tirto.id - Maret adalah bulan keberuntungan Soeharto. Tanggal 1 Maret, Soeharto dikenang berkat Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Meski kata bekas Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S (2000: 46), waktu serangan berlangsung “dia [Soeharto] sedang santai makan soto babat."
Tanggal 11 Maret, orang ingat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang memerintahkan Soeharto memimpin pengendalian keamanan. Dengan surat itulah ia pelan-pelan meraih kekuasaan.
Peristiwa penting di bulan Maret lainnya: 1 Maret 1953, menjadi Komandan Resimen Infanteri 15 Subteritorium IV di Jawa Tengah; 1 Maret 1956, diangkat jadi Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro.
Keberuntungannya makin baik tatkala pasukan bernama Korps Tentara I/Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra/Tjaduad) terbentuk pada 6 Maret 1961, tepat hari ini 57 tahun lalu. Di pasukan itu, Soeharto jadi panglima dan pangkatnya naik jadi brigadir jenderal. Empat tahun kemudian, pasukan cadangan yang dipimpinnya itu menentukan jalannya sejarah Indonesia pada 1965.
Peran Vital Pasukan Cadangan
Boleh saja dianggap pasukan cadangan, kadang dianggap remeh, tapi pasukan ini nyatanya sangat diandalkan pemerintah dan Angkatan Darat. “Korra I/Tjaduad ini terdiri dari Divisi Infanteri Korra I/Tjaduad dan Brigade Infanteri 3/ Para,” catat majalah Dharmasena (1996: 34).
Menurut Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009:292), Tjaduad sebetulnya scelet-organisation (organisasi kerangka). “Artinya pasukan/kesatuannya tidak terpusat dalam suatu unit dan lokasinya terpencar di beberapa Kodam” (hlm. 292).
“Gagasan dan ide ini,” menurut rilisan situs resmi Kostrad, “keluar dari Kasad Jenderal A.H. Nasution pada tahun 1960, dan sebagai realisasi dari gagasan ini, maka keluarlah skep Kasad No. KPTS.1067/12/1960 tgl. 27 Desember 1960.”
Masalah Irian Barat yang pada waktu itu masih menjadi sengketa dengan Belanda membuat keberadaan pasukan ini begitu vital. Orang-orang yang terlibat dalam pendiriannya, selain Soeharto, adalah Kolonel Ahmad Wiranatakusumah—yang belakangan jadi kepala staf; Letnan Kolonel Slamet Sudibyo dan Kapten Suryo Jatmiko yang ditugasi menyusun Orgas Personel; Letnan Kolonel Muwardi yang ditugasi menyusun Orgas Teritorial; Letnan Kolonel Amir Mahmud yang ditugasi menyusun Orgas Latihan dan Operasi; Letnan Kolonel Soegoro yang ditugasi menyusun Orgas Logistik; dan Mayor Joko Basuki yang ditugasi menyusun Orgas Intelijen.
Kesatuan besar ini dianggap “tempat buangan” karena Soeharto merupakan perwira bermasalah di awal era 1960-an. Lepas dari itu, Tjaduad kemudian terlibat dalam operasi perebutan Irian Barat.
“Angkatan Darat menyumbangkan paling banyak manpower-nya kepada Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Persiapan-persiapan ke arah itu sesungguhnya sudah dimulai dengan pembentukan Korps Tentara I/Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra I/Tjduad) yang dimaksudkan sebagai cadangan strategis,” tulis Ahmad Yunus Mokoginta dalam Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia (1964: 157).
Tjaduad, menurut Dharmasena (1994: 34), lalu dilebur menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 15 Agustus 1963. Soeharto tetap menjadi panglimanya dan biasa disebut Pangkostrad. Di sekitar tahun 1965, Kostrad tidak punya pasukan tetap.
“Prajurit-prajurit cadangan Kostrad selalu dipinjam dari komando-komando daerah (kodam-kodam). Kostrad mengerahkan batalyon-batalyon untuk penugasan sementara dalam operasi-operasi tempur tertentu,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008: 79).
Markas pasukan itu berada di seberang Stasiun Gambir, Jalan Merdeka Timur nomor 3, Jakarta Pusat. Tidak jauh dari Istana Negara. Pangkostrad bisa menggerakkan pasukan-pasukan andalan yang ditempatkan di Kodam-kodam, terutama batalyon-batalyon infanteri berkemampuan lintas udara seperti 454 di Jawa Tengah (Diponegoro), 328 dan 330 di Jawa Barat (Siliwangi), dan 530 di Jawa Timur (Brawijaya).
Pasukan yang pertama dikenal sebagai Banteng Raiders. Letnan Kolonel Untung pernah jadi komandan di sana. Bersama pasukan itu, ia bahkan pernah menjadi salah satu penerjun payung dalam operasi pembebasan di Papua.
Sebagai Pangkostrad, Mayor Jenderal Soeharto menjadi orang berpengaruh nomor dua di Angkatan Darat setelah Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani. Setelah Yani meninggal dunia pada 1 Oktober 1965, Soeharto jadi jenderal paling berpengaruh di Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Ia bisa menggerakkan pasukan dan memberi komando langsung. Tak heran jika ia diserahi Surat Perintah 11 Maret 1966 dalam rangka mengembalikan stabilitas keamanan.
Tak hanya Soeharto yang pernah berada di Kostrad. Kiper dan Kapten Tim Sepakbola Nasional Maulwi Saelan pernah menjadi Komandan Polisi Militer Angkatan Darat dalam Tjaduad, sebelum dia dimasukkan ke pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa. Ali Moertopo juga pernah di Kostrad dan jadi salah satu orang kepercayaan Soeharto.
Di masa Konfrontasi Malaysia, menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI (1986: 330), Soeharto “telah memerintahkan bagian operasi khususnya (Opsus) untuk mengadakan kontak langsung dengan pemimpin-pemimpin Malaysia.”
Ali Murtopo lah orang yang memimpin Opsus itu. Ketika Soeharto jadi presiden, Opsus tak hanya sebagai satuan tugas Kostrad, tapi juga melakukan operasi politik. Selain Ali, Benny Moerdani juga pernah sebentar di Kostrad. Di masa konfrontasi dengan Malaysia, Benny termasuk yang ikut terjun di rimba Kalimantan.
Kostrad
berkembang menjadi pasukan yang sangat kuat. “Pertengahan 1980-an, misalnya, kekuatan pasukan Kostrad terdiri dari dua divisi infantri lengkap, yang masing-masing didukung oleh satuan kavaleri, artileri, zeni, angkutan, dan sebagainya,” tulis Hendrajit dalam Rudini: Jejak Langkah Sang Perwira (2005: 108).Dari Umar Wirahadikusumah, Prabowo, sampai Pramono Edhie
Setelah 2 Desember 1965, Kostrad dipimpin perwira asal Sunda, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, hingga 27 Mei 1967. Setelahnya, Kemal Idris menjadi orang Minang pertama yang jadi panglima.
Jika empat Pangkostrad pertama adalah orang yang pernah jadi anggota tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) zaman Jepang di Jawa, maka Makmun Murod adalah mantan tentara sukarela Gyugun di Sumatra. Leo Lopulisa adalah Pangkostrad Maluku-Kristen pertama. Johny Lumintang, meski hanya sehari, adalah Minahasa tulen pertama yang jadi Pangkostrad. Sebelumnya, laki-laki berdarah campuran Minahasa-Jawa bernama Prabowo Subianto pernah jadi panglimanya.
Nasib Prabowo Subianto agak mirip dengan mertuanya, Soeharto, ketika jadi Pangkostrad: sama-sama menjabat kala Indonesia mengalami perubahan politik besar dan transisi kekuasaan. Yang membedakan adalah nasib mereka setelah transisi terjadi.
Soeharto, di tahun 1965, dalam waktu dua tahun mencapai posisi presiden. Sementara sang mantu, di tahun 1998, bernasib tak semujur mertuanya. Presiden B.J. Habibie menggeser Prabowo dari posisi Pangkostrad menjadi Komandan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Danseskoad). Bagi Prabowo, jabatan Pangkostrad amat prestisius.
“Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya (kala itu) Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” kata Prabowo kepada Presiden B.J. Habibie, seperti diakui Habibie dalam Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006: 101-102).
Reaksi Prabowo itu membuat Habibie menjawab, “Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti.” Prabowo tetap tidak puas.
Setelah Habibie menyampaikan laporan Panglima ABRI (kala itu Wiranto) tentang gerakan pasukan Kostrad di Kuningan dan Istana Negara, Prabowo bilang, “saya bermaksud mengamankan Presiden.”
Habibie pun menimpali, “itu adalah tugas Pasukan Pengaman Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda.”
Atas jawaban itu, nyatanya Prabowo masih sulit menerima.
“Atas nama ayah saya Prof Sumitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo. Namun Habibie bilang tidak.
Prabowo tetap memaksa dan berkata, “berikan saya tiga minggu atau tiga hari saja untuk masih dapat menguasai pasukan saya (Kostrad).” Sekali lagi Habibie bilang tidak.
Benar atau tidaknya cerita antara Habibie dan Prabowo itu, nyatanya posisi Pangkostrad adalah posisi penting dalam militer Indonesia. Para presiden selalu memilih orang kepercayaannya. Pangkostrad di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, adalah Pramono Edhi Wibowo, adik iparnya.
Betapa strategisnya peran Kostrad, beberapa mantan Pangkostrad menduduki posisi penting seusai menjabat. Ada yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, Panglima ABRI, menteri, dan Wakil Presiden (seperti Umar Wirahadikusumah). Susilo Bambang Yudhoyono, meski tak pernah jadi Pangkostrad, adalah mantan perwira Kostrad juga.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan