udara Era Roesmin Noerjadin
Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (2015, hlm. 159) menyebut Roesmin pernah berkata, “Angkatan Udara itu angkatan teknis, berbeda dengan Angkatan Darat.” Kalimat itu agaknya merupakan sindiran terhadap Omar Dhani yang suka melibatkan diri dalam politik seperti perwira-perwira Angkatan Darat.
Sebagai “angkatan teknis”, Angkatan Udara di era Sukarno dikenal garang karena memiliki armada pesawat tempur canggih buatan negara Blok Timur. Reputasi itu cukup menggentarkan di kawasan Asia Tenggara. Namun, di era kepemimpinan Roesmin, reputasi itu luntur lantaran dominasi Angkatan Darat dalam tubuh ABRI. Angkatan Udara saat itu dianggap sekadar pelengkap saja bagi Angkatan Darat.
“Angkatan Laut dan Angkatan Udara telah menjadi sangat tergantung pada bantuan dari Uni Sovyet dan negara-negara komunis lain untuk persenjataan mereka. Akan tetapi setelah 1965, tidak lagi tersedia bantuan dari sumber-sumber itu,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986, hlm. 267).
Bagi pemerintahan baru daripada Soeharto, kesulitan memperoleh persenjataan beserta amunisi dan suku cadang untuk matra laut dan udara itu bukanlah masalah besar. Hal itu agaknya disengaja untuk memperlemah kekuatan para pendukung Sukarno dari dua matra itu.
Dulu, Letnan Jenderal Soeharto sebenarnya kenal baik dengan seorang perwira Angkatan Udara, yakni Laksamana Muda Udara Leonardus “Leo” Willem Johannes Wattimena. Leo Wattimena yang pernah menjabat sebagai Panglima Komando Operasi itu merupakan salah satu penerbang paling jempolan dalam sejarah Angkatan Udara.
Leo pernah membantu Soeharto sebagai wakilnya dalam Komando Mandala Trikora Pembebasan Irian Barat pada 1962. Leo yang kelahiran Singkawang, 3 Juli 1927, itu tak dianggap sebagai bagian dari Angkatan 45 karena baru bergabung dalam kemiliteran pada 1950. Karena itu pula, dia dianggap sebagai Angkatan 1950, seperti halnya Omar Dani.
Di internal Angkatan Udara, Leo kurang mendapat dukungan karena terhambat senioritas Angkatan 45. Roesmin adalah kawan baik Leo di Angkatan 1950. Roesmin, Leo, dan Omar Dhani sama-sama lulusan Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA) California pada awal 1950-an. Roesmin dan Leo adalah orang Indonesia pertama yang menjadi pilot jet tempur.
Buku Tuhan, Pergunakanlah hati, Pikiran, dan Tanganku (2001, hlm. 132) susunan J.M.V. Soeparno dan Benedicta Soerodjo menyebut Roesmin dan Leo—bersama Komodor Udara Suyitno Sukirno—telah melakukan “kudeta” terhadap Sri Mulyono Herlambang dengan bantuan panser dari Kostrad. Di sekitar 1965-1966, Suyitno adalah penghubung antara Angkatan Darat dan Angkatan Udara.
Roesmin menjadi petinggi Angkatan Udara dari 1966 hingga 1969. Dia kemudian digantikan oleh Suwoto Sukendar.
Ketiga orang yang dituduh mengkudeta Sri Mulyono itu tersebut kemudian sempat pula dijadikan Duta Besar Indonesia di negara-negara nonkomunis. Suyitno di Australia, Roesmin di Inggris, dan Leo di Italia.
Meski di awal berdirinya Orde Baru dia dekat dengan Soeharto, Suyitno kemudian jadi oposan daripada Soeharto pada 1980. Bersama sejumlah tokoh politik, Suyitno ikut menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto. Sementara itu, Roesmin bersetia di kubu Soeharto dan kemudian ditunjuk jadi Menteri Perhubungan selama dua periode, dari 1978 hingga 1988.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi